Friday, April 2, 2010

Rayap Tongkat Nabi Sulaiman


Siapa yang tidak tahu hebatnya kekuasaan Nabi Sulaiman? Penerus kerajaan Daud as ini dianugerahi Allah SWT banyak keistimewaan yang mengukuhkannya sebagai penguasa tanpa tanding. Nyaris semua sarana kekuatan dimiliki dan dikendalikannya. Sulaiman berhasil menguasai teknologi pengelolaan logam (alqithr) dan dapat mengendalikan angin sebagai sarana transportasi.

“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan pula, dan Kami alirkan cairan tembaga baginya,” (QS Saba’: 12).

Nabi Sulaiman juga mengusai bahasa binatang dan mampu berkomunikasi dengan mereka. Mulai burung yang relatif besar hingga semut yang hampir tak terlihat oleh mata telanjang. Bala tentara Sulaiman memiliki kekuatan yang sulit diukur. Pasukannya tidak hanya terdiri dari manusia, tapi jin dan burung pun ikut tergabung di dalamnya. “Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka itu diatur dengan tertib,” (QS anNaml: 17).

Pengendalian Sulaiman terhadap bangsa jin menjadi catatan tersendiri. Di masa itu, jin tidak hanya sebagai tentara yang patuh, melainkan juga bekerja dalam sekian banyak sektor kerajaan. Ada yang menyelam (ghawwash) untuk mengumpulkan perhiasan, bahkan ada pula yang menjadi kuli bangunan (banna’).

Dengan kekuasaan yang begitu luar biasa, Sulaiman tampil sebagai sosok penguasa yang sangat berwibawa sekaligus ditakuti. Jangankan manusia biasa, jin pun terpaksa harus bertekuk lutut di bawah titahnya. Namun, ada satu kejadian unik terkait kebesaran Sulaiman ini. Ketika wafat, jasadnya tetap berdiri tegak dengan bertumpu pada sebatang tongkat tanpa seorang pun mengetahuinya.

Meskipun sudah tidak bernyawa, jasadnya tetap ditakuti. Jin yang sedang mengerjakan bangunan, terus bekerja siang dan malam karena jerih terhadap hukuman Sang Penguasa Besar tersebut. Mereka baru tahu jika sosok yang selama ini ditakutinya tidak lagi berdaya, setelah rayap-rayap menggerogoti tongkat yang menyangga tubuhnya. Tongkat itu akhirnya rapuh dan jasad Sulaiman pun jatuh. Saat itulah semua orang, termasuk jin, baru tahu kondisi Sulaiman yang sebenarnya.

Apa arti seekor atau sekawanan rayap dalam logika kekuatan? Sulit dibayangkan! Inilah persoalan yang menghantui benak masyarakat dunia ketika merasakan dominasi kekuatan Adikuasa Amerika dan Eropa, atau menyaksikan keangkuhan Zionis Israel yang kian hari semakin menampakkan peradaban fir‘aunistiknya, Ana Rabbukum ala‘la (Akulah tuhan kalian yang paling tinggi!).

Sebenarnya tidak ada alasan bagi masyarakat dunia untuk takut kepada kekuatan Amerika atau Zionis Israel. Karena tatanan dunia baru (new world order) yang tengah mereka bangun justru lebih mencerminkan wajah Adikuasa yang sedang ketakutan. Konstruksi peradaban dunia yang mereka bangun berdiri di atas fondasi yang rapuh, karena berasaskan ketimpangan dan kezaliman. Hak veto adalah bukti nyatanya. Mereka harus mendapatkan apa yang diinginkan, bukan karena memang berhak mendapatkannya, tapi karena mereka kuat. Karena itulah mereka terus memperkuat diri agar tampil sebagai satusatunya kekuatan dunia.

Jadi, jelas, “Mereka yang kuatlah yang sebenarnya ketakutan, sehingga selalu berusaha berlindung dengan kekuatannya,” kata Jawdat Sa`id dalam buku Lima Hadza arRu`b Kulluh min alIslam. Namun sayang, umat Islam malah takut kepada mereka, “Karena mengira hanya dapat mempertahankan diri dengan kekuatan, ‘kekuatan otot dan senjata’,” lanjut Sa`id. Artinya, seyogianya umat Islam membangun logika kekuatannya sendiri sehingga tidak terjebak logika kekuatan musuh.

Itulah logika kekuatan rayap tongkat Sulaiman as. Meskipun jelas jauh lebih lemah dari jin, tapi dia sangat mengenali posisinya. Meskipun gerakannya lamban, tapi yang digerogotinya adalah tongkat yang menyangga jasad Nabi Sulaiman. Dalam konteks kekinian, umat semestinya mulai sadar bahwa sebenarnya musuh sangat ketakutan dan rapuh, sehingga tidak perlu menunggu ‘kekuatan mukjizat’ untuk meruntuhkannya, tapi cukup dengan ‘kekuatan rayap’ yang sudah mulai mencuat ke permukaan. Sebut saja Syaikh Ahmad Yasin, Hamas, Gaza, dan tidak menutup kemungkinan jika rayap itu juga adalah kita! … Oleh eman Mulyatman


Read More..

Menguji Cinta dan Keikhlasan


Hari ini sebelas tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.

Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan "fisik" terasa lebih penting bagi saya, dari pada pembekalan "mental" yang diberikan oleh Ibu saya.

Ah... betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman lama sebelum memutuskan untuk menikah.

Sejak satu tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya, "Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau mau pergi?"

Sungguh, saat pertanyaan itu selalu membuat saya sebal. "Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belum... kok ribet banget sih..." protes saya gusar. "Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah."

Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.

Saat itu, "Suami ideal" bagi saya adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla... segala hal positif lainnya.

Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.

Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam seribu bahasa pada suatu saat, ketika saya membantahnya dengan mengajukan argumentasi.

Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.
Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung... dan kecewa...

Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya... Dan pertanyaaan yang sering muncul di kepala saya adalah : "Mengapa seorang suami boleh pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?".

Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak dan rumah? Dan berbagai kata "Mengapa" bermunculan saat saya mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah "betapa tidak adilnya Islam pada wanita"... Astaghfirullah... Semoga Allah mengampunkan prasangka buruk saya dulu...

"Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu... lihat kelebihannya saja..." nasehat Ibu kepada saya.
"Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata, '"tapi". Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah..." ucapan seorang sahabat wanita yang sudah saya anggap kakak, mencoba mengetuk hati saya.

Tahun demi tahun kami lalui... Saya pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.

Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu. Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah?

Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat saya didengar dan dipertimbangkankan. Sebagai istri, saya masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya kepada Papa).

Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar. Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat, yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran buku dosa saya. Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.

Saya pun mulai belajar menjadi "paranormal" - istilah saya untuk orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan dengan mulai mempelajari reaksi suami saya - expresi wajah, sorot mata, garis mulut, bahasa tubuhnya - dari berbagai kejadian.

Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata... Tidak adanya kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri, bukan karena terpaksa.

Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya...

Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami... membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan. Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan...

Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna.

But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan perubahan terlebih dulu.

Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.

Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta.

Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya, meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata pada usahanya memperjuangkan hubungan cinta kami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar saya... pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakan saya meskipun dengan caranya sendiri. Dan... masih banyak lagi.

Subhanallah... ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti...

Tiga tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.

Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya, pribadi saya mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya...

Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan saya dengan kelebihannya. Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan...

Lewat introspeksi diri yang panjang pula - karena saya hanya diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang pergi keluar rumah - saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.

Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.

Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah saya berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya?

Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar menjadi belahan jiwa saya.

Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita... Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.

Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya - istri dan anak-anaknya - sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.

Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad... sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad ...

Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak?

Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah.

Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula... Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri saya...

Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk ikhlas... Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.

Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, "Saya ikhlas kog mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu..." (yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas.

Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa hanya berkata, "Ya, saya ikhlas mengerjakannya.", sambil tersenyum pula.

Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.

Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta... suami yang karena karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya...

Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita - semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita - saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata...

Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan...

Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping sebagai surga dunia...

Jakarta, 8 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti



Read More..

Menggugat Mr.Khan


My Name is Khan adalah sebuah film yang mengangkat isu sensitif yang masih berkembang hingga saat ini di mata dunia barat. Rizvan Khan, dibintangi Shahruk Khan, adalah seorang muslim India yang menetap di Amerika. Statusnya sebagai seorang muslim mebuatnya terus-terusan mendapat gelombang tekanan yang hebat. Terlebih pasca kejadian 9/11. Suatu ketika istrinya mengalami depresi berat akibat terbunuhnya anak mereka dalam sebuah insiden. Kematian itu terasa sangat membekas dan meninggalkan luka yang menganga bagi Mandira, istri Rizvan Khan. Mandira mempersalahkan keputusannya menikah dengan seorang muslim sehingga menyebabkan terbunuhnya Sam, anak mereka. Secara sadar sang istri meminta suaminya memberitahukan kepada seluruh rakyat Amerika bahwa Rizvan Khan adalah seorang muslim dan ia bukan teroris. Entah pernyataan Mandira hanyalah luapan kekesalan semata atau memang ia meminta untuk itu dengan sengaja.

Perjalanan panjang ditempuh Rizvan dalam kondisi tidak normalnya akibat gangguan mental yang dikenal dengan sindrom aspergus. Rizvan membulatkan tekadnya untuk menemui presiden amerika guna menyampaikan suatu sikap yakni “My Name is Khan, and I’m not a Terrorist”. Berbulan-bulan dan berbagai upaya dilakukan demi niatan tersebut. Hingga akhirnya ia berhasil menemui presiden amerika dan menyampaikan pesannya. Pesan ini ternyata menjadi sebuah kekuatan tersendiri bagi muslim yang hidup di Amerika. Setelah berbagai perlakuan tidak menyenangkan pasca tragedi World Trade Center, apa yang dilakukan Khan memberikan sebuah harapan bagi muslim Amerika dan dunia pada umumnya untuk bangkit dan memulihkan citra mereka dari segala stigma negatif yang melekat selama ini. Bahwa Islam adalah teroris, cinta kekerasan dan berbagai pandangan sinis lainnya adalah sebuah kesalahan besar.

My Name is Khan menghadirkan gambaran tentang nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan yang dicitrakan pada sesosok pria yang tidak normal secara mental. Namun di tengah keterbatasan tersebut justru Rizvan-lah yang mampu mengetuk pintu hati jutaan rakyat Amerika tentang bagaimana agama itu mengajarkan keindahan. Agama tidak pernah mengajarkan kebencian, dendam, dan pembunuhan atas nama jihad.

Di tengah kegemilangannya menceritakan tentang persamaan dari segenap perbedaan. Film ini menurut hemat saya haruslah mendapatkan filtrasi secara sehat dalam mencerna dan memilah nilai-nilai yang ditanamkan. Secara tidak langsung saya menangkap adanya sinyal yang menceritakan bahwa semua agama adalah sama. Tidak ada perbedaan antara umat Islam dan umat Hindu. Yang ada hanyalah manusia baik dan manusia tidak baik. Seperti itulah salah satu dialog dalam film tersebut. Memang benar adanya bahwa agama secara substansial mengajarkan kepada kebaikan. Karena memang itulah definisi agama secara harfiah. A itu tanpa, gama berarti kerusakan. Sehingga agama berarti tanpa kerusakan. Namun Islam bukanlah sekedar agama, Islam adalah diin yang maknanya jauh melampaui makna agama itu sendiri. Islam bukan sekedar agama ritual. Islam adalah bagian kehidupan yang melekat dalam diri setiap muslim.

Tidak ada suatu hal pun yang islam tidak ada di dalamnya. Dengan demikian konsep bahwa tidak ada yang membedakan antara Islam dan Hindu tidak bisa secara mutlak diterima. Tanpa disadari bisa jadi para penikmat film tersebut langsung beranggapan bahwa semua agama adalah sama dan itu berarti tidak adanya batasan yang berarti antar setiap agama. Jika penonton tidak cerdas dalam menikmati film ini maka akan terjadi distorsi dalam menafsirkan substansi ceritanya.

Mengenai konsep bahwa hanya ada dua manusia yakni manusia baik dan manusia tidak baik adalah sebuah konsep pemikiran yang sangat dewasa. Karena kebaikan dan keburukan sifatnya general sehingga harus dikembalikan kepada apa nilai tersebut bersandar.

Mandira, istri Rizvan, adalah seorang Hindu. Akan tetapi Rizvan Khan tetap berkeras untuk menikahi mandira meskipun pernikahan mereka ditentang dengan sangat keras oleh adik Rizvan sendiri, Zakir. Zakir berkata bahwa adalah haram menikahi wanita yang memiliki beda keyakinan. Lagi-lagi Rizvan mengatakan bahwa tidak ada yang membedakan antara Islam dan Hindu, yang ada hanyalah manusia yang baik dan manusia yang buruk. Lalu sebenarnya seperti apa Islam itu diposisikan? Apakah agama tidak menjadi pondasi, prinsip, landasan berpikir umatnya. Bukankah Islam seharusnya dijadikan pegangan dalam mengarungi kehidupan dunia untuk meraih kebahagiaan akhirat. Dengan demikian sudah selayaknya seorang muslim mengikuti segala aturan yang ditetapkan agamanya. Bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin. Setiap jengkal perintah dan larangan yang dijelaskan dalam al-quran dan sunah serta ijtihad para ulama adalah sebuah hal yang mutlak untuk diikuti. Karena Islam berlandaskan pada keyakinan, pada keimanan bahwa tidak ada diin selain Islam. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa seorang muslim haruslah menikahi seorang muslim juga atau menikahi seorang ahli kitab. Lantas siapa ahli kitab? Ahli kitab adalah orang yang menjadikan kitabnya untuk memahami ayat-ayat Allah.

Lantas apakah seorang Hindu termasuk ahli kitab. Sementara agama mereka adalah agama ardi, buatan manusia. Lantas bagaimana seorang Hindu bisa memahami ayat-ayat Allah.

Liberalisme telah menjadi bagian dari kehidupan dunia barat. Semua bebas melakukan apa saja atas dasar pengakuan hak asasi manusia. Akan tetapi dalam keberjalanannya justru tidak jarang hak asasi manusia itu sendiri yang dilanggar. Seorang muslim tidak pernah dibenarkan untuk berdoa bersama dengan pemeluk agama lain. Setidaknya hal tersebut yang penulis pahami.

Dalam salah satu bagian ceritanya, Rizvan Khan yang seorang muslim melakukan doa bersama dengan pemeluk agama Kristen di gereja. Fenomena yang terjadi seolah ingin menjelaskan bagaimana sebuah nilai kemanusiaan bisa melewati tembok keangkuhan yang sering terjadi antar pemeluk agama.

Islam sangat mengajarkan kasih sayang kepada umatnya. Tidak ada contoh yang lebih baik bagi umat manusia seperti apa yang ditunjukkan oleh Rasul Muhammad saw tentang arti kasih sayang sesama manusia. Akan tetapi untuk masalah akidah, Islam menggariskan bahwa untukku agamaku dan untukmu agamamu. Tidak ada toleransi kepada siapapun untuk masalah keyakinan. Bahkan untuk berdoa bersama dengan pemeluk agama lainnya.

Ini hanyalah pandangan pribadi saya sebagai seorang penikmat film My Name is Khan. Saya hanya ingin menawarkan sebuah sudut pandang lain dari film tersebut. Untuk mencoba mengubah arah distorsi yang mungkin terjadi untuk kembali pada sudut yang semestinya. Jangan sampai film ini menanamkan sebuah dogma yang salah ketika kita tidak bisa menangkap substansi film dengan bijak. Secara keseluruhan film ini cukup baik untuk ditonton karena cukup banyak hikmah yang bisa kita gali. Semoga kita menjadi penonton yang cerdas.Andri
Read More..