Friday, February 13, 2009

Menyusuri Lorong Yang Berliku

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri peluncuran buku Pengembaraan Batin seorang santri Jawa di Lorong Kehidupan, tulisan sahabat saya Bambang Wiwoho, dengan kata pengantar Prof. K.H. Ali Yafie. Saya tertarik buku itu karena saya sering bersama beliau melalui lorong-lorong kehidupan, terkadang dalam satu lorong, terkadang harus berpisah karena lorongnya sempit. Kami berdua sama-sama murid Kyai AliYafie, yang berbeda, pak Wie,panggilan akrab Pak Bambang Wiwoho adalah orang Jawa santri, yang belajar agama Islam melalui tembang-tembang Jawa dan dari nasehat ibunya. Sebaliknya saya meski orang Jawa tetapi terlebih dahulu menjadi santri,baru kemudian mengenal budaya Jawa.

Panggung kehidupan memang memungkinkan orang berjalan di jalan raya. Jalan raya itu lebar,mulus dan orang ramai melewatinya. Perjalanan di jalan raya kehidupan nampak terang, ada ukurannya,misalnya perjalanan seorang birokrat dalam menempuh karier, jelas pangkatnya, status sosialnya. Tetapi yang nampak itu belum tentu yang sebenarnya. Orang yang sukses dalam karier formal,belum tentu ia sukses dalam kehidupan. Yang dihormati dalam upacara belum tentu orangnya terhormat. Yang tinggi pangkatnya belum tentu tinggi martabatnya.Namanya juga panggung, hebat di mata penonton dalam peran yang dimainkan, tetapi yang sesungguhnya berperan belum tentu dia..

Terkadang orang sumpek, tidak nyaman dan bahkan muak berjalan di jalan raya karena terlalu banyak sampah dan polusi udara ,maka ada orang yang memilih jalan alternatip. Jalan alternatip biasanya melingkar lebih jauh dan sempit. Begitupun jalan kehidupan, ada loringnya. Ada lorong politik,lorong ekonomi, lorong budaya,lorong seni, lorong spiritual dan sebagainya.

Lorong Yang Berliku

Manusia memiliki tabiat kerjasama dan bersaing sekaligus. Ada yang bersaing secara fair,ada juga yang tidak fair. Persaingan politik cenderung tidak fair, karena politik lebih dekat ke syahwat dibanding nurani,bahkan meski partainya sudah dinamakan partai nurani. Secara teori , politik itu netral,tidak mesti kotor. Jika anda studi di Internasional Islamic University Malaysia (IIUM), jika anda ambil mayor program teologi (ilmu ushuluddin) , maka program minor yang harus anda ambil adalah ilmu politik (`ilm assiyasah). Jadi politik ada dibawah payung ilmu ketuhanan. Alur pikirnya adalah sebagai berikut. Politik adalah kendaraan untukmencapai kekuasaan, sementara pemilik kekuasaan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka bagaimana politisi berkuasa harus meniru cara Tuhan berkuasa, takhallaqu bi akhlaqillah, kata ilmu tasauf. Disatu sisi Tuhan adalah Maha Kuasa yang kekuasaan Nya tak terbatas, tetapi di sisi yang lain, Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nah menejemen kontrolnya adalah sifat adil,dan Tuhan adalah Maha Adil. Jadi seorang penguasa yang benar adalah yang menggunakan kekuasaanya untuk menyebarkan kasih sayang kepada rakyat dengan seadil-adilnya. Problemnya, kekuasaan cenderung korup, bertindak adil bagi penguasa juga sangat berat karena sering harus berperang dengan kepentingan sendiri (konflik interest)

Dalam usia 19 tahun saya menjabat sebagai sekretaruis Partai NU tingkat kecamatan, pada tahun 1965.Pemahaman saya pada politik dalam usia muda dan pada masa tahun itu masih sangat bias. Pasca G.30 S, dunia politik saya tinggalkan untuk kemudian masuk dunia keilmuan, kuliah dan mengajar. Setelah seluruh jenjang keguruan saya lalui, dari guru SD hingga guru besar,bersamaan dengan era reformasi saya terseret lagi ke dunia politik,menjadi pendiri hingga akhirnya menjadi Wakil Ketua Umum Partai The rulling party. Menjabat sebagai ketua partai adalah berjalan di jalan raya politik. Tujuan kebanyakan orang berpartai adalah menjadi anggauta parlemen atau menjadi eksekutip. Ternyata politik dalam praktek itu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Mestinya politik itu memiliki tiga sisi, ilmu, game dan seni. Dengan ilmu politik, konstitusi, peraturan dan struktur organisasi jadi logis. Dengan game, politik menjadi meriah,kalah ataupun memang tetap mendapat applouse. Politik sebagai seni membuat perkelahian sekalipun indah ditonton dan indah dirasa. Partai saya menggariskan politikcerdas,santun,bersih dan demokratis. Di jalan raya politik ternyata tidak mudah untuk konsisten menjalankan politik cerdas,santun,bersih dan demokratis, karena sering bersaing dengan kepentingan jangka pendek.

Politik itu power. Dalam dunia mesin, mesin mobil atau kapal misalnya,ukuran kekuatan itu diukur dengan tenaga kuda (HP). Politik itu fungsinya sama seperti kuda, yakni bisa mengantar orang bahkan membawa kereta ke tujuan tertentu. Tetapi watak kuda itu liar,oleh karena itu seorang kusir sado atau penunggang kuda harus memasang kacamata kuda agar power itu terkendali tidak liar. Politik pun tidak boleh terbuka telanjang bulat,ada wilayah-wilayah tertentu yang harus tertutup untuk umum. Yang menarik,orang Betawi menamakan kusir delman dengan nama sais. Sais adalah kata dalam bahasa Arab, bentuk isim fail dari kata siyasah yang artinya politik. Politisi adalah tak ubahnya sais yang harus pandai-pandai mengendalikan powernya. Salah kendali bisa disepak .

Saya ingat ajaran empat kebenaran dari agama Budha; (1)hidup adalah penderitaan (2) penderitaan disebabkan karena adanya keinginan,(3) untuk menghilangkan penderitaan caranya dengan menghilangkan keinginan,(4) untuk menghilangkan keinginan caranya dengan melakukan delapan jalan, yaitu berkata benar, berfikir benar, berbuat benar dan seterusnya. Saya juga ingat nasehat Abuzar al Ghifari,bahwa barang siapa mengejar dunia ia akan kehilangan makna dunia,barang siapa meninggalkan dunia,ia akan menggenggam dunia, penguasaan dunia caranya dengan meninggalkannya, dan orang yang kehilangan makna dunia itu disebabkan karena mengejar-ngejarnya.

Dari renungan di jalan raya itu menuntun saya ke jalan alternatip, saya mencoba memasuki lorong-lorong politik, saya tidak mau menjadi caleg .Di tengah masyarakat yang mengenali saya sebagai petinggi partai politik, saya justeru aktip di bidang konseling keluarga, tetap disiplin mengajar di pascasarjana, mengakrabi bidang sosial keagamaan,dan pergaulan lintas agama. Disitu ternyata sarat dengan nilai-nilai politik dalam perspektip lorong. Lorong politik yang sempit itu terkadang saya jumpai tempat becek, bahkan
berlumpur, tetapi ternyata di dalam lumpur bisa dijumpai mutiara,dan meski sudah terendam lama di kubangan lumpur, mutiara tetap mutiara, oleh karena itu di dalam lorong yang sempit itu juga terkadang ada ruang yang terang benderang, bersih dan sehat. Disitulah keindahan berpolitik dapat dirasakan, meski tidak nampak karena tidak diliput pers. Anda sedang menyusuri lorong apa?

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

No comments:

Post a Comment