Monday, April 14, 2014

Pergi Haji atau Bayar Hutang Dulu?

Perlu diketahui bahwa persoalan hutang sangat penting, seseorang tidak boleh berhutang kecuali sangat membutuhkan. Karena terkadang hutang bisa menjadi penghalang seorang mukmin dari surga, sampaipun yang mati syahid. Hal ini disebutkan dalam hadits, ada seseorang datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu berkata, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya.” Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memanggilnya atau memerintahkan untuk dipanggilkan dia. Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya, kacuali hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim)

Imam al-Nawawi rahimahullaah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, kecuali hutang, mengandung peringatan terhadap hak-hak sesama manusia. Sedangkan jihad dan kesyahidan serta yang lainnya termasuk amal-amal kebajikan yang tidak bisa menggugurkan hak-hak sesama. Dan hanya bisa menggugurkan hak-hak Allah Ta’ala. (Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawawi: 5/28)

Maksud dari hutang di sini, apa saja yang terkait dengan tanggungannya dari hak-hak kaum muslimin. Karena orang yang berhutang tidaklah lebih pantas mendapatkan ancaman dan tuntutan daripada perampok, pencopet, penghianat, dan pencuri.” (Tuhfah al-Ahwadzi: 5/203)

Dan disebutkan dalam hadits lain dari Muhammad bin Jahsy, dia berkata, “Kami pernah duduk di tempat jenazah bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mengangkat pandangannya ke langit lalu meletakkan telapak tangannya di dahinya sambil bersabda, “Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah dalam urusan utang-piutang?” Kami diam dan meninggalkan beliau. Keesokan harinya kami bertanya, “Ya Rasulullah, perkara keras apa yang telah turun?” Beliau menjawab, “Dalam urusan utang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk Surga sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.”( HR. Al-Nasa’i dan al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Sementara syaikh al-Albani menghassankannya dalam Ahkam al-Janaiz, hal. 107)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang mengambil (berhutang) harta manusia dan ingin membayarnya maka Allah akan melunaskannya. Sementara siapa yang berhutang dengan keinginan menelantarkannya (tidak membayar), maka Allah akan benar-benar membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan. Syaikh al-Albani juga menghassankannya dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/53)

Maka bagi orang yang berhutang hendaknya berniat membayarnya sehingga kalau tidak sampai memiliki sesuatu untuk membayarnya, dan dia mati dengan niat ini, sesungguhnya Alah akan membayarkannya sebagaimana yang disebutkan dalam haidts Maimunah radhiyallaahu 'anha, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah seorang muslim berhutang dengan satu piutang yang Allah mengetahui bahwa dia ingin membayarnya kecuali Allah akan membayarkannya di dunia.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam Dzahabi menyepakatinya sedangkan Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam shahih Sunan Ibnu Majah: 2/51)

Dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

“Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati meninggalkan utang, sedangkan ia berniat akan membayarnya, maka saya yang akan mengurusnya, dan barangsiapa yang mati, sedangkan ia tidak berniat akan membayarnya, maka pembayarannya akan diambil dari kebaikannya, karena di waktu itu tidak ada emas dan perak.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ahkam al-Janaiz hl. 5). Beberapa hadits tersebu mengandung ancaman keras menggampangkan urusan hutang.

Sedangkan pada dasarnya berhaji itu wajib atas orang yang mampu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97) makna istitha’ah adalah kemampuan untuk ke sana. Maka siapa yang mendapati jalan melaksanakan haji dan tidak ada yang menghalangi –seperti karena jauhnya jarak, kondisi lemah, ancaman musuh, sediktinya air atau perbekalan di perjalanan, lemah melakukan perjalanan-, maka dia wajib melaksanakan haji. Sedangkan siapa yang merasa tidak mampu dengan sebab-sebab di atas atau sebab lainnya seperti tidak memili nafkah yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan atau tidak ada mahram bagi wanita, maka terkategori sebagai orang tidak mampu.

Dari ulasan di atas, pada dasarnya seorang muslim seharusnya menyelesaikan hutangnya sebelum berangkat haji.

Terdapat beberapa kriteria dampak hutang terhadap kewajibkan haji, sebagai berikut:

Pertama, hutangnya yang harus segera dibayarkan, sedangkan pada saat itu dia tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar hutang dan berangkat haji. Maka dia harus mendahulukan hutangnya daripada haji. Karena sangkutan dengan hamba lebih dikedepankan daripada sangkutan Allah Ta’ala.

Kedua, hutang dengan cara angsuran beberapa tahun, maka tidak menghalangi pergi haji. Misalnya, orang membeli rumah secara kredit dengan jangka waktu sepuluh tahun, dia membayar setiap bulannya sekian. Maka hutang semacam ini tidak mempengaruhi kewajiban melaksanakan haji.

Ketiga, jika ada seseorang yang membiayai hajinya dan menanggung nafkah keluarganya, maka tidak mengapa melaksanakan haji walaupun punya banyak hutang.

Keempat, Jika orang yang berhutang minta izin kepada orang yang menghutanginya lalu dia mengizinkannya pergi haji, maka tidak mengapa dia melaksanakan ibadah haji. Dan makna izinnya adalah menerima permintaan penangguhan hutang walaupun tanggungan hutang masih membebaninya. Dan jika meninggal dalam kondisi ini maka dia dalam bahaya yang besar sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits di depan.

Kesimpulannya, jika hutang menuntut segera di bayarkan maka dia terkategori sebagai orang yang tidak mampu melaksanakan haji dan dia wajib segera melunasi hutangnya. Adapun jika hutangnya ditangguhkan, maka boleh baginya untuk berhaji walaupun melepaskan diri dari segala tanggungan itu jauh lebih baik dan utama.

Read More..

Menjaga Kemuliaan Pasangan

Pernikahan adalah ikatan sunnah dua orang anak manusia. Bernilai ibadah. Merupakan amalan separoh agama. Penuh limpahan pahala manakala semua aktifitas di dalamnya diniatkan semata-mata karena Allah. Berlimpah keberkahan kala sepasang suami istri menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing dengan penuh ketaatan pada Sang Khalik.

Namun, selalu saja ada kalanya perselisihan terjadi. Perbedaan pendapat yang saat tak disikapi dengan hukum syara dapat berujung petaka. Mungkin ketidaknyamanan dan ketidaktenangan mulai hadir dalam sebuah maghligai rumah tangga. Disinilah ujian mulai muncul. Ujian kesabaran untuk menghadapi segala perbedaan dengan segala warnanya. Bukankah Allah tidak membiarkan lisan manusia menyatakan beriman tanpa pembuktian? Saat kesadaran bahwa hidup adalah ujian yang tak pernah berkesudahan, maka sikap bijaksana dan dewasa lah yang akan dipilih dengan menyandarkan segala ucapan dan perbuatan pada hukum Allah saja.

Manusia makhluk lemah dan terbatas. Amat naif jika segala permasalahan dalam rumah tangga dinilai menggunakan perasaan. Bila ini yang terjadi, maka tidak akan pernah ada ujungnya. Perasaan yang diikuti akan semakin liar mengembara tak tentu arah. Akibatnya segala hal diukur menggunakan perasaan. Kebahagiaan dinilai jika terpenuhi ego. Kesenangan menjadi tujuan akhir hawa nafsu yang terpuaskan. Hingga tak mustahil rumah tangga yang semula bertujuan untuk ibadah, berubah seperti neraka, panas dibakar api cemburu, prasangka dan rasa tak mempercayai.

Fungsi suami istri sebagai pakaian yang melindungi kala hujan, meneduhkan saat panas, menjaga kehormatan dan menutupi hal-hal terlarang untuk diketahui orang lain terabaikan begitu saja. Menceritakan rahasia rumah tangga menjadi pilihan seorang suami/istri. Membawa permasalahan rumah tangga ke ranah publik menjadi hal yang sudah biasa. Kalau sudah begini, alih-alih keadaan akan menjadi lebih baik, yang terjadi justru sebaliknya.

Fenomena di masyarakat telah membuktikan hal ini. Di media sosial tayangan infotainment tentang kehidupan orang lain laris manis ditonton. Di televisi kehidupan orang lain diobok-obok sedemikian rupa sudah menjadi hal biasa. Bahkan ketika episode perceraian artis disuguhkan, aib pasangan yang berseteru berlomba-lomba ditampilkan. Masing-masing pihak yang bercerai tak mampu menahan diri untuk tidak menunjukkan keburukan pasangan. Mencari pembenaran dan pembelaan bahwa dirinya yang benar dan pasangan yang salah. Diri sendiri yang baik, dan pasanganlah yang buruk. Seolah dengan menyebarkan aib pasangan, akan mendapat simpati dari masyarakat. Akan menjadikan dirinya lebih mulia. Lupa bahwa “mulutmu adalah harimaumu” yang sewaktu-waktu bisa menerkam balik dirinya sendiri. Tak ingat bahwa menyebarkan aib pasangan sama saja dengan menunjukkan kejelekan diri sendiri. Apalagi ketika yang disampaikan pada orang lain adalah suatu kebohongan maka akan jatuh fitnah. Apalagi bila motif di baliknya adalah dendam dan kebencian, maka sesungguhnya sama seperti menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya. Sama saja menabrak aturan Islam.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2590).

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara, dia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2850)

Sepasang suami istri yang shaleh tentu tidak akan berani membuka aib pasangan pada orang lain. Aib orang lain saja Allah perintahkan untuk ditutupi, apalagi aib seseorang yang menjadi atau pernah menjadi pasangan. Harus lebih ditutupi lagi dan dijaga kemuliaannya.

Sepasang suami istri yang shaleh, akan menyimpan rapat-rapat apa pun tentang pasangannya. Dalam diam introspeksi diri selalu dilakukan. Hanya pada Allah tempat mengadu. Hanya pada Allah memohon pertolongan.

Sepasang suami istri yang shaleh, adalah pemilik jiwa yang tangguh. Kesalahan dan kelemahan pasangan disimpan dan dinikmati sendiri. Dibicarakan dari hati ke hati hanya dengan pasangan dalam rangka saling menasihati dalam kebaikan. Bukan diumbar dan disebarkan pada orang lain.

Sepasang suami istri yang shaleh apalagi pengemban dakwah, akan selalu menjaga kemuliaan pasangan. Hanya kebaikan dan ketaatan sang pasangan pada Allah yang selalu diingat. Kehormatan pasangan akan dijunjung tinggi. Bukan justru membuka keterbatasannya ataupun permasalahan rumah tangga yang ada atas nama dakwah.

Sepasang suami istri yang shaleh, adalah insan yang kuat dan berkecerdasan emosional tinggi. Mampu menahan diri untuk menjaga secara sempurna segala problem dalam biduk rumah tangga. Apalagi di era digital dimana mencari solusi sandaran aturan agama mudah di dapat, tanpa harus seorang pun tahu. Tanpa harus orang lain mengenal kita.

Sepasang suami istri yang shaleh, cintanya adalah karena Allah. Tak mungkin menempatkan pasangan pada posisi tersakiti oleh ucapannya. Ia selalu menjaga kemuliaan pasangan dimana pun berada. Ia selalu melindungi rahasia rumah tangga dari siapapun, sekalipun orangtuanya sendiri karena tak mau membebani ayah bundanya. Ia senantiasa mengikatkan hati, lisan dan perbuatannya untuk terikat dengan aturan Allah. Tak pernah setitikpun untuk berani membantah apapun firman Allah dan sabda nabinya. Tak pernah memilih untuk berada pada titik tak peduli dengan dosa.

Menjaga kemuliaan pasangan/orang lain sama artinya melindungi kehormatan sendiri. Menutupi aib pasangan/orang lain berarti menutupi aib diri sendiri. Manusia beriman pasti malu bila aibnya diketahui orang lain apalagi jika dikonsumsi beramai-ramai dalam media sosial/massa.

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar lalu menyeru dengan suara yang lantang
“Wahai sekalian orang yang hanya berislam dengan lisannya namun keimanan belum tertancap di dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan pula kalian memperolok mereka, dan jangan pula kalian menelusuri mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari aibnya, dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah niscaya Allah akan mempermalukan dia meskipun dia berada di dalam rumahnya sendiri.” (HR. Abu Daud no. 4236 dan At-Tirmizi no. 2032).

Semoga, menjaga kemuliaan pasangan adalah sebuah langkah indah yang dipilih oleh banyak pasangan suami istri. Sungguh, menampakkan aib pasangan/orang lain bahkan menyebarkan dan membicarakannya dengan sengaja adalah perbuatan terlarang dan hina, yang hanya bisa dilakukan oleh manusia rendah tak punya malu. Astaghfirullahal’adziim. Nabi bersabda,”jika engkau tak malu, maka lakukanlah sekehendakmu.” (HR. Al Bukhari)

Sikap malu adalah salah satu cabang dari keimanan (H.R al-Bukhari no 8 dan Muslim no 50)

Malu adalah bagian dari iman, dan iman di surga. Sedangkan berkata kasar adalah termasuk perangai yang kasar, dan perangai yang kasar (tempatnya) di neraka (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albany)

Sesungguhnya malu dan iman adalah kedua hal yang beriringan. Jika diangkat salah satu, maka terangkat yang lain (H.R al-Hakim, dishahihkan oleh adz-Dzahaby)

Wallahu’alam.

Read More..

Menjadi Pribadi Luar Biasa, Tak Perlu Sama

“Akhwat kok ngebut ?!” begitulah komentar seorang ikhwan, saat melihat seorang perempuan berkerudung lebar melintas dengan cepat, mendahului laju motornya.

Ada juga yang berkomentar, “Kok yang jadi pembicara akhwat ya? Pesertanya kan ada ikhwan juga ….” sela seorang peserta training kepemimpinan ketika mendapati situasi yang berbeda dari yang biasa dialaminya.

Sempat pula kudengar seorang adik tingkat berkata, “Mbk, si A itu kok kalem banget sih … kan jadi terlihat lemah gitu di hadapan ikhwan…” Dan komentar lainnya. Bingung mendengar komentar-komentar itu ?

Mungkin saja kita jadi bingung bila mendengar komentar-komentar seperti itu. Ya, suatu sudut pandang yang berbeda dalam menilai sesuatu. Apalagi jika bersangkutan dengan yang namanya “akhwat”. Wanita yang berusaha menjalankan aturan sesuai syariat, tak jarang mendapat komentar dari kanan-kirinya.

Bagi sebagian besar orang, yang namanya akhwat itu harus identik dengan sifat lembut, kalem, tidak bicara kasar, menjaga sopan santun, dan lain sebagainya. Kalau mengenai ikhwan … ya, seorang yang identik dengan sifat tegas, pandai orasi, berwibawa, dan lain-lain. Pantas saja kalau sebagian orang terheran-heran ketika ada seorang akhwat yang punya sifat “nyentrik”, dan menjadi kaget melihat ikhwan yang punya sifat lemah lembut.

Ingatkah kita kisah teladan dari Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka adalah sosok yang mengagumkan. Bahkan 10 diantaranya dijamin masuk surga. Ada juga empat pemimpin kaum Hawa di Jannah-Nya kelak, mereka berasal dari negeri yang berbeda-beda, dengan adat/kebiasaan yang berbeda, dengan sifat yang berbeda pula.

Rasulullah SAW adalah seorang yang paling lembut terhadap istri dan anak-anaknya, sangat sopan terhadap para sahabat/shobiyahnya. Bahkan pada seorang kafir buta yang sudah tua. Seiap hari beliau menyuapi orang kafir yang buta ini, sampai beliau wafat. Saat Abu Bakar menggantikannya untuk menyuapi orang buta itu, ia bisa dengan mudah membedakannya. Tapi, Rasulullah SAW adalah orang pertama yang “tidak terima” saat kaum kafir memusuhi Islam. Sikapnya begitu tegas dan keras saat musuh-musuh Islam itu merajalela.

Ingatkah engkau dengan sosok Abu Bakar? Sosok ikhwan yang sangat menjaga kesopanan, lemah lembut terhadap sesamanya. Dari segi fisik, beliau adalah seorang yang bertubuh kurus, sampai celananyapun sering kedodoran. Walau beliau banyak harta, tapi tak menghalanginya untuk menjauhkan lambung dari tempat tidurnya.

Beda lagi dengan Umar bin Khatab. Secara fisik, sosoknya tinggi besar, kekar, dan besar. Sifatnya sangat tegas. Tapi tak jarang beliau ditemukan dalam keadaan menangis tersedu dalam salat, bahkan sampai pingsa. Sosok yang selalu ingin bersaing dengan Abu Bakar ini, tak jenuh menanyakan pada Rasulullah SAW tentang apa-apa yang bisa membuatnya lebih dekat dengan Allah SWT.

Ustman bin Affan, seorang ikhwan hartawan yang sangat pemalu, bahkan malaikat pun malu pada beliau. Tak enggan memberikan harta di jalan Allah, itulah karakteristiknya.

Lain lagi dengan Ali bin Abi Thalib. Beliau seorang pemuda yang sangat bersahaja. Pemuda pertama yang memeluk agama Islam. Pemuda yang sangat menjaga hati terhadap lawan jenisnya, saampai Allah ‘menghadiahkan’ sosok lembut Fatimah binti Muhammad sebagai pendamping hidupnya. Walau keduanya sudah “ada rasa” sebelumnya, tapi mereka berusaha untuk tidak mengekspresikan sebelum saatnya tiba. Subhanallah ….

Ummahatul Mukminin, para wanita yang mendapat kehormatan mendampingi Rasulullah SAW, wanita dengan karakter luar biasa. Mereka semua memiliki karakter berbeda-beda dan memiliki keunggulannya masing-masing. Semua punya keunggulan amal, punya akhlak mulia yang luar biasa.

Siti Khadijah, sosok keibuan yang tiada bandingnya di hati Rasulullah SAW. Bahkan Rasul-pun sering menyebut namanya walau beliau sudah tiada hingga Aisyah cemburu dibuatnya. Khadijah adalah sosok penuh pesona, walaupun beliau seorang janda, seorang hartawan dan bangsawan, tapi tak membuatnya bimbang untuk menyerahkannya demi ke-muntijah-an Islam.

Aisyah adalah osok wanita dengan kedalaman ilmu yang sangat luar biasa. Bahkan seorang sahabat berkata, “Kalau ilmu Aisyah ditukar dengan ilmu para wanita di dunia, niscaya tidak sebanding dengannya. Hafalan hadisnya tidak perlu diragukan, kepandaiannya dalam ilmu kedokteran dan sastra, tidak perlu disangkal.

Hafshah binti Umar adalah seorang pemelihara al-Quran. Ummu Salamah dalah istri Rasulullah SAW yang pertama masuk Madinah. Ummu Habibah adalah mukminah yang amat setia terhadap agamanya. Juwairiyah binti Al-Harist adalah wanita pembawa berkah besar bagi kaumnya.

Para shohabiyah-pun tak perlu diragukan lagi. Asma’ binti Abu Bakar ialah Sang pemilik dua ikat pinggang. Ummu Khultsum binti Ali ialah bidan muslimah pertama. Sumayyah binti Khayyath ialah Syahidah pertama dalam Islam. Ummu ‘Umarah ialah prajurit mukminah.

Dan masih banyak lagi …

Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan kita ? Silakan memilih teladan yang paling dikagumi, karakter yang paling sesuai diterapkan dengan diri pribadi. Jangan sampai tidak memilih sama sekali, begitu sindiran seorang ustadz.

Kawan, sekali lagi, mencontoh bukan berarti harus sama, kita tetap bisa menjadi diri sendiri, tinggal mengoptimalkan untuk berjuang meraih ridha-Nya. Sungguh, masing-masing dari kita pasti memiliki kecenderungan yang berbeda, punya sifat yang tidak sama, punya amal unggulan yang berbeda, asalkan tidak melanggar syariat-Nya.

Malu rasanya diri ini mengingat pribadi-pribadi yang luar biasa, yang saya sebutkan di atas. Ada teman yang sangat mendahulukan salat di awal waktu dengan berjamaah, ada yang senang membangunkan teman kos untuk salat malam, mengirim SMS tausiyah berkesinambungan, puasa senin-kamis yang selalu dilaksanakan, hafalan Quran yang sungguh mengagumkan, karakter yang sangat pandai menyemangati para stafnya, sosok tak kenal lelah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, salat Dhuha yang tak pernah ditinggalkannya. Ada akhwat yang sangat sopan dalam berkata-kata, ada pula yang dengan semangat mengutarakan ide gagasannya. Ada ikhwan yang sangat tegas walau dalam keadaan bercanda, ada pula yang sangat sopan dan menjaga tata krama.

Semua karakter itu, semua sifat itu, adalah anugerah dari Allah untuk kita. Seorang yang pandai berorasi, sangat tepat ditempatkan di barisan terdepan saat aksi. Seorang yang pandai dalam interpreneur, sangat diperlukan dalam menyokong dana. Seorang konseptor, sangat diperlukan utk menyumbangkan ide dan gagasannya demi kegiatan yang tepat sasaran. Seorang yang ahli dalam kerja-kerja teknis, sangat diperlukan untuk merealisasikan konsep yang cemerlang. Seorang yang ‘pelit’, sangat cocok ditempatkan pada posisi bendahara. Seorang yang senang shopping dan wisata kuliner, pasti tepat ditempatkan di bagian konsumsi. Seorang yang hobi berpetualang, akan cocok untuk menentukan tempat yang tepat untuk sebuah kegiatan. Bahkan, seorang yang suka kebut-kebutan, akan sangat diperlukan untuk menjemput pembicara.

Dari sisi kelemahan, selalu ada sisi kebaikan. Maka, dalam barisan kebaikan ini, tiada yang sia-sia. Allah Swt. menciptakan semua perbedaan itu agar kita saling menguatkan. Bukankah sebuah taman akan tampak lebih indah dengan bunga-bunga dan kupu-kupu yang berbeda-beda warnanya?

Penulis: Megawati Dharma Iriani


Read More..