Monday, August 2, 2010

Di Jalan Dakwah Aku Menikah


Atribut yang diberikan Islam kepada kita, salah satunya adalah dai ilallah. Kita dituntut untuk merealisasikan dakwah dalam seluruh waktu kehidupan kita. Setiap langkah kita sesungguhnya adalah dakwah kepada Allah, sebab dengan itulah Islam terkabarkan kepada masyarakat. Bukankah dakwah bermakna mengajak manusia merealisasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupan keseharian? Sudah selayaknya kita sebagai pelaku yang menunaikan pertama kali, sebelum mengajak kepada yang lainnya.

Pernikahan akan bersifat dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Islam di satu sisi, dan menimbang berbagai kemaslahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, dipilihkan pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemaslahatan secara lebih luas. selain kriteria umum sebagaimana tuntunan fikih Islam, pertimbangan lainnya adalah : apakah pemilihan jodoh ini memiliki implikasi kemaslahatan yang optimal bagi dakwah, ataukah sekedar mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya? mari saya beri contoh berikut. diantara sekian banyak wanita muslimah yang telah memasuki usia siap menikah, mereka berbeda-beda jumlah bilangan usianya yang oleh karena itu berbeda pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai usia 35 tahun, sebagian yang lain antara 30 hingga 35 tahun, sebagian berusia 25 hingga 30, dan yang lainnya di bawah usia 25 tahun. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsinya dan peran sebagai isteri dan ibu di rumah tangga.

Anda adalah laki-laki muslim yang telah berniat melaksanakan pernikahan. Usia anda 25 tahun. Anda dihadapkan pada realitas bahwa wanita muslimah yang sesuai kriteria fikih Islam untuk anda nikahi ada sekian banyak jumlahnya. Maka siapakah yang lebih anda pilih, dan dengan pertimbangan apa anda memilih dia sebagai calon isteri anda?

Ternyata anda memilih si A, karena ia memiliki kriteria kebaikan agama, cantik, menarik, Pandai, dan usia masih muda, 20 tahun atau bahkan kurang dari itu. Apakah pilihan anda itu salah? Demi Allah, pilihan anda ini tidak salah! anda telah memilih calon isteri dengan benar karena berdasarkan kriteria kebaikan agama, dan memenuhi sunnah kenabian. Bukankah Rasulullah bertanya kepada Jabir ra :

“Mengapa tidak menikah dengan seorang gadis yang bisa engkau cumbu dan bisa mencumbuimu” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan inilah jawaban dakwah seorang Jabir ra,

“Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.” kata Jabir “benar katamu” jawab Nabi saw.

Jabir tidak hanya berfikir untuk kesenangan dirinya sendiri. Ia bisa memilih seorang gadis perawan yang cantik dan muda belia. Namun ia memiliki kepekaan dakwah yang amat tinggi. kemaslahatan menikahi janda tersebut lebih tinggi dalam pandangan Jabir, dibandingkan dengan menikahi gadis perawan.

Nah, apabila semua laki-laki muslim berpikiran dan menentukan calon isterinya harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5 tahun lebih muda dari dirinya, maka siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang usianya diatas 25 tahun, atau usia diatas 30 tahun atau bahkan diatas usia 35 tahun ?

Siapakah yang akan datang melamar para wanita muslimah yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai cantik menurut ukuran umum? mereka, wanita tadi adalah para muslimah yang melaksanakan ketaatan, mereka adalah wanita shalihah, menjaga kehormatan diri, bahkan mereka aktif terlibat dalam kegiatan dakwah dan sosial. Menurut anda, siapakah yang harus menikahi mereka?

Ah, mengapa pertanyaannya “harus” ? Dan mengapa pertanyaan ini hanya dibebankan kepada seseorang ? kita bisa saja mengabaikan dan melupakan realitas ini. Jodoh ditangan Allah, kita tidak memiliki hak menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agungNya. Bukan, bukan dalam konteks itu saya berbicara. Kita memang bisa melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah Islam tidak menghendaki kita berperilaku demikian?

Kendatipun nabi saw menganjurkan Jabir agar beristeri gadis, kita juga mengetahui bahwa hampir seluruh isteri Rasulullah adalah janda.

Kendatipun nabi saw. menyatakan agar Jabir beristeri gadis, pada kenytaannya Jabir telah menikahi janda.

Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap laki-laki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Mahar keislaman Abu Thalhah menyebabkan Ummu Sulaim menerima pinangannya. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, membawa maslahat bagi dakwah.

Sebagaimana pula pikiran yang terbersit di benak Sa’ad bin Rabi saat ia menerima saudaranya seiman, Abdurahman bin Auf. “Saya memiliki dua isteri sedangkan engkau tidak memiliki isteri. Pilihlah seorang diantara mereka yang engkau suka, sebutkan mana yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nikahi. Kalau iddahnya sudah selesai maka nikahilah dia” (riwayat Bukhari)

Ia tidak memiliki maksud apapun kecuali memikirkan kondisi saudaranya seiman yang belum memiliki istri. Keinginan berbuat baiknya itulah yang sampai memunculkan ide aneh tersebut. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran itu, dan ia sebagai orang baru di Madinah hanya ingin ditunjukkan jalan ke pasar.

Ini hanya satu contoh saja, bahwa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikaitkan dengan proyek besar dakwah Islam. Jika kecantikan gadis harapan anda bernilai 100 poin, tidakkah anda bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? ketika pilihan itu membawa maslahat bagi dakwah, mengapa tidak ditempuh? Jika gadis harapan anda berusia 20 tahun, tidakkan anda bersedia sedikit memberikan toleransi dengan masalahat kepada wanita yang lebih mendesak untuk segera menikah disebabkan desakan usia? Jika anda adalah wanita muda usia, dan ditanya ? dalam konteks pernikahan ? oleh seorang lelaki yang sesuai kriteria harapan anda, mampukah anda mengatakan kepada dia, “saya memang telah siap menikah, akan tetapi si B sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah”.

Atau kita telah sepakat untuk tidak mau melihat realitas itu, karena bukanlah tanggung jawab kita ? Ini urusan masing-masing. Keberuntungan dan keidakberuntungan adalah soal takdir yang tidak berada di tangan kita. Masya Allah, seribu dalil bisa kita gunakan untuk mengabsahkan pikiran individualistik kita. Akan tetapi hendaknya kita ingat pesan kenabian berikut:

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Bisa jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitkan dan mengiris-ngiris hati beberapa orang lain. Setiap saat mereka mendapatkan undangan pernikahan, harus membaca, dan menghadiri dengan perasaan yang sedih, karena jodoh tak kunjung datang, sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri semakin berkurang.

Disinilah perlunya kita berfikir tentang kemaslahatan dakwah dalam proses pernikahan muslim.

Sumber : Buku “Di Jalan Dakwah Aku Menikah“.
Oleh : Cahyadi Takariawan.



Read More..

Suami Berhati Malaikat


Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang dibalik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini.

Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Karena ada sisi kesehariannya yang luar biasa!!!!

Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.

Dari isinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat
bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.

Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing- – Pak Suyatno memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu ‘agar semua anaknya dapat berhasil’.

Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata:

Pak, kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.” Sambil air mata si sulung berlinang.

“Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak, dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baik
secara bergantian”. Si Sulung melanjutkan permohonannya.

Anak-anakku.
..Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun
dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini ?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.” Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga
anak-anaknya

Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.

Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk
menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa….disaat itulah meledak tangisnya dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru.

Disitulah Pak Suyatno bercerita :
Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan
sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu..Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit… Sambil menangis


Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya hanya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya…”BAHWA CINTA SAYA KEPADA ISTRI, SAYA SERAHKAN SEPENUHNYA KEPADA ALLAH”.

Read More..

Dua Tangis dan Ribuan Tawa


Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang ''baru'' enam bulan. Ada yang bilang ''sudah'' enam bulan.

Betapa relatifnya waktu...

Selama enam bulan itu, saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja Dirut PLN.

Sebenarnya, saya harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja itu merupakan tanda awal bahwa hatinya orang lain yang sekarang saya pakai ini mulai ditolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter.

Syukurlah, sakit perut itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya memang tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat transplan yang masih harus saya minum setiap hari.

Tiba-tiba saja, ketika hari sudah ber¬ubah siang, ketika rapat penting yang telanjur dijadwalkan tersebut harus dimulai, sakit itu sembuh sendiri...

Selama enam bulan itu, seingat saya, belum pernah saya absen. Saya memang sudah berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN, saya tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik

Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan saya bisa dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, saya tidak ke mana-mana.

Untuk itu, saya harus minta maaf kepada famili, teman dekat, dan pengurus berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan tersebut, saya tidak bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau permintaan ceramah. Semua saya hindari.

Saya memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang bisa saya hadiri.

Menjelang enam bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh, rupanya saya kurang gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan malam. Itu tentu tidak baik. Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status saya tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus tetap hati-hati. Karena itu, me¬nginjak bulan keenam, saya putuskan ini: berangkat kerja berjalan kaki saja.

Maka, setiap hari pukul 05.45 saya sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah saya di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan Trunojoyo, seberang Mabes Polri itu. Berangkat sepagi itu bukan supaya dianggap sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga sambil menghirup CO2.

Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun. Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, saya (biasanya ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.

Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang 1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.

Betapa relatifnya jarak...

Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul 07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa relasi PLN lainnya. Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu jadwal saya ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di lobi untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.

Betapa relatifnya uang...

Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.

Tapi, tidak berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat. Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.

Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal PLN. Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada pada mereka adalah muara.

Begitu banyak ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh...

Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan.

Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.

Betapa relatifnya tempat...

Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.

Betapa relatifnya jiwa...

Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di kursi direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak pernah membaca surat masuk.

Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas menjawabnya?

Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau, beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi -sekadar untuk menunjukkan bahwa saya atasan mereka?

Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat jarang saja. Mengapa saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya saya yang tahu persoalan itu? Mengapa saya harus memberikan instruksi seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat? Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu pabrik petunjuk?

Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca surat itu. Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan.

Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari universitas- universitas terbaik negeri ini? Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka sudah sangat berpengalaman -melebihi saya? Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.

Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.

Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas- universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.

Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena itu, saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di kursi di depan direktur utama. Kalau saya lakukan itu, perasaan saya tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.

Saya tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu. Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.

Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.

Betapa relatifnya sebuah kekuasaan...

Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?

Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur Selatan, Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan 14! Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20).

Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau menurunkan TDL?

Betapa relatifnya kepuasan...

(Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh kar¬yawan PLN. Inilah cara Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh karyawannya. Surat itu diberi nama CEO's Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN yang lebih dari 40.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan keinginan pimpinan puncak perusahaan. Setiap kali CEO's Note terbit, banyak tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan. Artikel ini adalah CEO's Note edisi ke-6 bulan Juli 2010).

*) Dahlan Iskan, CEO PLN

Read More..