Tuesday, February 2, 2010

Menguji Cinta dan Keikhlasan

Hari ini sebelas tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.

Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan "fisik" terasa lebih penting bagi saya, dari pada pembekalan "mental" yang diberikan oleh Ibu saya.

Ah... betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman lama sebelum memutuskan untuk menikah.

Sejak satu tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya, "Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau mau pergi?"

Sungguh, saat pertanyaan itu selalu membuat saya sebal. "Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belum... kok ribet banget sih..." protes saya gusar. "Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah."

Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.

Saat itu, "Suami ideal" bagi saya adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla... segala hal positif lainnya.

Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.


Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam seribu bahasa pada suatu saat, ketika saya membantahnya dengan mengajukan argumentasi.

Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.
Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung... dan kecewa...

Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya... Dan pertanyaaan yang sering muncul di kepala saya adalah : "Mengapa seorang suami boleh pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?".

Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak dan rumah? Dan berbagai kata "Mengapa" bermunculan saat saya mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah "betapa tidak adilnya Islam pada wanita"... Astaghfirullah... Semoga Allah mengampunkan prasangka buruk saya dulu...

"Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu... lihat kelebihannya saja..." nasehat Ibu kepada saya.
"Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata, '"tapi". Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah..." ucapan seorang sahabat wanita yang sudah saya anggap kakak, mencoba mengetuk hati saya.

Tahun demi tahun kami lalui... Saya pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.

Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu. Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah?

Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat saya didengar dan dipertimbangkankan. Sebagai istri, saya masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya kepada Papa).

Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar. Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat, yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran buku dosa saya. Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.

Saya pun mulai belajar menjadi "paranormal" - istilah saya untuk orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan dengan mulai mempelajari reaksi suami saya - expresi wajah, sorot mata, garis mulut, bahasa tubuhnya - dari berbagai kejadian.

Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata... Tidak adanya kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri, bukan karena terpaksa.

Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya...

Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami... membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan. Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan...

Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna.

But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan perubahan terlebih dulu.

Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.

Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta.

Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya, meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata pada usahanya memperjuangkan hubungan cinta kami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar saya... pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakan saya meskipun dengan caranya sendiri. Dan... masih banyak lagi.

Subhanallah... ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti...

Tiga tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.

Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya, pribadi saya mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya...

Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan saya dengan kelebihannya. Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan...

Lewat introspeksi diri yang panjang pula - karena saya hanya diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang pergi keluar rumah - saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.

Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.

Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah saya berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya?

Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar menjadi belahan jiwa saya.

Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita... Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.

Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya - istri dan anak-anaknya - sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.

Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad... sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad ...

Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak?

Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah.

Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula... Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri saya...

Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk ikhlas... Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.

Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, "Saya ikhlas kog mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu..." (yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas.

Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa hanya berkata, "Ya, saya ikhlas mengerjakannya.", sambil tersenyum pula.

Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.

Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta... suami yang karena karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya...

Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita - semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita - saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata...

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan...

Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping sebagai surga dunia...

Jakarta, 8 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti
Read More..

Perbaikan Diri : Wujud Dari Rasa Syukur

Akhir tahun, biasanya di pilih banyak orang untuk melakukan introspeksi yang biasanya menghasilkan resolusi, istilah kerennya.Untuk saya, akhir tahun ini, disaat usia saya tepat 35 th, saya memilih untuk berbagi wacana singkat tentang perbaikan diri.

Setelah saya menulis tentang catatan perjalanan pernikahan saya di bulan Oktober yang lalu banyak teman dan kerabat, baik pria maupun wanita, mengajak saya berdiskusi tentang perbaikan diri, terutama dalam hubungan antar suami istri.

Jika saya buat klasifikasi umum, hampir semua teman pria mengatakan akan menunjukkan tulisan tersebut kepada istrinya, dan setelah membaca umumnya istrinya akan berkata, “keenakan di elo dong…”

Sedangkan teman wanita memiliki kekhawatiran yang berbeda. “Masalahnya Yen, nggak fair banget dong kalau gue aja yang berubah, suami gue nggak. Capek di gue dong terus perbaikan, suami gue terima enaknya doang.”

Dari respon tersebut, saya menarik kesimpulan umum, bahwa pelaku rumah tangga di Indonesia masih merasa bahwa titik berat sebuah perubahan sikap diletakkan di tangan para wanita.

Jujur, saat membuat tulisan itu, sama sekali tidak terpikir oleh saya masalah gender, juga masalah kedudukan wanita di dalam keluarga. Saat saya mengambil keputusan untuk berubah, sama sekali bukan karena memikirkan orang lain. Tapi justru karena saya memikirkan diri saya sendiri. Terdengar sangat egois? Hahahah…. Mungkin juga.


Anyway, here we go, sesuai dengan judul notes ini, "Mengapa saya sampai bertekad untuk selalu mengadakan perbaikan diri dari hari ke hari?"

Tidak lain tidak bukan, karena membaca Al-Qur’an, tepatnya Surat An Nur : 26 :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”

Dari keterangan di footnote, disebutkan bahwa ayat ini diturunkan saat ada fitnah kepada Ibu Aisyah dan Shafwan, sahabat Rasulullah.

Saat itu saya berpikir, bahwa Al-Qur’an merupakan Janji Allah kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada Rasulullah saja.

Jadi bagaimana dengan saya? Saya berani mengatakan bahwa saya bukan wanita keji. Namun saya belum berani mengatakan saya wanita baik menurut ajaran Islam. Apakah karena itu saya merasa demikian banyak kekurangan suami saya saat itu? Karena saya bukan wanita baik sehingga tidak bisa mendapatkan laki-laki baik?

Terus terang sempat ada rasa takut. Apakah dengan demikian saya akan selamanya hidup bersama laki-laki yang tidak baik?

Namun kemudian muncul sebuah keyakinan bahwa tentu Janji Allah tidak akan se-sempit itu. Islam saja merupakan agama yang universal. Apalagi sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjanjikan bahwa Allah Maha Pengampun.

Maka sejak itu saya berjanji untuk selalu memperbaiki diri, meskipun tidak selalu langsung berhasil.
Dan Alhamdulillah, saya merasa Janji Allah terbukti pada rumah tangga saya, bahwa suami saya pun semakin hari semakin baik dan penuh cinta.

Kepada teman pria yang berkata bahwa istrinya tidak bisa seperti tulisan saya, saya hanya bisa berkata, “Tidak ada salahnya kamu yang berubah terlebih dahulu. Percayalah, setiap perubahan akan ada efek domino-nya. Perubahan diri ke arah yang baik biasanya diikuti dengan perubahan orang-orang di sekitar kita ke arah yang lebih baik pula. Insya Allah, istrimu akan berubah menjadi lebih baik juga, karena saya yakin kamu pasti tidak akan memilih menikahi wanita yang tidak punya hati.”

Kepada teman wanita, yang pastinya lebih sulit diyakinkan, saya akan bertanya, “Kamu lebih percaya janji Allah atau janji manusia?”. Saya percaya semua akan menjawab, “Ya janji Allah dong…”
Maka saya akan meminta teman-teman wanita saya untuk yakin bahwa janji Allah pada Surat An Nur : 26 diatas pasti akan terlaksana.

Bagi teman-teman yang belum memiliki pasangan hidup, saya ingin mengajak melihat dari sisi bahwa Allah masih memberikan waktu kepada kalian untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga langsung bisa mendapatkan pasangan hidup yang juga baik, di dunia atau di akhirat kelak. Jadi, selamat memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya.

Di akhir tahun ini, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk melihat perubahan dari sudut pandang yang berbeda, bahwa perubahan ke arah yang lebih baik, yang dilakukan segera, tanpa menunggu pihak lain berubah lebih dulu, justru paling berguna untuk diri kita sendiri. Karena dengan berubah menjadi lebih baik secepatnya, kita akan lebih cepat menikmati Janji Allah, yaitu kehidupan yang lebih baik pula.

Bagi saya pribadi, perbaikan diri merupakan wujud dari rasa syukur saya atas nikmat Allah yang sudah banyak saya terima, sehingga perubahan tidak perlu menunggu akhir tahun dan awal tahun.

Sedikit demi sedikit, dari hari ke hari, saya selalu ingin berubah menjadi lebih baik. Sehingga akhirnya, pergantian tahun bagi saya hanya merupakan pergantian kalender dan penulisan angka tahun saja, bukan merupakan waktu yang spesial untuk sebuah resolusi, karena saya selalu berusaha melakukan introspeksi setiap hari.

Hanya saja, karena akhir tahun adalah hari ulang tahun saya, besoknya hari libur pula, sehingga yang istimewa bagi saya adalah moment berkumpul dengan keluarga, bukan pergantian tahunnya. So here I am, my friends, always be my self, only a better person day by day, Insya Allah...

Jakarta, 31 Desember 2009
Yeni Suryasusanti
Read More..

Bangkai Manusia Berjalan

Suatu hari, saat mentadabburkan beberapa ayat Qur’an, tiba-tiba ustadz bertanya pada jamaah yang hadir : Pernahkah melihat bangkai manusia berjalan? Para hadirinpun kaget dan serentak menjawab : Belum pernah ustadz… Nah, kalau mau melihat bangkai manusia berjalan, saya akan tunjukkan dan akan perlihatkan bagaimana bangkai-bangkai manusia berseliweran di mana-mana. Jumlahnya banyak sekali. Lebih banyak dari manusia yang hidup. Bentuknyapun sangat beragam. Begitu pula aromanya, ada yang busuk dan ada yang busuk sekali.

Mendengar tantangan tersebut para hadirin mulai berbisik-bisik antara satau sama lain karena sangat penasaran. Mereka tidak sabar dan ingin segera melihat bangkai-bangkai manusia yang berjalan itu. Di antara mereka ada yang berkata : Ustadz jangan bercanda dong? Masa ada bangkai manusia yang berjalan?

Setahu saya manusia yang sudah mati itu tidak bisa berkata, apalagi berjalan. Mandi dimandikan. Berpakaian harus dipakaikan. Shalat juga sudah tidak bisa dan bahkan wajib dishalatkan. Kalau orang mati itu bisa berjalan, tidak perlu kita yang hidup ini repot-repot mengantarkannya ke kuburan. Mana mungkin ustadz, katanya sambil mengkerutkan dahinya yang terlihat bekas sujud itu.

Saya tidak bercanda loh, kata sang ustadz. Kalau hadirin serius, saya akan perlihatkan saat ini juga. Tapi, saya minta satu syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya mudah saja dan tak sulit. Bahkan gratis lagi, alias tidak perlu keluar biaya apa-apa.

Mereka bertanya : Apa syaratnya ustadz? Syaratnya ialah, hadirin harus pakai kacamata Qur’an. Agar kacamata Qur’an itu efektif dan bisa memperlihatkan bangkai-bangkai manusia yang berjalan itu, maka pikiran, hati dan perasaan harus dibuka selebar-lebarnya dan sejujurnya untuk menerima kebenaran setiap kata, nilai, pelajaran, perintah, larangan dan apa saja yang dijelaskan Qur’an. Baik ustadz, kata mereka.

Sang ustadz melanjutkan : Mari semua konsentrasi kita ditujukan pada ayat 122 surat Al-An’am yang baru saja kita baca. Allah berfirman :


artinya :
Apakah sama orang yang mati, lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya (Qur’an) yang ia bawa berjalan di tengah manusia, dengan orang yang berada dalam berbagai kegelapan di mana ia tidak bisa keluar darinya (kegelapan-kegelapan itu). Demikianlah, diperlihatkan baik pada orang-orang kafir itu apa saja yang mereka lakukan.

Melalui kacamata Qur’an ayat 122 surat Al-An’am ini, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran Qur’an, atau menerima kebenarannya tapi tidak mengamalkan kandungannya dalam kehidupan dunia ini serta tidak mau menyebarkannya di tengah masyarakat sesuai profesi, mereka adalah orang-orang yang mati, alias bangkai-bangkai yang berjalan, kendati secara lahiriah mereka hidup, bekerja, melakukan sidang di parlemen, rapat kabinet, meeting bisnis, sekolah, berkumpul di rumah bersama istri dan anak-anak, belanja di pasar dan seterusnya.

Bukan hanya sampai di situ, menurut kacamata Qur’an, mereka hidup dalam berbagai kegelapan yang berlapis-lapis, sehingga semua aktivitas hidupnya bagaikan fatamorgana, dan selalu dalam keadaan bingung, meraba-raba dan hidup tak jelas tujuan. (QS. An-Nur : 39 – 40)

Sebaliknya, orang-orang yang menerima kebenaran Qur’an dengan semua kandungan dan isinya kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun dia berada, apapun profesinya, Qur’anlah yang menjadi petunjuk hidupnya, maka mereka adalah orang yang benar-benar hidup.

Bukan hanya itu, hidupnya dalam cahaya Allah yang terang benderang, sehingga semua aktivitas hidup yang dijalankannya bernilai tinggi dan tidak ada yang sia-sia, apalagi keliru dan tersesat. Dengan demikian, hidupnya menjadi produktif, pemanfaatan waktunya sangat baik dan tidak ada yang digunakan untuk perkara yang sia-sia, apalagi yang haram.

Pertanyaannya kemudian adalah : Berapa banyak sih manusia yang berjumlah 6 milyar yang hidup di atas bumi saat ini yang meyakini kebenaran Qur’an? Menurut data terakhir, hanya 1.3 milyar yang mengakui kebenaran Qur’an, alias Muslim, atau sekitar 21,6 % saja. Sedangkan 200 juta atau sekitar 15,38 % ada di Indonesia.

Dari 200 juta yang mengakui kebenaran Al-Qur’an di Indonesia, berapa persen yang bisa baca Qur’an? Berapa yang benar-benar mengimani Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hukum dalam kehidupan)? Berapa persen dari mereka yang membaca Qur’an setiap hari? Berapa pula mereka yang memahami isi Qur’an? Berapa yang sudah mengamalkan kendati sebagian kandungan Qur’an? Berapa yang mengamalkan semua petunjuk Qur’an dalam semua aspek kehidupan?

Berapa persen yang meyakini, membaca setiap hari, mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain, minimal kepada anak-anak dan istri mereka? Dan berapa persen yang memperjuangkan Qur’an sebagai dustur ul hayah(landasan hukum dalam kehidupan), khususnya sebagai dustur daulah (sistem negara)?

Menurut data terakhir pemilu 2009 lalu, 4 partai yang berdasarkan Islam, hanya mendapat sekitar 15 % suara pemilih yang jumlahnya sekitar 100 juta. Artinya, kalau angka ini yang kita jadikan acuan hitungan, berarti hanya sekitar 15 juta manusia di Indonesia ini yang berkeinginan menjadikan Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hidup).

Dengan kata lain, hanya sekitar 7.5 % dari penduduk Muslim Indonesia yang berminat menjadikan Qur’an sebagai landasan hukum dalam kehidupan di dunia ini. Kalau ditambah dengan yang tidak ikut pemulu 2009, katakanlah sekita 5 % (10 juta), maka total umat Islam yang berminat menjadikan Qur’an sebagai landasan hidup hanya sekitar 12,5 %, atau sekitar 25 juta saja.

Asumsi angka tersebut di atas baru terkait dengan minat umat Islam untuk menjadikan Qur’an sebagai landasan hukum dalam kehidupan. Sedangkan minat saja belum cukup dan harus diimplementasikan. Kalau kita lihat filosofi hidup, paradigma berfikir, program kerja, gaya hidup, sistem politik, ekonomi, perundang-undangan, pertahanan keamanan, pendidikan, budaya, pelayanan sosial yang dijalankan, khususnya oleh 7.5 % yang memakai baju Islam dalam politik praktis mereka sejak era reformasi 12 tahun belakangan ini, maka sama sekali tidak memperlihatkan keinginan mereka mejadikan Qur’an sebagai dusturul hayah (landasan hidup), apalagi dustur daulah (landasan hukum negara).

Hampir satu katapun tak terlihat dan terucap himbauan kepada pemerintah dan umat untuk kembali kepada Qur’an sebagai satu-satunya jalan keluar dari berbagai krisis yang sedang melilit negeri ini, apalagi melakukan Qur’anisasi sistem dan peraturan pemerintahan. Kalaupun tidak berupa himbauan, dalam bentuk keteladanan hidup dan berpolitikpun tidak tampak sebagai orang yang meyakini dan membawa cahaya Qur’an di tengah-tengah masyarakat.

Sebab itu, keributan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono sejatinya tak perlu ada, khususnya bagi mereka yang menggunakan kacamata Qur’an. Jangankan 100 hari, 1,000 tahunpun tidak akan ada perubahan dan perbaikan, karena menurut kacamata Qur’an, orang-orang yang tidak beriman kepada Qur’a, atau beriman tapi tidak mau menjadikan Qur’an sebagai cahaya yang menerangi kehidupan di dunia ini, ibarat orang-orang yang mati dan berada dalam berbagai kegelapan.

Orang-orang seperti ini mustahil mampu keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi, apalagi mengeluarkan orang lain dari berbagai permasalah hidup ini. Amal perbuatan mereka bagaikan fatamorgana, tersesat dan tidak akan pernah medapat jalan keluar, khususnya keluar meraih keridhaan, keberkahan dan rahmat Allah. Ajaibnya, mereka mengiranya sedang berbuat baik dan yang terbaik untuk kehidupan. (QS.Al-kahfi : 103 – 105)

Nah, jamaah sekalian… Kalau kita mau hidup dan di dalam kehidupan ini ada cahaya Allah yang menerangi perjalanan dan aktivitas hidup kita, maka yakinilah Qur’an itu sebagai dustrul hayah dan dustur daulah. Sebagai bukti orang yang hidup, bawa cahaya itu ke tengah masyarakat di mana kita tinggal bersama mereka, apapun profesi kita serta apapun resikonya.

Karena untuk bisa menjadi orang-orang yang hidup dan mendapatkan cahaya Qur’an tidak cukup hanya slogan dan klaim belaka. Kita harus memulainya dari diri sendiri, kemudian diteruskan di rumah tangga, masyarakat dan sampai ke Negara. Itulah satu-satunya cara agar kita bisa hidup dan tidak menjadi bangkai-bangkai yang berjalan di atas muka bumi ini. Allahumahdina fi man hadait!!!
oleh Fathuddin Jafar

Read More..

Resume Buku: Enam Jalan Menuju Tuhan

Kapan manusia akan mati dan bagaimana manusia akan mati, tidak ada yang dapat mengetahui dan manusia percaya bahwa yang mengetahui hanyalah Tuhan yang mempunyai kekuasaan untuk menghidupkan dan mematikan manusia. Dan ketidaktahuan tentang apa yang akan terjadi esok, manusia berusaha mendapatkan hidup damai dan berusia lanjut dengan cara mencari jalan menuju Tuhan. Banyak jalan yang ditawarkan menuju Tuhan yang ada di dunia saat ini.

Banyak jalan yang ditawarkan yang ada didunia saat ini, tapi dalam buku ini hanya akan dipilih enam jalan yang paling banyak dipilih manusia, yaitu jalan yang ditunjukkan atau diajarkan oleh: Krishna Dwipayana Wyasa, Sidharta Gautama, Abraham, Musa, Yesus, dan Muhammad.

Khrisna Dwipayana Wyasa menulis buku Mahabarata menjelaskan jalan yang ditempuh Pandawa sampai ke Surga. Si penulis cerita belum pernah mengalami perjalanan tersebut tetapi dengan kekuatan pikirannya ia dapat menggambarkan jalan terbaik menuju Tuhan.

Sidharta Gautama meninggalkan kemewahan duniawi mencari jalan menuju Nirvana. Setelah melalui perjuangan batin yang berat ia sampai pada kondisi kekosongan lalu berhak disebut Buddha. Pengalamannya mendapatkan penerangan sempurna yang kemudian dibagikan kepada orang yang mau mengikutinya adalah jalan menuju Tuhan.

Abraham tidak mencari jalan menuju Tuhan tetapi dalam kesulitan yang dihadapinya tiba-tiba ia bertemu dengan Tuhan yang kemudian selalu hadir mendampinginya dalam mengayuh bahtera kehidupan. Jalan hidup berkeluarga yang ditempuh Abraham adalah jalan bersama Tuhan.

Musa bertemu Tuhan setelah melihat semak berapi yang tidak membakar semak tersebut, lalu Tuhan mengutus musa memimpin bangsa israel keluar dari mesir. Musa berjalan membimbing bangsa israel menuju tanah yang dijanjikan Tuhan dan perjalanan memimpin bangsa tersebut adalah perjalanan bersama Tuhan.


Yesus banyak melakukan perjalanan, tetapi bukan perjalanan itu yang diajarkan sebagai jalan menuju Tuhan karena Yesus mengatakan ”Akulah Jalan”. Setelah Yesus disalibkan, Rasul Paulus mengajarkan Jalan Yang Lurus, yaitu jalan yang boleh ditempuh oleh mereka yang mau menerapkan apa yang diajarkan Yesus.

Ketika Muhammad lahir, berbagai jalan menuju Tuhan sudah ditulis di dalam kitab-kitab suci. Tetapi Muhammad yang buta huruf tidak dapat membaca buku-buku tersebut, lalu berdoa kepada Tuhan, ”Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Tuhan menjawab, ”Bacalah.” Karena tetap tidak dapat membaca, Muhammad mengajarkan kepada pengikutnya sembahyang lima kali sehari sebanyak tujuh belas kali berseru kepada Tuhan, ”Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.”

Dari enam jalan tersebut sudah dapat dipilah ajaran yang menuju Tuhan dari ajaran yang hanya berputar putar. Tetapi melalui perjalanan sejarah umat manusia yang panjang, dari enam perjalanan yang asli telah berkembang banyak jalan bercabang yang baru dan dari begitu banyak jalan baru banyak diantaranya adalah jalan yang sesat.

Agar jumlah orang yang tersesat dijalan yang salah dapat dikurangi, perlu ada petunjuk yang dapat memberi penjelasan mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Dan buku ini dapat menjadi petunjuk mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang salah.

Oleh: Darmawan MM

Hanya Satu Jalan Menuju Allah¤
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman, Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesunguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS AlMujadalah: 22).
Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman,
Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS Al Maidah: 56).
Bagaimanapun, anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka anda tidak akan menemukan di dalamnya (dalil, Red.) pengkotak-kotakan umat kepada jama'ah-jama'ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan tercela. Allah ber rman, Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah. yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan ¤Dikutip dari majalah As-Sunnah 08/VII/1421H hal 28 - 34.
1 merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan rnereka. (QSAr Rum: 31-32).
Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat,setelah Dia memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah telah melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad- atas umatnya, manakala mereka berpecah-belah, dan (Allah) mengancam mereka atas perpecahan tersebut. Allah berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan rnereka (terpecah) menjadi beberapa golongan. tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS Al An'am:159).
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan berkata,
Ketahuilah, bahwasanya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda, Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwasanya. umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama'ah.

Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan'ani berkata, "Penyebutan bilangan pada hadits ini. bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untuk
menerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu.
Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaian firman Allah, Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lunts, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan jalan (yang lain). karena jalan jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. (QS AlAn'am: 153).
Pada ayat ini, Allah menggunakan bentuk jamak pada kata yang menerangkan "jalan jalan yang dilarang mengikutinya", guna menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan kesesatan serta keluasannya.
Sedangkan pada kata "jalan petunjuk dan kebenaran", Allah menggunakan bentuk tunggal. (Ini) dikarena jalan al haq itu hanya satu, dan tidak berbilang. 2
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, Rasullah membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,"Ini adalah jalan Allah." kemudian beliau membuat garis lain pada sisi
no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halamnan 4/180; Al Albani dalam
Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya.
Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid'ah yang
berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia -aku ingin menjadikan mereka bisu. Al Hakim berkata tentang hadits ini, "Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana scbagian ulama telah menempatkannya dalam hadits-hadits yang pokok."
Lihat Hadits Iftiraqul Ummah lla Nayyif Sab'ina Firgah, halaman 67 - 68
Mengenal Jalan Yang Satu
(Menyimpulkan) dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah "rukun yang kedua" dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, maka (yang kedua, Red.) persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Dan (kalimat) ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah.
Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima, kecuali setelah memenuhi dua syarat;
1. Mengikhlaskan agama (ketaatan) karena Allah semata.
2. Dalam beribadah hanya dengan mengikuti (cara yang dicontohkan) Nabi
Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan kaidah yang mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah.
(Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak tahuan terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang berarti.
Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya satu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah dengan menda'wahkan, bahwa jalan menuju Allah itu (jumlahnya banyak, pent.),sejumlah bilangan nafas manusia.

Read More..

Kisah Inspiratif : Tetap semangat meski Cuma setengah badan, bagaimana dengan kita?


foto saat Peng Shulin dengan penuh semangat belajar berjalan

Banyak di antara kita yang terkadang tidak semangat dalam menjalani hidup, tidak semangat dalam menjalani pekerjaan dan karirnya. Adalah Peng Shulin, seorang yang tetap semangat meski hanya setengah badan, bagaimana kisahnya……
Kisah yang akan saya ceritakan ini merupakan kisah nyata yang terjadi di China… begini kisahnya :

Suatu ketika di tahun 1995, Peng Shulin mengalami kecelakaan hebat. Kecelakaan ini menyebabkan tubuh Peng Shulin terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala hingga pinggang sepanjang 78 cm dan sisanya pinggang ke bawah.
Peng Shulin kemudian di rawat di sebuah RS di China. Selama 12 tahun, Peng Shulin berbaring tanpa bisa berjalan, karena tubuhnya yang hanya tinggal 78 cm itu sama sekali tidak memiliki paha. Lutut maupun kaki. Dokter yang menangani Peng Shulin berjumlah lebih dari 20 dokter, hanya berusaha agar bagaimana Peng Shulin tetap bertahan hidup. Suatu hari Peng Shulin berkeinginan untuk kembali berjalan lagi. Keinginan ini kemudian di respon oleh pemerintah china.
China mengadakan riset mengenai kemungkinan ini. Hingga akhirnya hasil riset ini memberikan sebuah jawaban yang melegakan hati Peng Shulin. Pemerintah China membuatkan tubuh bagian bawahnya membentuk seperti telur. Bagian torso Peng Shulin ditutup dengan menggunakan kulit dari kepalanya sendiri. Hingga akhirnya alat ini di cobakan kepada Peng Shulin.
Berkat semangat yang sangat tinggi, Peng Shulin dengan giat berlatih berjalan dengan menggunakan alat ini, hingga akhirnya Peng Shulin dapat berjalan kembali.


Read More..