Tuesday, September 1, 2009

Sholat Shubuh, Ujian Terberat


Bismillahirrahmaanirrahiim

Allahumma sholli wa sallim wa baarik ’ala Muhammadin wa ’ala aalihi wa ashabihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid-diin

Assalamu’alaikum Watahmatullahi Wabarakatuh
Semoga berkah dan cinta Allah selalu tercurah kepada saudaraku semua, amin..

Saking utamanya bangun subuh untuk melaksanakan salat subuh berjemaah, maka Rasulullah SAW secara khusus berdoa “Wahai Tuhanku, berkahilah ummatku yang suka bangun subuh!”. Terkait ini Rasul SAW bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan salat Isya secara berjamah, maka ia seperti salat malam separoh malam. Dan barangsiapa yang melaksanakan salat subuh secara berjemaah, maka ia seperti salat malam satu malam penuh “ (HR.Muslim ). Keutamaan lainnya antara lain tegas Rasul SAW, “Berilah
kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan malam menuju masjid, bahwa mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat “ (HR.Abu Daud dan Turmuzi). Salat subuh berjemaah merupakan sarana penjagaan Allah terhadap seorang Muslim, seperti diutarakan Rasulullah SAW, “Barangsiapa melaksanakan salat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, maka jangan sampai Allah menarik kembali
jaminan-Nya kepada kalian dengan sebab apa pun. Karena siapa yang Allah cabut jaminan-Nya darinya dengan sebab apa pun, pasti akan tercabut. Kemudian Allah akan telungkupkan wajahnya dalam neraka jahanam“ (HR.Muslim).

Ternyata rahasia kekuatan salat subuh telah diketahui pula oleh musuh buyutan Islam seperti yang dikatakan oleh seorang penguasa Yahudi, “Kami baru takut terhadap umat Islam jika mereka telah melaksanakan salat subuh seperti melaksanakan salat Jumat . Karena itu tidak aneh, hingga saat ini belum pernah ada gangguan, ataupun terdengar adanya ancaman dari pihak musuh Islam terhadap dua kota suci, yaitu Mekah dan
Madinah. Karena di kedua kota suci tersebut jumlah jemaah salat subuh dan salat Jumatnya, relatif sama.

“Di balik pelaksanaan dua rekaat di ambang fajar, tersimpan rahasia yang menakjubkan. Banyak permasalan yang bila dirunut, bersumber dari pelaksanaan salat subuh yang disepelekan. Itulah sebabnya, para sahabat Nabi berusaha sekuat tenaga agar tidak kehilangan waktu emas itu. Pernah suatu ketika mereka terlambat salat subuh dalam penaklukkan benteng Tastar. “Tragedi” ini membuat sahabat semisal Anas bin Malik selalu menangis bila mengenangnya“ (Buku Misteri Shalat Subuh oleh
DR.Raghib As-Sirjani).

Masih banyak keutamaan salat subuh lainnya yang tidak mungkin diungkap dalam space yang amat terbatas ini. Bayangkan, jangankan, salat fardhu subuhnya, sedangkan salat sunnah fajar, dua rakaat sebelum fardhu subuh, keutamaannya sungguh sangat menakjubkan. Kata Rasulullah SAW, “Dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia dan seisinya “. ”Dan dua rakaat fajar jangan kamu tinggalkan walaupun engkau mengadakan
perjalanan jauh “ ( HR.Ahmad dan Abu Daud ).

“Salat subuh menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Jika ada seorang mukmin – walaupun ia jago puasa, tilawah Al Quran, berzikir, atau bahkan ia seorang dai sekalipun – namun ia masih merasa berat untuk bangun menghadiri salat subuh berjemaah di masjid, maka ia harus banyak bermuhasabah, jangan-jangan ia termasuk dalam sabda Rasul SAW ; “Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat Isya dan subuh “ (HR.Ahmad). (Buku Keajaiban Sholat Subuh oleh Imad’Ali ‘Abdus
Sami’Husain). Dalam hadis lain Rasul menegaskan, “atas antara kita dengan orang-orang munafik adalah menghadiri salat Isya dan Subuh, sebab orang-orang munafik tidak sanggup menghadiri kedua salat tersebut “ (HR.Imam Malik)..

Pada suatu hari, Nabi SAW melihat puterinya, Fatimah masih juga tertidur padahal waktu subuh telah tiba, beliau lalu menggoyang–goyang kaki puterinya dengan penuh kasih sayang seraya berkata “Bangunlah anakku dan saksikanlah, sesungguhnya Tuhan menetapkan pembagian rezeki manusia adalah pada saat-saat setelah fajar menyingsing dan sebelum matahari terbit“. Supaya ummat Islam gemar bangun subuh, Nabi SAW bersabda, “Bila kamu bangun subuh, maka berlipat ganda upah kamu terima “.

Diriwayatkan oleh Imam Malik RA bahwa pada suatu subuh, Umar bin Khaththab RA tidak mendapati Sulaiman bin Hatsmah. Sehari saja. Paginya Umar pergi ke pasar, sementara rumah Sulaiman terletak antara pasar dan Masjid Nabawi. Umar bertemu dengan As-Syifa, ibunda Sulaiman RA. Ia pun bertanya kepadanya, “Saya tidak melihat Sulaiman tadi pada saat salat subuh“. Lalu ia menjawab, “Dia salat malam lalu ia tertidur pada pagi harinya“. Lalu Umar berkata, “Sungguh, ikut serta dalam salat subuh
berjemaah itu lebih baik bagi saya dari pada salat malam“.

Abu Sulaiman Al-Darani, salah seorang ulama Salaf memberi nasehat “Sambutlah waktu fajar dengan sebaik-baiknya! Sebab, pada saat itu ribuan kebaikan turun ke muka bumi“. Syaikh Al-Nabtaiti hampir tidak pernah memejamkan mata pada waktu malam. Dia takut kesiangan atau terlewat melakukan amalan rutin pada waktu fajar. Dia menyebutkan bahwa saat-saat menjelang fajar adalah saat Allah memanggil hamba-Nya. Ada seseorang bertanya kepada Al-Nabtaiti, “Wahai Syaikh, apa yang membuat dirimu tidak pernah nyenyak ketika tidur? “ Beliau menjawab: ”Sesungguhnya setiap malam Yang Maha Pemurah selalu memanggil hamba-hamba-Nya. Aku takut ketika Dia memanggil, aku menyahut –Nya dengan dengkuran. Dan, aku malu terlihat oleh Tuhanku terbaring seperti bangkai, padahal aku masih diberi nyawa.“ (Buku 99 Akhlak Sufi oleh
‘Abd Al-Wahhab Al-Sya’rani). Wallahualam. **Uti Konsen UM

Read More..

Bapak, ini suatu aib bagimu!!!


Aku biasa begadang sampai pagi bersama teman-temanku untuk beramain-main dan bersenda gurau. Aku tinggalkan isteriku dalam kesendirian dan kesusahannya yang hanya Allah yang mengetahuinya. Isteriku yang setia tak mempu lagi menasehatiku yang sudah tak mempan lagi diberi nasehat.

Pada suatu malam, aku baru pulang dari begadang, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi, aku lihat isteri dan puteri kecilku terlelap tidur. Lalu aku masuk ke kamar sebelah untuk menghabiskan sisa-sisa malam dengan melihat film-film porno melalui video, waktu itu, waktu dimana Allah azza wajalla turun dan berkata: "Adakah orang yang berdoa sehingga aku mengabulkannya?. Adakah orang yang meminta ampun sehingga
aku mengampuninya?, Adakah orang yang meminta kepadaku sehingga aku memberinya".


Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan kulihat puteriku yang belum genap berusia 5 tahun. Dia melihatku dan berkata:
"Bapak, ini suatu aib bagimu!!!, takutlah kepada Allah", dan mengulanginya tiga
kali kemudian menutup pintu dan pergi.

Aku terkejut lalu aku matikan video. Aku duduk termenung dan kata-katanya terngiang-ngiang ditelingaku dan hampir membinasakanku, lalu aku keluar mengikutinya tapi dia sudah kembali lagi ketempat tidurnya. Aku seperti gila, tidak tahu apa yang baru saja menimpaku waktu itu. Tak lama kemudian terdengar suara adzan dari masjid dekat rumah yang memecah kegelapan malam, menyeru untuk shalat subuh.

Aku berwudlu lalu pergi kemasjid. Aku tidak bersemangat untuk shalat, hanya saja karena kata-kata puteriku membuatku gelisah.

Shalat dimulai, imam bertakbir dan membaca beberapa ayat Al-Qur'an. Ketika dia bersujud, akupun bersujud dibelakangnya dan meletakkan dahiku di atas tanah sampai aku menangis keras tanpa kuketahui sebabnya. Inilah sujud pertama kali kulakukan kepada Allah azza wajalla sejak tujuh tahun yang lalu.

Tangisan itu adalah pembuka kebaikan bagiku, tangisan itu telah mengeluarkan apa yang ada dalam hatiku berupa kekafiran, kemunafikan dan kerusakan. Aku merasakan butir-butir keimanan mulai meresap kedalam jiwaku.


Setelah shalat aku pergi bekerja. Ketika bertemu dengan temanku, dia heran melihatku datang cepat padahal biasanya selalu terlambat akibat begadang sepanjang malam. Ketika dia menanyakan penyebabnya, aku menceritakan apa yang kualami tadi malam. Kemudian dia berkata:
"Bersyukurlah kepada Allah yang telah menggerakkan anak kecil itu sehingga menyadarkanmu dari kelalaianmu sebelum datang kematianmu."
Setelah tiba waktu dzuhur, aku merasa cukup lelah karena belum tidur sejak malam. Lalu aku minta kepada temanku untuk menggantikan tugasku, dan aku pulang ke rumah untuk beristirahat. Aku ingin cepat-cepat melihat puteriku yang menjadi sebab hidayahku dan kembaliku kepada Allah.

Aku masuk kerumah dan disambut oleh isteriku sambil menangis, lalu aku bertanya, "Ada apa denganmu, isteriku?", jawaban yang keluar darinya laksana halilintar. "Puterimu telah meninggal dunia".
Aku tak bisa mengendalikan diri dan menangis. Setelah jiwaku tenang, aku sadar bahwa apa yang menimpaku semata-mata ujian dari Allah azza wajalla untuk menguji imanku. Aku bersyukur kepada Allah azza wajalla. Aku mengangkat gagang dan menghubungi temanku. Aku memintanya datang untuk membantuku.

Temanku datang dan membawa puteriku, memandikannya dan mengafaninya lalu kami menshalatkannya dan membawanya kepemakaman, temanku berkata:
"Tidak ada yang pantas memasukkannya ke liang kubur kecuali engkau", lalu aku mengangkatnya dengan berlinang air mata dan meletakkannya diliang kubur. Aku tidak mengubur puteriku, tapi mengubur cahaya yang telah menerangi jalan hidupku. Aku bermohon kepada Allah SWT agar menjadikannya penghalang bagiku dari api neraka dan memberi balasan kebaikan kepada isteriku yang penyabar.

Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya Yang Demikian
itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu [ Al Baqarah : 45 ]

Read More..

Nina adalah anakku


"Benar, om nggak akan marah ...?", ucap anak kecil itu. Setiap tahun, kakak ku mempunyai kebiasaan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal Ramadhan dan akhir Ramadhan.

"Benar, Om nggak akan marah..?", ucap anak kecil di panti itu. "Buat apa nak foto?".ucap kakakku. "Nina ingin tunjukkan foto kepada teman-teman Nina di sekolah", tambah gadis itu. Sungguh sangat mengharukan pertemuan dengan Nina itu.

Setiap tahun, kakak saya punya kebiasan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan.

Kunjungan pertama adalah survei untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, kakak saya bertemu dengan seorang bocah manis dan lucu. Dia masih sekolah kelas nol besar.

”Siapa namamu nak?” sapa kakak saya. ”Nama saya Nina Om”, jawabnya manja. ”Nina sudah punya sepatu baru?” tanya kakak saya. ”Sudah om, dikasih Abah (pemimpin panti-pen). Nina juga sudah punya baju baru”, urai Nina. “Kalau begitu Nina mau apa?” tanya kakak saya. “Nggak ah… ntar Om marah”, jawab Nina. “Nggak sayang, Om nggak akan marah,” kakak saya menimpali. ”Nggak ah… ntar Om marah” Nina mengulang jawabannya.

Kakak saya berpikir, pasti yang diminta Nina adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan kakak saya semakin menjadi. Maka dia dekati lagi Nina.”Ayo nak katakan apa yang kamu minta sayang”, pinta kakak saya. ”Tapi janji ya Om tidak marah?” jawab Nina manja. ”Om janji tidak akan marah sayang,” tegas kakak saya. ”Bener Om nggak akan marah?” sahut Nina agak ragu.

Kakak saya menganggukkan kepala. Nina menatap tajam wajah kakak saya. Sementara kakak saya berpikir, ‘Seberapa mahal sih yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah’. Sambil tersenyum kakak mengatakan “ayo Nak, katakan, jangan takut, Om tidak akan marah Nak.” ”Bener ya Om nggak marah?,” ujar Nina sambil terus menatap wajah kakak saya. Sekali lagi kakak saya menganggukkan kepala. Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya ”Mmmm, boleh gak mulai malam ini saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?. Nina sedih gak punya ayah...”

Mendengar jawaban itu, kakak saya tak kuasa membendung air matanya. Segera dia peluk Nina, ”tentu Anakku.. tentu Anakku…mulai hari ini Nina boleh memanggil Ayah, bukan Om”. Sambil memeluk erat kakak saya, dengan terisak Nina berkata ”terima kasih ayah… terima kasih ayah...”

Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat kakak saya. Dia habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Nina, maka sebelum pulang kakak bertanya lagi pada Nina, ”Anakku, sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi kemari bersama ibu dan kakak-kakakmu, apa yang kamu minta nak?” , ucap kakakku.

”Kan udah tadi, Nina sudah boleh memanggil Ayah,” jawab Nina.”Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti akan Ayah kasih.” jelas kakak saya. ”Baiklah, nanti kalau ayah datang sama ibu ke sini, aku minta Ayah bawa foto keluarga bareng yang ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak Nina, boleh kan Ayah?” Nina memohon sambil memegang tangan kakak. Tiba-tiba kaki kakak lunglai. Dia berlutut di depan Nina. Dia peluk lagi Nina sambil bertanya, ”buat apa foto itu Nak?” “Nina ingin tunjukkan sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina.

” Kakak saya memeluk Nina semakin erat, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu. Terima kasih Nina. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta.

Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia... (eramuslim/M.S.Balda)



Read More..

Kepasrahan yang Mencerdaskan Jiwa


Syekh Ibn Athaillah mengajak pembaca untuk menghayati posisi kita selaku hamba Allah. Kita ini hamba. Dan Allahlah Sang Majikan. Sebagai hamba-Nya, kita tertuntut untuk memusatkan perhatian pada upaya mengabdi kepada-Nya. Amatlah tidak sopan bila kita justru mengerahkan segenap daya untuk memerhatikan dan memuaskan kepentingan diri sendiri. Karena inilah Ibn Athaillah mengingatkan kita akan betapa pentingnya isqdth al-tadbir—tema utama buku ini—yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur dan menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni.

Buku ini—isqdth al-tadbir—menawarkan cara tepat untuk memandang hidup. Karenanya, buku ini bak kacamata, yang dengannya matahati kita yang rabun bisa melihat lebih sempurna. Dengan penglihatan yang sempurna, tentulah hidup ini menjadi semakin jelas. Dan dengan jelasnya hidup, tentunya perjalanan kita menempuhnya menjadi lebih lurus dan lancar—tidak nabrak-nabrak dan tidak nyasar-nyasar.

Dalam pandangan Ibn Athaillah, pengabdian kita kepada Allah seharusnya tidak hanya ditunaikan dengan menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan Allah, namun pula dengan menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan Allah. Kematangan iman hanya bisa dirasakan bila kedua hal ini secara sempurna dilaksanakan. Dengan demikian, sebenarnya ada dua hukum yang patut dipatuhi oleh orang beriman, yaitu hukum taklif yang sudah lazim kita kenal sebagai berbagai perintah dan larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan hukum takdir yang mencakup ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani dalam hidup.

Keperluan atau kebutuhan hidup makhluk sebetulnya adalah sesuatu yang sudah dan terus dijamin oleh Allah. Dengan ilmu-Nya, Allah sudah mengatur diri kita bahkan sebelum kita ada. Setelah kita terlahir di dunia, Allah pun terus mengatur urusan kita. Akan tetapi, setelah berakal, kebanyakan manusia seolah lupa bahwa selama ini urusan hidupnya ada dalam pengaturan Allah. Setelah berakal, mereka seakan ingin mengambil alih 'hak pengaturan' itu; mereka ingin mereka sendiri yang mengatur segenap urusan hidup mereka. Dalam pikiran Ibn Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru sebentuk ketidak bersyukuran atas nikmat akal.

Allah tidak berhenti mengurus kita sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya terus berlaku. Akal kita semestinya kita gunakan untuk memahami dan melaksanakan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.

Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah apa yang dituntut dari kita, bukan yang dijamin untuk kita. Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah bertutur, "Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti dari rabunnya mata batinmu." Karena itu, "Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu, karena segala yang telah diurus oleh 'Selainmu' (yakni Allah), tak perlu engkau turut mengurusnya. "

Lagi pula, "Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir." Maksudnya, seberapa banyak pun energi yang kita curahkan untuk memenuhi suatu keinginan, tetap saja itu tak akan tergapai jika tak sesuai dengan keputusan Tuhan. Kita tak dapat memenangkan kehendak kita di atas kehendak-Nya. Kita bahkan kerap menemukan bahwa takdir dan ketentuan yang berlaku pada diri manusia bukanlah yang sesuai dengan pengaturan olehnya. Pengaturan manusia ibarat rumah pasir di tepi laut, yang bisa demikian mudah runtuh tatkala ombak takdir Tuhan berlabuh.

Dalam hidup, kita juga acap menemukan bahwa apa yang menurut kita baik ternyata bisa membawa keburukan, dan sebaliknya, apa yang kita sangka buruk ternyata malah mendatangkan kebaikan. Boleh jadi ada keuntungan di balik kesulitan, dan ada kesulitan di balik keuntungan. Boleh jadi pula kerugian muncul dari kemudahan, dan kemudahan muncul dari kerugian. Mana yang berguna dan mana yang berbahaya pada akhirnya adalah sesuatu di luar pengetahuan kita.

Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn Athaillah, 'sibuk mengatur nasib sendiri' sejatinya adalah tindakan yang kurang lebih sia-sia, apalagi bila kesibukan ini melalaikan kita dari tugas-tugas sebagai hamba. Lucu sekali bila manusia tetap berhasrat akan pengaturan diri. Pertama, karena ia pada dasarnya tak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya. Dan kedua, karena Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat para makhluk-Nya senantiasa dekat dan mengatur secara baik. Allah itu dekat dan karenanya senantiasa memberi perhatian kepada kita sekalipun tanpa sepengetahuan kita. Tidak percaya kalau Dia tak akan mengabaikan kita adalah bukti lemahnya iman kita. Allah juga sayang dan karenanya selalu mengatur urusan kita secara baik. Pengaturan kita terhadap diri kita sebenarnya adalah bukti ketidaktahuan kita akan pengaturan Allah yang baik terhadap diri kita—dan karenanya adalah juga bukti minimnya cahaya makrifat di hati kita.

Lebih dari sekadar ironi dan kesia-siaan, Ibn Athaillah juga mengategorikan sikap sibuk mengatur urusan diri sebagai sebentuk syirik rububiah. Bila syirik uluhiah berarti meyakini ada tuhan lain yang patut disembah selain Allah, atau menentang ketuhanan Allah; syirik rububiah berarti meyakini ada pengatur lain yang turut mengurus kehidupan selain Allah—dalam hal ini kita 'meyakini' bahwa kita bisa menjadi pengatur selain-Nya—atau menentang pengaturan Allah. Bila demikian, sesungguhnya Ibn Athaillah bermaksud menyadarkan kita akan sesuatu yang sangat berbahaya dalam konteks penghambaan kita kepada Allah. Dan rasa-rasanya buku ini menjadi wajib dibaca oleh mereka yang berislam, yang menyatakan keberserahan diri mereka kepada Allah.

Mereka yang memelihara kesopanan kepada Allah dan tidak ingin jauh dari-Nya, tentu akan mencoba menggugurkan tadbir dan iradah mereka yang membuat mereka terhijab (tertabiri) dari Allah. Mereka akan keluar dari gelapnya tadbir (sikap mengatur diri) menuju terangnya tafwidh, yakni penyerahan urusan atau pilihan hidup kepada Allah, hingga mereka menyaksikan bahwa diri ini diatur dan tidak turut mengatur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan dan tidak bergerak sendiri. Untuk ini diperlukan sikap rida dengan pengaturan Allah. Rasa berat hati hanya akan membuat hati tetap terhijab dari cahaya Allah. Selain itu diperlukan pula sikap selalu berbaik sangka kepada Allah. Allah lebih tahu mengenai apa yang terbaik buat hamba-Nya. Dia pun sudah berjanji bahwa siapa bertawakal kepada-Nya, Dia akan mencukupinya. Lebih dari rida dan berbaik sangka, mereka juga akan senang dan mencintai segala kehendak dan keputusan Allah Sang Pemilik anugerah.

Pembaca budiman, model kepasrahan ala tasawuf Ibn Athaillah seperti ini tidaklah perlu dicap sebagai semacam kepasifan dalam hidup. Kepasrahan atau keberserahan diri kepada pengaturan dan kehendak Allah tidaklah sama dengan berhenti bekerja, berhenti mengais rezeki, ataupun berhenti berdoa lantaran menyerahkan semuanya kepada Allah. Bahkan, pembaca akan mendapatkan bahwa adab berharta, mencari rezeki, berusaha, dan berdoa adalah tema penting dalam buku ini, yang dengannya Ibn Athaillah bermaksud menepis pandangan yang mengesankan kepasrahan sebagai kemalasan.

Dari segi "cara hidup", baik orang yang berserah ataupun orang yang tidak berserah nyaris tiada beda-nya. Yang membedakan mereka adalah cara mereka memandang, merasa, dan menyikapi hidup. Dalam hal ini, ajaran isqath al-tadbir sebetulnya adalah juga ajaran mengenai kecerdasan emosional-spiritual . Sebab, pada praktiknya, isqath al-tadbir akan setidaknya membuahkan beberapa sikap hati berikut ini:

Pertama, ketidakrisauan akan sarana-sarana penghidupan. Sikap ini penting agar hidup tidak dipenuhi perasaan cemas, khawatir, gundah, dan gelisah yang menempatkan hidup kita selalu dalam tekanan. Tak hanya itu, ketenangan itu sendiri juga penting demi kesuksesan kita meraih sarana-sarana penghidupan.

Kedua, ketidakbergantungan pada amal atau usaha. Kebergantungan pada perbuatan atau daya upaya acap kali berbuntut keputusasaan dan frustrasi pada saat kendala dan kegagalan ditemui. Dengan bergantung kepada Allah, kita bisa terhindar dari keputusasaan yang mencelakakan. Bersandar kepada-Nya membuat kita selalu bangkit dan selamat dari perasaan terpuruk.

Ketiga, keridaan pada kenyataan. Kekecewaan, kekesalan, dan ketidakpuasan pada kejadian-kejadian yang menimpa hanya akan menguras energi kita yang sebetulnya bisa kita gunakan untuk sesuatu yang positif. Dengan rida pada kenyataan, segetir apa pun itu, kita akan selalu siap menghadapinya dan meresponsnya secara wajar dan berguna.

Keempat, keberharapan atau optimisme hidup. Dengan bersandar kepada Allah, dan percaya bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik, kita melipat gandakan rasa optimis kita—terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa kita di mata orang. Dengan tak pernah lalai bahwa Allah Maha Menolong dan Mahakuasa, dengan tak pernah kehilangan rasa butuh kepada-Nya, kita menjadi terbebas dari penjara keterbatasan, dan merasa lapang sekalipun dikepung oleh berbagai ketidakmungkinan—serasa menjadi pemenang dalam hidup selamanya. Selamat mencoba!




Read More..