Saturday, February 28, 2009

SUAMIKU !

Aku tersentak bangun. Dengan tergesa mataku mencari-cari letak jam. Duh, 15 menit lagi imsak! Aku pasti ketiduran setelah tadi terkantuk-kantuk mengganti popok bayiku dan menyusuinya. Anakku masih tertidur tenang di sebelahku, dan suamiku ... Lho, kemana dia?

Segera aku bergegas ke dapur, dan astaga! Suamiku sedang merapikan meja dan menuangkan masakan yang sudah dipanaskan. Melihat aku muncul dengan rupa kusut masai, dia tersenyum.

"Ketiduran, Ma? Tenang saja, sudah beres semua. Ayo, makan buruan, entar lagi imsak lho," Suamiku duduk dan mengambilkan piring untukku. Aku menyendokkan nasi untuknya dan juga untukku.

"Tumben Papa bisa bangun pagi-pagi. Biasanya bangun sholat shubuh juga harus Mama usap mukanya dengan handuk dingin dulu."

"Hehehe, iya sih. Ini juga karena kamu bersikeras mau puasa, padahal kamu 'kan lagi menyusui ..."

"Lho, aku 'kan sudah konsultasi dengan dokter," potongku cepat, "Dan dokter bilang ASI-ku cukup banyak dan aku tetap bisa puasa sambil menyusui asal..."

"Asal makanmu bergizi, minum cairan yang banyak dan cukup istirahat," Suamiku meneguk air putihnya, "Nah, bagaimana kamu bisa cukup istirahat kalau tiap malam kamu bangun untuk mengganti popok si kecil dan menyusuinya sampai terlelap dan setelah itu masih harus menyiapkan makan sahur juga?
Karena itu aku yang akan bangun tiap sahur untuk menyiapkan makanan, kamu nanti aku bangunkan kalau semuanya siap santap. Jangan khawatir, begini-begini aku juga bisa masak lho sebab dulu ibuku mengharuskan aku untuk ikut membantunya di dapur. Hahaha, ternyata ketrampilan itu sekarang berguna juga."

Suamiku berdiri dari kursinya, berjalan ke dapur dan kembali dengan dua gelas jus buah. Satu gelas disodorkan ke hadapanku, "Aku tidak ingin anakku kekurangan gizi karena Mamanya sibuk berpuasa. Ayo neng, cepat diminum. Habiskan dalam satu napas yah! Susu yang tadi sudah kamu habiskan juga, 'kan?"

Sungguh mataku berkaca-kaca melihat suamiku yang kini juga bergegas merapikan meja dan membawa piring kotor ke bak cuci, "Aku cuci nanti kalau matahari sudah kelihatan saja yah. Janji deh! Sekarang mau wudhu dulu sebentar lagi shubuh."

Aku tak menyangka sama sekali suamiku bersedia melakukan semua ini demi meringankan bebanku yang ingin tetap melakukan puasa sementara bayiku yang baru 5 bulan masih membutuhkan ASI. Puasa tahun lalu, aku masih tinggal dengan orangtuaku karena suamiku harus dinas keluar negeri dalam waktu lama sementara aku dalam keadaan hamil. Dan seperti biasanya setiap sahur, hanya ibuku yang bangun dan menyiapkan makan sahur sementara ayah dan kakakku yang laki-laki masih terlelap.

Begitu juga saat berbuka puasa, maka ibu seorang diri pula yang menyiapkan segala-galanya. Kami tidak punya pembantu, dan bantuan yang diharapkan ibu hanyalah dariku. Saat aku sedang hamil, maka ibu pun membebaskan aku dari keharusan membantu menyiapkan makan sahur karena aku menjalani kehamilan yang cukup berat dimana mual dan muntah terus mengiringi sampai akhir melahirkan sehingga aku seringkali hanya bisa tergeletak di tempat tidur.

Melihatku masih termangu dalam dudukku, suamiku menarik tanganku, "Ayo buruan, aku mau sholat shubuh jamaah sama kamu trus tidur lagi ... "

Lalu dia menatapku, "Tidak usah terharu segala, Ma. Aku mencintai dan menyayangi kalian berdua, istri dan anakku. Aku hanya berusaha membantu apa yang bisa kulakukan agar kalian berdua bisa mendapat apa yang seharusnya memang menjadi hak kalian. Sudahlah, ayo sholat sekarang. Kamu juga masih harus menyiapkan bahan kuliahmu nanti."

Aku sangat bersyukur karena suamiku sangat pengertian dan mau berbagi tugas rumah tangga dengan istrinya. Suamiku juga tidak pernah menganggap bahwa tugas rumah tangga semata-mata adalah tugas istri sehingga ia tak mau turut serta ambil bagian. Suamiku juga sangat menikmati peran barunya sebagai ayah, sehingga ia dengan senang hati dan suka cita mau memandikan bayi, mengganti popoknya, menggendong dan menimang anaknya sampai tertidur, dan
bahkan saat puasa begini ia dengan sukarela bangun di kala sahur untuk menyiapkan makan karena ia tak ingin menyusahkan istrinya.

Hal ini bisa terjadi sebab dari kecil ia sudah dibiasakan oleh orangtuanya untuk turut serta dalam pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mengasuh adiknya yang bayi sehingga ia sama sekali tidak merasa canggung dan terbebani. Berbeda dengan ayah dan kakak laki-lakiku yang di rumah selalu diperlakukan istimewa dan berhak atas pelayanan-pelayanan, sehingga mereka seringkali tak mau tahu dengan urusan rumah tangga dan menganggap itu
menjadi tanggung jawab ibu dan aku seratus persen.

Ini menjadi cerminan buatku untuk mendidik putraku yang sekarang masih bayi menjadi seorang laki-laki yang seutuhnya. Seorang laki-laki yang tidak semata menonjolkan sisi maskulinnya tetapi juga mampu mengolah sisi femininnya sehingga pada akhirnya mampu bertenggang rasa dan menjadi manusia yang penuh perhatian dan kasih sayang.

Penulis adalah aktivis Yayasan Dunia Ibu

No comments:

Post a Comment