Tuesday, December 13, 2011

Ranting Berduri


Di suatu kesempatan seorang Guru sedang duduk bersama seorang Muridnya, dan Sang Guru pun memulai perbincangan, "Wahai Muridku maukah engkau aku beritahukan salah sebuah hikmah kehidupan dari banyaknya hikmah kehidupan yang bertebaran di bumi dan langit Allah ini?"

Sang Murid pun menjawab dengan penuh semangat, "Tiada kata yang pantas untuk menjawab pertanyaanmu wahai Guruku selain aku pasti akan menerima ilmu hikmah yang akan engkau berikan tersebut."

Setelah mendengar jawaban dari Sang Murid, Sang Guru akhirnya memberikan suatu perintah kepada muridnya, “Baiklah jika engkau ingin aku beritahukan sebuah hikmah kehidupan tersebut, saat ini engkau akan aku tugaskan untuk mencari duri atau ranting pohon yang ada dijalanan, kemudian jika engkau telah menemukan duri atau ranting pohon dijalan maka singkirkanlah, dan setelah itu duduklah engkau pinggir jalan tersebut sebelum matahari terbenam, kemudian pulanglah dan temuilah diriku di masjid.”

Kemudian Sang Murid dengan penuh rasa penasaran menjawab perintah Sang Guru, “Baiklah Guruku, aku akan menjalankan perintahmu, aku mohon pamit Guru, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab sang guru.

Singkat cerita Sang Murid akhirnya menjalankan apa yang diperintahkan oleh Gurunya. Dia kesana kemari mencari duri atau ranting pohon yang berada di tengah jalan, setelah tidak berapa lama mencari akhirnya ia temukan ranting pohon yang bahkan penuh dengan duri, lalu disingkirkannya ke tempat yang nantinya tidak ada orang yang terganggu dengan ranting penuh duri itu. Setelah selasai dengan tugas pertama, Sang Murid langsung mengerjakan tugas selanjutnya yaitu duduk di pinggir jalan tepat dimana ranting berduri tadi ia ambil dari tengah jalanan.

Sekian lama duduk di pinggir jalan, semakin ia bingung dengan apa yang diperintahkan Sang Guru, karena semenjak ia menyingkirkan ranting berduri hingga menjelang matahari terbenam, yang ia lihat hanyalah orang-orang yang berjalan lalu-lalang, tidak ada hal aneh yang ia rasakan, perasaan ini terus berlangsung hingga matahari hampir terbenam. Ia telah menyelasaikan apa yang Gurunya perintahkan, lalu bergegas menuju Masjid untuk melaksanakan sholat Maghrib.

Setelah selesai Sholat maghrib berjama’ah dan berdzikir, Sang Murid langsung menemui Sang Guru yang memang telah menunggunya di Masjid. Ia pun berkata, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,”

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Sang Guru.

“Wahai Guruku, tugas yang telah engkau perintahkan kepadaku telah aku jalankan, apakah hikmah yang ingin engkau sampaikan kepadaku wahai Guruku, sungguh sejak aku melakukan apa yang engkau perintahkan, pikiranku terus bertanya-tanya apa hikmah dari semua ini,” jelas Sang Murid dengan mimik wajah penuh pertanyaan.

Sang Gurupun menjawabnya, “Wahai Muridku, sungguh perbuatan yang engkau lakukan adalah perbuatan yang mulia, perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan RasulMu Muhammad SAW, perbuatan yang dianggap remeh oleh banyak orang saat ini, perbuatan yang terlihat kecil di pandangan mata akan tetapi sangat besar dihadapan Allah, satu hikmah yang ingin aku beritahukan kepadamu adalah apakah ketika engkau menyingkirkan ranting berduri tersebut dan kemudian engkau berdiri di pinggir jalan dan kemudian banyak orang yang berlalu lalang dijalanan tersebut adakah terngiang di hatimu agar orang-orang yang berlalu tersebut mengucapkan terima kasih kepadamu atau bahkan memberikan imbalan atas apa yang engkau lakukan tersebut?” tanya Sang Guru.

Sang Muridpun menjawab, “Wahai Guruku, ketika melakukan itu semua dan melihat banyak orang yang berlalu melewati jalan di depanku tidak ada sama sekali terbersit di dalam hatiku agar nantinya ada orang-orang yang mengucapkan terima kasih kepadaku bahkan memberikan imbalan atas apa yang telah aku lakukan tersebut, demi Allah.”

Dengan mata bersinar Sang Guru akhirnya menjalaskan apa hikmah yang tersembunyi dari apa yang telah diperintahkannya kepada Muridnya, “Wahai Muridku, engkau telah menemukan hikmah dari apa yang telah aku perintahkan kepadamu, yaitu senantiasalah engkau berbuat baik dimanapun engkau berada, sekecil apapun itu, dan janganlah engkau mengharapkan sepatah kata terimaksihpun dari lisan orang-orang yang telah engkau bantu, biarlah Allah yang akan membalas semua perbuatan baikmu, biarlah Allah yang akan mengucapkan terima kasih kepadamu, dan jadilah engkau orang-orang yang mengharapkan imbalan dari Allah yaitu berupa ampunanNya.”

Wahai muridku perhatikanlah firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam Surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan Kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera,” (QS. Al-Insan [76] : 5-12) Dan perhatikanlah bagaimana Nabi Muhammad SAW telah bersabda bersabda. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata, “Aku membaca Hadits Malik dari Sumayya —budak— Abu Bakr dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Ketika seorang lelaki tengah berjalan di suatu jalan ia mendapati batang kayu yang berduri di jalan tersebut, lalu ia mengambil dan membuangnya, maka Allah 'azza wajalla berterima kasih kepadanya dan mengampuninya’.” (HR. Muslim) Dari semua yang telah engkau ketahui di hari ini, semoga dengan hikmah tersebut engkau bisa memahaminya dan menjalankannya di dalam kehidupan keseharianmu.

Dengan wajah yang penuh dengan hikmah kehidupan yang dia alami di hari ini dan diperjelas lagi oleh perkataan Sang Guru, maka Sang Murid pun menjawab, “Terima kasih wahai Guruku atas hikmah yang telah engkau beritahukan kepadaku di hari ini, hikmah ini menyadarkan diriku atas begitu luar biasanya sebuah amal perbuatan yang dikerjakan dan dilakukan dengan berharap balasan kepada Allah semata, Insya Allah aku akan menjalankan hikmah ini dengan baik.”

Oleh Abdul Malik Hakim

Read More..

Mereka Yang Kian Menjadi Setelah Pulang Dari Haji (1)


“Semakin banyak peziarah yang berangkat ke Makkah, semakin meningkatlah fanatisme (Keislaman).” -Koran De Locomotief, 1877-

Seratusan tahun lalu sejak kalimat tersebut dimuat di Koran Hindia Belanda De Locomotief (terbit pertama kali di semarang 1845), umat Islam di Indonesia pernah merasakan bagaimana momentum haji begitu berpengaruh dalam diri pribadi. Ditakuti oleh musuh-musuhNya, tapi dicari-cari oleh perindu tuntunanNya. Tidak ada kisah jema’ah pulang haji menjadi pencuri. Tak ada pula mereka yang setiba dari Tanah Suci kemudian mendekam di bui karena kasus korupsi. Haji adalah momentum suci untuk membawa misi Islam ke dalam negeri.

Padahal pergi berhaji di masa lalu sangatlah sulit. Tiap-tiap jama’ah haji terpaksa merogoh kantong lebih dalam. Tidak jarang mereka menjual hasil apa saja. Baik dari hasil perkebunan, pertanian, maupun perdagangan. Sebab pada awal abad 20, ongkos haji sendiri berkisar antara 570 sampai 856 gulden.

Kendala biaya ternyata datang bersamaan dengan sulitnya transportasi menuju tanah haram. Pada sebelum tahun 1922 saja, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang. Dapat dibayangkan calon jama’ah haji dari Kalimantan mesti menuju Batavia dahulu sebelum berlayar menuju Jeddah.

Di Padang sendiri, embarkasi berada di Masjid Raya Ganting. Mesjid ini merupakan masjid tertua di Padang yang dibangun sekitar tahun 1700. Dari masjid inilah jama’ah haji dipersiapkan sebelum pergi berlayar menunaikan rukun Islam yang ke lima melalui pelabuhan Emmahaven (sekarang Teluk Bayur).


Pelabuhan Emmahaven, Tempat Pemberangkatan Jema'ah ke Tanah Suci

Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda. Karenanya, selain beribadah, tak jarang para haji juga menuntut ilmu di Tanah Suci guna menunggu kapal pengangkut yang akan datang kemudian. Para calon haji biasanya datang pada bulan puasa agar bisa berpuasa di Haramain.

Syekh Nawawi Al Bantani adalah satu dari sekian ulama nusantara yang berhasil mencatatkan tinta emas selepas naik Haji. Orang-orang Mekkah juga mengenalnya dengan sebutan Nawawi al-Jawi. Sebab sebutan al-Jawi mengindikasikan seseorang yang bermuasal dari Jawah sebagai sapaan untuk para pendatang Nusantara. Nama Indonesia kala itu belum dikenal. Kalangan pesantren sekarang lebih menyebut ulama yang juga digelari asy-Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.

Syekh Nawawi Al Bantani menunaikan haji tepat saat berusia 15 tahun. Ia kemudian memilih tinggal selama tiga tahun di Mekkah. Namun kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.

Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani. Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan.

Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.

Sebab Kedalaman ilmunya, beliau dijadikan sebagai guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan Syekh Nawawi memiliki tiga gelar kehormatan prestisius; “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan olah para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin” dan “Imam ‘Ulama al-Haramain”. Layaknya seorang Syekh dan ulama besar, Syekh Nawawi sangat menguasai berbagai disiplin ilmu agama.

Syekh Nawawi tidak hanya terkenal dalam bidang keilmuan, tapi juga pada gerakannya melawan kolonialime. Snouck Hugronje pernah berkata, “Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang tidak teratur.”

Tak heran, banyak murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antaranya seperti Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang keIslaman ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah.

Jauh sebelum Syekh Nawawi Al Bantani, kita juga memiliki ulama sekaligus pejuang hasil tempaan di Mekkah, yakni Syekh Yusuf Al Makassari (1626-1699 M). Tak jauh beda dengan Syekh Nawawi, Syekh Yusuf Al Makassari menunaikan haji di usia relatif muda: 18 tahun!

Syahdan, sekembali dari Mekah pada 1664, Syekh Yusuf Al-Makassari yaang waktu itu berusia 38 tahun tidak langsung pulang ke Gowa, tapi tinggal di Banten. Berbeda dari 15 tahun yang lalu ketika dia tinggalkan, Banten sekarang sudah ramai. Sahabat karibnya, Pangeran Surya, sudah menduduki tahta Kesultanan Banten dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah, atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kini, sahabat dan rakyat Banten tidak lagi memanggil dengan nama kecilnya Muhammad Yusuf. Ia dipandang sebagai ulama, dengan panggilan syekh.

Jemaah Haji dari Banten sudah menyaksikan kedudukan Yusuf di antara ulama-ulama di Mekkah dan memperkenalkan namanya pada rakyat Banten. Jadi, rakyat dan Sultan Banten sudah mengenalnya sebelum ia tiba di Banten dan sudah diduga Sultan Banten memesannya lebih dahulu untuk pulang ke tanah air guna memperkuat barisan dalam menghadapi Kompeni.(Pz/bersambung)


Read More..

Mereka Yang Kian Menjadi Setelah Pulang Dari Haji (2)


Ada yang menarik dari para ulama nusantara yang berhaji ke Mekkah, yakni kebiasaan mereka berhaji selagi muda. Jika Syekh Yusuf Al Makassar berhaji pada umur 18 tahun, maka Muhammad Darwis alias KH. Ahmad Dahlan menginjakkan kaki di Mekkah pada umur 15 tahun.

Lima tahun lamanya ulama kelahiran 1868 ini mengabiskan waktu di Mekkah. Disana KH. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.

Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini pula, KH. Ahmad Dahlan sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.

Sepulang dari Mekkah, pendiri Muhammadiyah tersebut menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Namun kepulangannya ke tanah air untuk berdakwah tidak semudah yang dibayangkan.

Pemerintah kolonial kala itu menerapkan kebijakan untuk mengawasi orang-orang yang baru pulang dari Mekkah. Mereka menyita semua kitab-kitab dan bacaan lainnya yang mereka bawa, Akan tetapi KH. Ahmad Dahlan berhasil menyelundupkan kitab-kitab dan bacaan lainnya, seperti majalah Al Urwah Al Wutsqa dan Al Manar melalui pelabuhan Tuban. Maklum saja saat itu bacaan-bacaan dari Timur Tengah dianggap “tabu” oleh Belanda. Gelar Haji identik dengan ajaran Pan Islamisme yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al Afghani.

Selama periode 1850-1930, sebagian besar koran-koran Belanda sudah memprovokasi atas bahayanya para alumni Mekkah yang kembali ke tanah air. Mereka menulis bahwa semua masalah Belanda di Indonesia dimulai dari kegiatan ibadah haji Muslim Indonesia ke Mekkah. Hal ini seperti ditulis oleh seorang analis di Koran Algemeen pada tahun 1859. Ia mengatakan, “Opini publik mengatakan bahwa penyebab kerusuhan terutama dapat ditemukan atas meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah, dan peningkatan itu mengakibatkan meningkatnya fanatisme, yang karenanya penduduk pribumi memiliki motif untuk memberontak terhadap Kekristenan dan dominasi Eropa.”

Betul saja, sepulangnya dari Haji KH. Ahmad Dahlan mulai prihatin dengan tumbuh suburnya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi dari Belanda. Menurut Artawaijaya dalam bukunya Jaringan Yahudi di Nusantara, semua sekolah-sekolah ini selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat mendapat sokongan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh gerakan Kemasonan.

Keprihatinan itulah yang membuat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang secara tegas menonjolkan identitas keIslamannya. Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung Pemerintah Kolonial.

Dalam sejarahnya, Gerakan mengkristenkan pribumi itu dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dengan tokohnya Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.

Selain itu, salah satu tantangan dakwah di Tanah Air pada masa KH. Ahmad Dahlan datang dari Boedi Oetomo. Kelompok Ningrat Jawa yang dekat dengan kaum theosofi ini gencar melecehkan Islam sebagai agama. KH. Ahmad Dahlan sendiri pernah bergabung dengan Boedi Oetomo, akan tetapi keberadaannya di dalam organisasi primordialis itu berjalan tidak begitu lama karena inflitrasi Kemasonan dalam tubuh kelompok yang didirikan Dr. Soetomo sudah sangat kuat.

Selain KH. Ahmad Dahlan, tokoh lain yang patut dikaji dalam perlawanannya terhadap Belanda sepulan haji adalah H. Agus Salim. Tokoh Perjuangan Kemerdekaan ini adalah salah satu tokoh yang terkenal gigih melawan pemikiran orientalis seperti Snouck Hugronje. Islamisasi nusantara, menurut Haji Agus Salim, bukanlah proses tanpa rencana yang dilakukan oleh para pedagang dan penjelajah bahari 600 tahun setelah pengutusan Nabi Muhammad SAW (sekitar abad ke-13 M), sebagaimana pendapat para orientalis. Sangat tidak masuk akal jika agama Islam yang telah menyebar ke hampir seluruh negeri dan dipeluk oleh mayoritas penduduk itu disiarkan dengan sambil lalu begitu saja.(M. Isa Anshory, Haji Agus Salim Menjawab Orientalis)

Selama kurang lebih enam tahun, H. Agus Salim berada di Arab Saudi. Di Jeddah, Agus Salim memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Agus Salim juga belajar agama Islam pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim disana.

Akhirnya pada tahun 1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda. Pada tahun 1915, H.Agus Salim menjadi Redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi. Pada Harian Neratja terbitan 25 September 1917, Agus Salim secara lantang menulis, "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Itu adalah sebuah bentuk kritikannya akan kuatnya pengaruh penjajahan belanda di bumi nusantara.

Jiwa perlawanan Agus Salim terhadap kolonialisme memang sudah tertanam sejak muda. Pada tahun 1903, setelah KH. Agus Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi, Kartini berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran.

Kartini berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima! (Pz/Bersambung)



Read More..

Takabbur atau Sombong


Pengertian takabbur berarti sombong atau menampakkan keagungan pribadi. Dalam kitab Lisanul Arab, antara lain disebutkan bahwa at-takabbur wal istikbaar berarti 'atta'azzhum' (sombong). Firman Allah Ta'la menyebutkan pengertian tersebut antara lain, terdapat dalam surah al-A'araaf [7] ayat 146, yakni:
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ...
"Allah akan memalingkan orang-orang yagn menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar".

Maksudnya, orang-orang itu telah mengganggap bahwa dirinya merupakan makhluk yang paling mulia yang tidak dimiliki oleh orangn lain. Sedangkan menurut istilah, takabbur ialah sikap seorang aktivis yang terlalu membangga-banggakan diri (ujub) yang berakibat dirinya selalu menghina atau meremehkan diri dan pribadi orang lain serta tida pantas untuk menerima kebenaran dari mereka.

Rasulullah shallahu alaihi wassalam bersabda, "Tidak masuk surga barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kibr (sombong) sebesar biji zarrah".
Kemudian salah seorang sahabat bertanya, "Bagaimana jika ada seorang yang menyukai baju yang baik dan sandal yang bagus?".
Rasulullah shallahu alaihi wassalam menjawab, "Sesungguhnya Allah itu indah dan suka kepada yang indah".

Sedangkan takabbur dan izzah mempunyai perbedaan yang sangat mendasar sekali. Takabbur merupakan sikap sombong dalam kebathilan, sedangkan izzah merupakan sikap bangga dalam kebenaran. Atau dengan kata lain, takabbur adalah penolakan dan pengingkaran terhadap nikmat, sedangkan izzah adalah pengakuan terhadap nikmat, kemudian orang yang bersangkutan membicarakannya, sebagaimana yang telah disebutkan hadist diatas.

Faktor-Faktor Penyebab Takabbur
Karena sikap takabbur bararti sikap sangat ujub yang berdampak pada sikap menghina orang lain serta menganggap dirinya lebih tinggi dan unggul atau merasa lebih tinggi dibandingkan orang lain, maka pada dasarnya faktor-faktor penyebab dan pendorongnya hampir sama dengan sikap ujub dan ghurur. Mungkin yang berbeda hanya tingkat keparahan gradasinya saja. Berikut akan saya coba kemukakan tambahan-tambahannya saja.

Pertama, sikap tawadhu' yang berlebihan oleh orang lain.
Ada sebagian manusia yang bersikap berlebihan dalam hal tawadhu', sampai-sampai mereka mencoba menjalankan hidupnya dengan sangat sederhana atau terlalu bersahaja.
Misalnya, mencoba meninggalkan kepantasan dan kelaziman dalam berpakaian atau dalam hal makan dan minum. Padahal, mereka itu merupakan orang-orang yang berkecukupan. Contoh lain, mereka tidak ikut serta menyumbangkan pemikiran dan pendapat yang dimilikinya kepada orang lain, atau selalu berusaha menolak kepercayaan, tanggungjawab, serta amanah yang diberikan orang lain kepadanya. Padahal, dia memiliki kemampuan untuk melaksanakan semua itu.

Setan akan menggoda dan membisiki mereka bahwa sikap yang telah diambilnya itu merupakan bentuk keunggulannya yang tidak dimiliki oleh orang lain, atau orang yang hebat lagi mulia. Karena mampu bersikap tawadhu'. Selain itu, juga merendahkan mereka akan merendahkan dan menghina orang lain.

Faktor yang dapat mengeliminasi sikap takabbur ini telah diingatkan oleh Allah dalam al-Qur'an dan Sunnah, yaitu tatkala kita diharuskan untuk senantiasa menyebut-nyebut nikmat yang dianugerahi Allah Ta'ala. Firman-Nya:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ﴿١١﴾
"Dan nikmat Tuhanmu, maka sebut-sebutlah". (QS. Adh-Dhuha [93] : 11)
Atau sabda Rasulullah shallahu alaihi wassalam, "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan". (HR. Muslim)
"Dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, yang memuji-Mu karenanya, yagn memperolehnya, dan yang telah disempurnakan nikmat itu kepada kami". (Hadist dari kitab Ibnu Katsir).

Malik bin Nadhlah al-Jasyaimi berkata, "Aku mendatangi Rasulullah dengan mengenakan baju yang buruk. Kemudian Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau memiliki harta?' Aku menjawab, 'Punya, ya Rasulullah'. Rasulullah bertanya lagi, 'Harta apa yang engkau miliki?'. Aku menjawab, 'Allah telah menganugerahiku onta, kambing, kuda, dan budak'. Mendengar jawabanku itu Rasulullah bersabda, 'Jika engkau dianugerahi harta oleh Allah, maka perlihatkanlah bekas nikmat Allah itu, dan kemuliaan-Nya kepadamu'." (HR. Abu Dawud)

Para ulama salaf telah memahami benar makna hadist itu, sehingga mereka selalu menjalankannya dan menegur orang yang tidak menyadari. Hasan bi Ali ra pernah berkata, "Jika engkau memperoleh suatu kebaikan atau engkau mengerjakan suatu kebaikan, maka bicarakanlah hal itu kepada saudaramu yang engkau percayai".
Abu Bakar bin Abdillah al Muzni pernah pula berkata, "Barangsiapa yang diberi kebaikan (kekayaan) lalu tidak tampak pada dirinya, maka ia termasuk orang yang dibenci oleh Allah dan menentang nikmat Allah (yang telah diberikannya)". (Kitab al-Jaami' li ahkaamil Qur'an. Qurthubi, 20/102).


Read More..

Benarkah Orang-Orang Sulit Itu Sulit?


Salah satu tantangan pelik dalam tugas kepemimpinan adalah orang-orang yang kita sebut sebagai orang sulit. Nyaris disemua organisasi ada saja orang yang disebut sebagai orang sulit ini. Alasan mereka disebut orang sulit adalah karena sikapnya menimbulkan kesulitan bagi orang lain, khususnya atasan dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerja dengannya. Pertanyaannya adalah; Apakah mereka yang menjadi ’orang sulit bagi kita’? Ataukah kita yang justru merupakan orang sulit bagi mereka? Merenungkan pertanyaan itu bisa membantu kita untuk melihat lebih jernih dan mengambil tindakan yang lebih konstruktif.

Film The Horse Whisperer berkisah tentang seekor kuda yang mengalami trauma setelah tertabrak trailer di New York City. Mengingat lukanya yang parah, dokter hewan menyarankan untuk lakukan eutanasia. Namun pemiliknya bersikukuh untuk mempertahankannya. Kuda itu sembuh secara fisik, tapi secara mental tetap sakit. Dia berubah menjadi sangat ganas melebihi keganasan kuda liar dialam bebas. Kuda itu membenci manusia, khususnya sang pemilik yang menungganginya saat kecelakaan terjadi. Di pegunungan Montana, ada seorang koboi yang cakap mengurus kuda hingga dijuluki sebagai Sang Pembisik Kuda. Melalui perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya kuda itu berhasil disembuhkan kembali. Manusia, bisa lebih liar dari hewan. Tetapi manusia memiliki perangkat akal dan nurani dengan derajat yang jauh melampaui mahluk manapun. Makanya, seliar-liarnya manusia; selalu punya peluang untuk menjadi pribadi yang berbudi. Apalagi sekedar orang yang kita sebut sebagai
, tentu bisa menjadi orang yang mudah bekerjasama. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami orang sulit, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:

1. Jadilah orang yang mudah bagi orang lain. Ini adalah prinsip paling mendasar yang sering dilupakan orang. Dalam pengamatan saya, begitu banyak orang yang menilai orang lain sebagai orang yang sulit padahal dia tidak menyadari bahwa dirinyalah sebenarnya orang yang sulit itu. Sebuah hubungan tidak bisa disokong oleh satu pihak; Anda saja, atau dia saja. Harus Anda dan dia. Jika Anda dan dia sama-sama sulit, maka hubungan itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Jika Anda mudah dan dia sulit, maka Anda masih punya peluang untuk tetap menjaga performa. Namun jika yang sulit itu justru Anda bukan dia, maka Anda nyaris tidak memiliki harapan untuk memperbaiki keadaan selama tidak menyadarinya. Jadi, langkah paling awal yang mesti kita ambil adalah memastikan bahwa kita sendiri bisa menjadi orang yang mudah bagi orang lain. Maka sekarang, mata kita tidak sepenuhnya tertuju kepada orang lain; melainkan berintrospeksi kedalam diri sendiri
juga. Anda yakin Anda bukan orang sulit? Tidak ada salahnya jika mengeceknya sekali lagi.

2. Fahami kebutuhan emosionalnya. Perhatikanlah sekali lagi orang-orang yang kita beri label sebagai orang sulit itu. Ternyata mereka bisa bekerjasama dengan sangat baik bersama orang-orang tertentu. Apa yang menyebabkannya tidak bisa bekerjasama dengan kita? Begitulah pertanyaan yang selayaknya kita ajukan. Hambatan emosional sering menjadi faktor penyebab yang paling menonjol. Akarnya bisa dari hal yang sangat sederhana, sampai kepada hal yang rumit hingga tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Untuk memahaminya, Anda bisa mengamati dari jauh, atau berdiskusi dengan orang-orang yang bisa bekerjasama dengannya. Atau lebih banyak menyediakan diri untuk mengenal orang itu lebih mendalam. Seseorang yang sulit misalnya, ternyata hanya membutuhkan pengakuan atas senioritasnya dari atasannya yang lebih muda. Setelah pengakuan itu didapatkan, dia menjadi respek kepada sang atasan. Merasa lebih berpengalaman atau pernah memimpin lebih banyak orang
juga demikian. Boleh jadi, ada kebutuhan emosi lainnya yang perlu kita kenali dan fahami. Jika dengan orang lain dia bisa bekerjasama dengan baik, maka tentu kita pun bisa mengelola orang itu dengan lebih baik melalui pemahaman terhadap kebutuhan emosionalnya.

3.Fahami masalah yang melatarbelakanginya. Setiap orang memiliki alasan untuk suka atau tidak dalam berhubungan dengan orang lain. Maka apakah seseorang suka atau tidak suka bergaul dan bekerjasama dengan Anda, tentu ada latar belakangnya. Misalnya, seseorang mengatakan kepada saya sambil marah-marah; �saya ini juga pernah menjabat seperti kamu selama 10 tahun, bla bla bla,� Lalu beliau membeberkan fakta tentang betapa mengecewakannya kepemimpinan saya. Saya menghormati penilaiannya, namun saya tegaskan bahwa caranya berbicara dengan saya sama sekali tidak bisa memperbaiki keadaan. �Anda ingin semuanya berjalan lebih baik?�. Tidak ada jawaban yang lebih pintar atas pertanyaan itu selain mengiyakan. �Jika demikian,� lanjut saya �marilah kita bicarakan baik-baik.� Dalam perbincangan selanjutnya beliau bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya di rumah hingga menjadi mudah marah dan cepat emosi. Saya hanya menunjukkan
respek dan empati, tidak lebih dari itu. Di akhir pembicaraan saya dipeluknya sambil dihujani permintaan maaf atas sikapnya selama ini. Dan saya mengimbanginya dengan kesadaran bahwa memang sudah menjadi kewajiban saya untuk melayani orang-orang yang saya pimpin semaksimal mungkin. Sejak saat itu, hubungan kami menjadi sangat baik. Ini kejadian sungguhan. Pada awalnya saya pun ikut terbawa suasana sehingga menilai beliau sebagai orang yang sulit. Tetapi setelah memahami latar belakangnya, terbukalah jalan untuk memperbaiki kualitas hubungan.

4. Seimbang antara tuntutan dan kemanfaatan. Sulitnya seseorang untuk diajak kerjasama bisa jadi karena mereka tidak melihat manfaat bagi dirinya sendiri. Misalnya, seorang bawahan yang menilai atasannya tidak bisa memperjuangkan kepentingannya. Mereka tentu akan cuek melebihi bebek. Terlebih lagi jika atasannya terlalu banyak menuntut. Bawahan Anda, akan semakin sulit dikelola jika Anda tidak dapat menyeimbangkan antara tuntutan dengan manfaat yang bisa Anda berikan kepada mereka. Bahkan sahabat baik Anda pun cepat atau lambat akan mempertanyakan; ‘mengapa gue mesti mendukung elu yang cuma bisa membesarkan nama elu doank? Faktanya, masih banyak atasan yang terlalu sibuk mempertahankan posisi atau imej pribadinya dihadapan atasan yang lebih tinggi. Hingga mereka lupa bahwa kinerjanya justru sangat ditentukan oleh bawahan. Sama seperti halnya Anda yang ‘mengharapkan’ sesuatu dari atasan Anda, maka bawahan Anda pun mengharapkannya dari
Anda. Seseorang yang percaya bahwa atasannya bisa melakukan sesuatu untuk membantu pengembangan karirnya, tentu akan lebih respek dan mudah diajak kerjasama. Maka menunjukkan kepada orang lain bahwa kehadiran kita bisa memberi manfaat bagi mereka merupakan faktor penting untuk melunakkan orang-orang sulit. Kelinci liar sekalipun, kalau ditawari wortel; tentu mendekat juga, bukan?

5. Lakukan dengan ketulusan. Menjadi pemimpin itu memang perlu tulus. Pemimpin yang tulus, jarang sakit hati. Meski ditentang atau dipersulit oleh orang-orang yang sulit. Dia terus berusaha mengajaknya untuk berubah menjadi lebih baik demi kepentingan orang itu sendiri. Dia terus mengupayakannya, meski tetap ditentang atau diremehkan. Sampai kapan? Sampai lepas kewajibannya selama dia memimpin. Artinya, selama jabatan itu melekat dia berkewajiban untuk mengupayakan rekonsiliasi dengan orang-orang sulit agar kinerjanya tetap tinggi. Tapi perlu juga diingat, bahwa jabatan kita mempunyai konsekuensi 2 arah, yaitu; kita sebagai atasan dan/atau kita sebagai bawahan. Faktanya, setinggi apapun jabatan Anda, tetap saja Anda adalah bawahan bagi orang yang jabatannya lebih tinggi. Maka konteks pembicaraan kita ini berlaku baik kita memposisikan diri sebagai atasan yang berhubungan dengan bawahan yang kita anggap sulit. Juga berlaku pada saat kita
memposisikan diri sebagai bawahan yang mengira bahwa atasan kita adalah orang yang sulit. Dan selama kita melakukannya dengan ketulusan, maka kita bisa menikmatinya terlepas dari posisi apa yang kita mainkan. Karena dengan ketulusan, Anda bisa mengelola orang-orang sulit dengan lebih baik. Termasuk jika yang sulit itu ternyata adalah diri Anda sendiri.

Tidak hanya atasan yang suka menilai bawahannya sebagai orang sulit. Banyak juga bawahan yang menilai atasannya yang justru sulit. Di banyak organisasi atau perusahaan hal seperti itu terjadi. Walhasil kedua pihak saling tuduh sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama. Atasan memvonis anak buahnya sebagai pembangkang, sedangkan bawahan menganggap atasannya sebagai pemimpin yang sewenang-wenang. Mana yang benar? Yang jelas, seorang pribadi yang baik bersedia melakukan introspeksi kedalam dirinya sendiri sebelum mengarahkan telunjuk kepada orang lain. Lalu dia berusaha untuk melayani demi kebaikan orang lain. Entah dia sebagai atasan, atau bawahan. Entah orang lain membalasnya dengan kebaikan, atau tetap menyulitkannya dengan beragam polah dan keburukan. Dia terus konsisten dalam usahanya mewujudkan perbaikan. Sedangkan untuk dirinya sendiri, dia cukupkan Tuhannya sebagai penyantun. Hasbunallah wani mal wakil,katanya. Cukuplah Allah
bagiku, dan Dialah sebaik-baiknya pelindung. Dengan prinsip itu, dia tetap teguh untuk mengupayakan rekonsiliasi dan perbaikan. Dan dengan cara itu, dia memastikan bahwa dirinya sendiri bukanlah orang yang sulit itu.

Mari Berbagi Semangat!

Catatan Kaki:
Orang yang kita anggap sulit belum tentu benar-benar sulit. Boleh jadi, kita belum mengetahui cara untuk bekerjasama dengannya.


Read More..