Tuesday, August 27, 2013

Hiduplah Sebatas Hari Harimu

Oleh Syeikh Muhammad Al Ghazali

Galau, risau, Stress ??

Salah satu kesalahan manusia adalah menanggung beban masa depannya yang masih jauh pada saat sekarang ini. Bila seseorang berangan-angan maka pemikirannya beralih ke ruang tanpa batas, yang segera dipenuhi oleh bisikan, praduga dan kecemasan yang segera mencengkramnya.Keraguan dan kegelisahan Itu semua akan menipu kita . Mengapa tidak hidup dalam batas harimu yang ini saja..

Psikolog Barat Dale Carnegi telah meneliti sejumlah tokoh sukses dari orang yang tidak terpengaruh masa depan tapi mencurahkan perhatian pada kondisi saat ini semata. Dengan cara yang cerdas ini hasilnya adalah keamanan bagi kondisi mereka saat itu dan sekaligus hari esoknya. Ungkapnya,” Kami tidak mengejar tujuan yang secara tiba-tiba terlintas dalam pikiran kami dari masa yang jauh. Kami hanya mengerjakan pekerjaan yang jelas dan nyata ada di hadapan kami hari ini ‘..nasihat dari seorang terkemuka di Inggris thomas Carlel.

Hidup dalam batasan hari ini menurut nasihat di atas sesuai pula dengan apa yang sudah dinasihatkan oleh Rasulullah SAW “ Barang siapa bangun dipagi hari dengan hati tenang, badan yang sehat, memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah ditundukkan seluruhnya kepadanya. (H.R. At Tirmidzi)

Jika telah terbit subuh, Khalilullah Ibrahim As berdoa , “ Ya Allah ini adalah ciptaan (hari) baru, maka bukakanlah ia untukku dengan ketaatan kepadaMU dan tutupllah dengan ampunan dan ridha-Mu. Ya Allah berilah aku rezeki di dalamnya dengan penerimaan yang baik dariku , tumbuhkan dan lipat gandakan ia untukku, dan ampunilah untukku keburukan yang aku ketahui ada padanya. Sesungguhnya engkau Maha Pengampun, Maha Pengasih, Maha Penyayang , dan Maha Mulia,” Beliau berkata, “ Barang siapa yang berdoa dengan doa ini di pagi hari, maka ia telah mensyukuri harinya.”

Dalam keseharian Rasulullah SAW, beliau menunjukkah kebenaran cara ini dalam menata kehidupan, menghadapi setiap bagiannya dengan penuh semangat dan harapan baru. Apabila tiba waktu pagi Rasulullah berkata, “ Kami berada di waktu pagi, dan menjadilah kerajaan milik Allah. Segala puji bagiNya , tidak ada sekutu bagi Nya, Tidak ada Tuhan selain Dia, dan hanya kepadaNya tempat kembali.” Dan jika tiba waktu senja , beliau mengucapkan, “ Ya Allah , aku mendapati waktu sore dari Mu dalam kenikmatan, keafiatan dan perlindungan. Maka sempurnakanlah untukku nikmat Mu, ke’afiatan dari Mu dan perlindungan Mu di dunia dan akhirat…” (H.R. At Tirmidzi)

Sebagian manusia meremehkan pemberian Allah SWT kepadanya berupa keselamatan dan ketenangan diri dan keluarganya. Terkadang kelalaian besar ini semakin menjadi-jadi dan bertambah akibat hilangnya harta kekayaan dan kekuasaan. Sikap seperti ini sama halnya dengan lari dari kenyataan , merusak agama dan dunia.

Konon, suatu hari seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Amir bin Ash, “ Bukankah aku ini termasuk orang miskin dari kalangan muhajirin?” Abdullah pun balik bertanya, “ Apakah engkau memiliki istri tempat mencurahkan kasih sayang? Dia menjawab , “ Ya.” Lalu Abdullah bertanya lagi , Apakah engkau memiliki rumah sebagai tempat tinggal ? Dia menjawab “ Ya.’ Maka Abdullah pun berkata” Engkau termasuk golongan orang kaya,” orang itu pun menambahkan “ saya juga memilliki seorang pelayan,” Lalu Abdullah berkata “ Kalau begitu engkau termasuk golongan Raja,” jawab Abdullah

Simak petuah Abu Hazim yang mengatakan “ sesungguhnya antara aku dan para raja itu sama-sama berada dalam hari yang sama. Hari kemarin sudah tidak mereka rasakan lagi lezatnya. Sedangkan esok hari , aku dan mereka sama-sama mengkhawatirkannya …Jadi yang ada hanyalah hari ini.” Sosok saleh yang fakir ini mengingatkan para raja dan bangsawan bahwa kelezatan hidup di masa lampau akan sirna bersama berlalunya hari.

Dengan demikian yang tersisa hanyalah “hari ini” dimana bagi orang yang berakal akan mengoptimalkannya pada setiap detiknya. Dalam bingkai “hari ini’ juga seorang yang mampu menata diri dan memantapkan tujuan akan berubah menjadi raja!

Hidup dalam batasan hari ini bukan berarti apatis dengan masa depan dan tidak mempersiapkan diri untuk menyongsongnya karena persiapan akan hal itu merupakan hal yang baik dan rasional. Hanya ada perbedaan antara perhatian dan kekhawatiran akan masa depan dengan menghadapinya secara berelebihan, juga ant ara beraktivitas hari ini dan kecemasan tentang apa yang telah dipersiapkan untuk esok. SO ? … just tawaqal kepada Allah

Pada hakikatnya , merasa cukup secara material, menerima dengan baik apa yang ada dalam genggaman dan tidak berpegang kepada angan-angan adalah inti dari kebesaran jiwa dan rahasia kemenangan atas berbagai krisis. Yaitu orang-orang yang tidak mengeluh atas kehilangannya, dan tidak merasa sombong bila karunia mendatanginya – LL/Gz

Read More..

Ridha, Lebih Utama dibanding Sabar

Para ulama salafussaleh mengupas tuntas masalah hati dengan segala potensi kebaikan yang dimilikinya. Diibaratkan hati adalah “raja”. Ia bisa menjadi organ tubuh yang paling taat atau yang paling maksiat. Dan salah satu produk hati yang bersih yakni RIDHA.

Ketika seseorang menjumpai hal yang tidak diingininya, maka ia bisa berdiri di antara dua sikap ; SABAR atau RIDHA. RIDHA adalah yang lebih utama. Adapun sabar, hukumnya wajib bagi setiap orang Muslim.

Sabar berbeda dengan ridha. Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang.

Sementara Ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya. Keridhaannya meringankan deritanya. Karena hatinya dipenuhi oleh ruh yakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat ia mampu menepis seluruh rasa sakit dan derita.

Mereka yang ridha adalah mereka yang dapat menghayati hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian . Mereka tidak berburuk sangka kepadaNYa. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Ia terhanyut dalam persaksiannya atas semua itu, sehingga ia tidak lagi merasakan derita. Hanya saja cuma mereka yang benar-benar ma’rifah (kenal) dan ber’mahabah (cinta) saja yang yang dapat mencapai tingkatan ini. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpa, karena mereka tahu bahwa musibah itu datang dari Dzat yang dicintainya.

Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi SAW , beliau bersabda

“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha niscaya ia kan mendapat ridhaNya . Barang siapa yang kesal dan benci niscaya ia akan mendapatkan murkaNya .

Ibnu Mas’ud berkata,” sesungguhnya Allah SWT dengan keadilan dan ilmuNya menjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha; serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan kemurkaan :

Allah Swt berfirman : Barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan menunjuki hatinya (Ath Thagabun ;11)

Berkenan dengan ayat di atas, Al qamah berkata’ini tentang musibah yang menimpa seseorang yang mengerti bahwa musibah itu datang dari Allah, lalu ia pasrah dan ridha

“Maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (an Nahl ;97)

Abu Mua’awiyah Al Aswar menjelaskan maksud kehidupan yang baik adalah ridha dan qana’ah

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati Adi bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya,” Mengapa kamu bermuram durja? Ady menjawab” Apa tidak boleh? , sedang dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil?” Ali bertutur ,” …Wahai Adi, barang siapa ridha terhadap ketentuan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi, dan ia mendapat pahala. Dan barang siapa tidak ridha terhadap ketetapanNya, Sesungguhnya ketetapanNya tetap terjadi dan amalan orang itupun terhapus….”

Adapun Abu darda mengunjungi seseorang yang menjelang ajal sambil memuji Allah SWT. Abu Darda berujar,” Anda benar sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu, Dia senang jika diridhai..”

Hasan Al Bashri berkata,” Barang siapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.

Umar bin Abul Azis berkata,” aku tidak lagi memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan begitu. Beliau juga pernah ditanya apa yang paling anda senangi? Beliau menjawab semua yang ditetapkan Allah SWT. Suatu pagi seorang arab Badui mendapati banyak untanya pada mati. Berkatalah ia,” Tidak, demi Allah- yang aku adalah hambaNya- kalaulah bukan karena kedengkian orang-orang yang dengki, niscaya aku tidak akan senang menerima cobaan pada unta-untaku ini. Juga terhadap tidak terjadinya sesuatu yang telah ditetapkan Allah..

Abdul wahid bin Zaid berkata,” Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah..”

Sebagian ulama berkata,” di akhirat nanti tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh orang-orang yang ridha kepada Allah SWT dalam segala situasi. Maka barangsiapa yang dianugrahi ridha , sungguh ia telah mendapat derajat yang paling utama.

Sumber :Tazkiyatunnas, Konsep penyucian Jiwa menurut para Ulama Salafussalih

Read More..

Kisah Sebuah Batu (Membela Kesucian Nabi Musa alaihissallam)

Manusia itu berbeda-beda keadaannya, baik dalam hal bentuk fisik maupun sifat. Karena itulah, di antara manusia ada yang elok rupa dan perawakannya, ada pula yang tidak.

Ada di antara mereka yang tinggi, ada yang pendek. Ada yang sempurna anggota tubuhnya, ada pula yang cacat, demikian seterusnya. Begitu pula sifat dan kepribadian masing-masing. Ada yang tidak mempunyai kepribadian, akhlak, etika, perasaan halus, dan sebagainya, ada pula yang berwatak mulia, bercita-cita tinggi, tekad yang luhur, dan seterusnya.

Para nabi adalah golongan manusia yang memiliki berbagai kesempurnaan sebagai seorang manusia, baik jasmani maupun rohani. Mengapa? Karena Allah memang memilih mereka untuk diri-Nya, sehingga sudah pasti memilih orang-orang yang paling baik dan sempurna; hati, akhlak, kepribadian, dan sebagainya.

Allah berfirman:
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (al-An’am: 124)

Allah berfirman:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (al-Baqarah: 253)

Namun, bukan berarti kesempurnaan fisik para nabi dan rasul sebagai manusia, menunjukkan mereka berada dalam satu keadaan yang sama. Kesempurnaan yang ada pada mereka juga berbeda-beda. Itulah salah satu bukti keindahan karya dan kesempurnaan kekuasaan Allah Yang Maha Esa. Allah berfirman:

“(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.” (an-Naml: 88)

Artinya, Dia melakukan sesuatu dengan kekuasaan-Nya yang besar dan mengokohkan segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya.

Rasulullah pernah menceritakan tentang perawakan fisik sebagian nabi, di antaranya tentang Nabi Musa, yang dikatakan beliau seperti laki-laki dari suku Himyar (Yaman), tinggi, dan berkulit gelap.[1] Nabi ‘Isa, seorang laki-laki yang bertubuh sedang, dengan rambut basah seolah-olah baru keluar dari kamar mandi.[2]

Para sahabat juga pernah menerangkan kepada kita tentang sebagian ciri-ciri Nabi, kata mereka, “Beliau laki-laki yang paling gagah, rupawan, tidak terlalu tinggi, dan tidak pula pendek. Dadanya bidang, pipinya halus, rambutnya sangat hitam, dan sepasang matanya bercelak. Warna kulitnya cerah, tidak terlalu putih seperti bule dan tidak gelap (sawo matang). Rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak pula lurus.”[3]

Adapun kesempurnaan sikap, kepribadian, watak, perasaan, dan sebagainya, mereka juga berada pada tingkatan paling sempurna sebagai manusia. Cukuplah pujian Allah terhadap mereka dalam banyak ayat-Nya di dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman tentang Khalil-Nya Ibrahim:
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba, dan suka kembali kepada Allah.” (Hud: 75)

Allah berfirman menceritakan pujian anak perempuan laki-laki saleh di Madyan tentang pribadi Nabi Musa:
“Wahai ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)

Namun, kesempurnaan itu hanya tinggal sebagai cerita yang dibaca. Banyak di antara manusia yang tidak menempatkan kesempurnaan itu pada tempatnya. Ada yang melampaui batas, hingga menjadikan pemilik kesempurnaan itu sederajat dengan Zat yang memberi kesempurnaan tersebut, yaitu Allah. Artinya, kesempurnaan itu menjadi alasan bagi mereka untuk menyerahkan peribadatan kepada para nabi dan rasul. Mereka meminta syafaat, berkah, keselamatan, kemuliaan, kesehatan, dan rezeki kepada para nabi dan rasul. Ada pula yang menyembelih korban, shalat, puasa, sedekah, nazar, dan sebagainya untuk para nabi tersebut. Subhanallah.

Sebaliknya, ada pula yang tidak peduli, hingga merendahkan para nabi tersebut, seperti tindakan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Kalau kita membalik lembaran-lembaran kitab mereka, tentu kita akan melihat kitab yang mereka katakan sebagai pedoman hidup itu, penuh dengan tuduhan-tuduhan keji yang dialamatkan kepada para nabi tersebut. Hampir tidak satu pun nabi yang selamat dari kata-kata mereka yang tidak senonoh. Tak hanya itu, Allah yang telah menciptakan dan menyelamatkan mereka dari kehinaan, juga tidak luput dari ejekan mereka.

Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’.” (Ali ‘Imran: 181)

Juga firman Allah:
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.” (al-Maidah: 64)

INILAH BEBERAPA KEJELEKAN YANG DITUDUHKAN OLEH AHLI KITAB KEPADA PARA NABI DAN RASUL YANG PERNAH HIDUP BERSAMA MEREKA.

1. Mereka menuduh Nabi Harun membuatkan patung anak sapi lalu disembah oleh Bani Israil (Kitab Keluaran 32:1). Padahal, Al-Qur’an dengan tegas mengungkapkan bahwa yang membuat patung anak sapi adalah Samiri. Nabi Harun justru menentang perbuatan mereka, sampai-sampai mereka hampir membunuh beliau.

2. Nabi Ibrahim menyerahkan istrinya Sarah kepada Pharao (Fir’aun) sehingga memperoleh hadiah (Kitab Kejadian 12:14). Sementara itu, Rasulullah mengisahkan kepada kita, Nabi Ibrahim memasuki Mesir yang ketika itu diperintah oleh seorang raja zalim, yang tidak pernah membiarkan seorang wanita cantik yang bersuami, melainkan membunuh suaminya lalu merampas wanita itu untuk dirinya. Setelah Nabi Ibrahim ditanya tentang Sarah, beliau mengatakan bahwa itu adalah saudaranya, yakni saudara se-Islam. Rasulullah menerangkan pula bahwa Allah memelihara Sarah ketika dibawa kepada raja tersebut, hingga dia tidak dapat didekati sama sekali oleh raja zalim tersebut.

3. Mereka menuduh Nabi Luth meminum tuak sampai mabuk lalu menyetubuhi kedua putrinya (Kitab Kejadian 19:30). Mahasuci Allah, tidak mungkin Nabi Luth berbuat demikian. Beliaulah yang sepanjang hidupnya selalu mengajak kepada kemuliaan dan memerangi perbuatan hina kaumnya. Akan tetapi, kedengkian kaum Yahudi mendorong mereka menutup-nutupi kemuliaan yang beliau miliki.

4. Tuduhan mereka terhadap Nabi Ya’qub, bapak moyang mereka sendiri, sebagai pencuri ternak dari kandangnya, lantas membawa keluarganya tanpa memberitahu (Kitab Kejadian 31:17).

5. Mereka menuduh Dawud berzina dengan istri prajuritnya, kemudian melakukan tipu daya agar membunuh laki-laki itu. Akhirnya prajurit itu tewas, dan Dawud menikahi wanita tersebut hingga melahirkan Sulaiman (Kitab Samuel II 11:1).

6. Mereka menuduh Sulaiman murtad di akhir usianya dan menyembah berhala serta membangun kuil-kuil peribadatan (Kitab Raja-Raja I 11:5).

7. Yesus bersaksi bahwa nabi-nabi yang sebelum dia di kalangan Bani Israil adalah perampok dan pencuri. (Injil Yohannes, 10:8)

Itulah sebagian perbuatan hina yang dinisbatkan oleh bangsa yang paling dilaknat ini kepada para nabi Allah yang suci. Mahasuci Allah dari apa yang mereka ada-adakan. Namun, kebusukan jiwa membuat mudah menisbatkan kehinaan itu kepada manusia pilihan Allah, agar mudah pula bagi mereka melakukan perbuatan dosa sesuai dengan selera mereka.

Tidak sampai di situ, bahkan ada pula yang mereka bunuh.

Nabi Musa, salah seorang nabi dan rasul paling mulia yang diutus memimpin mereka, tak luput dari ejekan mereka. Mereka pernah mengatakan kepada beliau agar membuatkan satu sesembahan untuk mereka, seperti dalam firman Allah:

“Bani Israil berkata, ‘Wahai Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan, sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan’.” (al-A’raf: 138)

Atau mengatakan, “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami melihat Allah dengan terang-terangan.” Sebagaimana Allah ceritakan:

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang’, karena itu kamu disambar halilintar, sedangkan kamu menyaksikannya.” (al-Baqarah: 55)

Atau berkata kepada beliau, “Pergilah engkau bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua. Sungguh, kami akan duduk di sini (menunggu).”

Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya Musa adalah seorang pemalu, menutup rapat tubuhnya hingga tidak terlihat kulitnya sedikitpun karena malu. Karena itulah beberapa orang dari Bani Israil menyakiti beliau, kata mereka, “Dia menutup diri seperti itu, tidak lain karena cacat pada kulitnya, entah itu sopak (belang), udrah[4], atau penyakit lain.”

Dan sesungguhnya Allah ingin membersihkan beliau dari tuduhan yang mereka lontarkan kepada Musa. Pada suatu hari, beliau menyepi sendirian dan meletakkan pakaiannya di atas sebuah batu, lalu mandi.

Setelah selesai, beliau mendekati batu itu untuk memungut pakaiannya. Ternyata, batu itu berlari membawa pakaian beliau. Nabi Musa pun mengambil tongkatnya mengejar batu itu sambil berseru, ‘Pakaianku, hai batu! Pakaianku, hai batu!’ sampai di dekat sekumpulan orang-orang Bani Israil. Akhirnya, mereka pun melihat beliau dalam keadaan tidak berpakaian dan tubuh yang paling bagus. Allah membersihkan beliau dari ejekan yang pernah mereka ucapkan.

Batu itu pun berhenti dan Nabi Musa segera mengenakan pakaiannya, kemudian mulai memukul batu itu dengan tongkatnya. Demi Allah, masih ada bekas tiga, empat, atau lima pukulan pada batu tersebut.

Itulah yang Allah firmankan:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.”[5] (al-Ahzab: 69)

Akan tetapi, demikianlah watak orang-orang Yahudi.

Ketika Nabi Musa sendirian, lalu keluar dari dalam air, beliau tidak melihat bajunya yang diletakkan di atas sebongkah batu. Beliau pun mengejar batu tersebut agar tidak terlihat oleh seorang pun bahwa beliau dalam keadaan tidak berpakaian. Namun, ternyata ada sekelompok Bani Israil duduk-duduk di sekitar situ, maka terpaksa beliau melewati mereka.

Melihat keadaan Nabi Musa itu, mereka pun menyadari ketidakbenaran tuduhan mereka. Ternyata, Nabi Musa memiliki tubuh yang sempurna tanpa cacat.

Walhamdu lillah.

Catatan Kaki:
[1] HR. al-Bukhari no. 3394 dan Muslim no. 172 & 178.
[2] HR. al-Bukhari no. 3394.
[3] HR. al-Bukhari (3547, 3548) dan Muslim (2347), lihat juga Shahihul Jami’ (4/199).
[4] Udrah, pembengkakan scrotum (kemaluan) –red.
[5] HR. al-Imam al-Bukhari no. 278, 3404, dan 4799, Muslim (1/183) dari Abu Hurairah.


Sumber: http://asysyariah.com/kisah-sebuah-batu-membela-kesucian-nabi-musa-alaihissallam.html

Read More..

Hikmah Dibalik Puasa

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk.” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan, “Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”. (HR. Bukhari) Dalam riwayat Ahmad disebutkan, “Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”. (HR. Ahmad, Sanad Shahih)

Hikmah Dibalik Puasa
PAHALA YANG TAK TERHINGGA DI BALIK PUASA

Dari hadits di atas disebutkan bahwa setiap amalan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisal. Kemudian dikecualikan amalan puasa. Amalan puasa tidaklah dilipatgandakan seperti itu. Amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya. Amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga berlipat-lipat tanpa ada batasan bilangan. Kenapa bisa demikian? Ibnu Rajab Al Hambali –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,”Karena puasa adalah bagian dari kesabaran”. Mengenai ganjaran orang yang bersabar, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Sabar itu ada tiga macam yaitu
(1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah,
(2) sabar dalam meninggalkan yang haram dan
(3) sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan.

Ketiga macam bentuk sabar ini, semuanya terdapat dalam amalan puasa. Dalam puasa tentu saja di dalamnya ada bentuk melakukan ketaatan, menjauhi hal-hal yang diharamkan, juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa amalan puasa bisa meraih pahala tak terhingga sebagaimana amalan sabar.

AMALAN PUASA KHUSUS UNTUK ALLAH

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”. Riwayat ini menunjukkan bahwa setiap amalan manusia untuknya. Sedangkan amalan puasa, Allah khususkan untuk diri-Nya. Allah menyandarkan amalan tersebut untuk-Nya. Kenapa Allah bisa menyandarkan amalan puasa untuk-Nya?

Alasan pertama: Karena di dalam puasa, seseorang meninggalkan berbagai kesenangan dan berbagai syahwat. Hal ini tidak didapati dalam amalan lainnya. Ketika seseorang berihram (dalam ibadah haji dan umroh), memang ada perintah meninggalkan jima’ (berhubungan badan dengan istri) dan meninggalkan berbagai wewangian yang dikenakan pada pakaian. Namun bentuk kesenangan lain dalam ihram tidak ditinggalkan. Begitu pula dengan ibadah shalat. Dalam shalat memang kita dituntut untuk meninggalkan makan dan minum. Namun itu terjadi dalam waktu yang singkat. Bahkan ketika hendak shalat, jika makanan telah dihidangkan dan kita merasa butuh pada makanan tersebut, kita dianjurkan untuk menyantap makanan tadi dan boleh menunda shalat ketika dalam kondisi seperti itu.

Intinya, dalam amalan puasa terdapat bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak kita jumpai pada amalan lainnya. Jika seseorang telah melakukan ini semua –seperti meninggalkan hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini menunjukkan benarnya iman orang yang melakukan semacam ini. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Rajab, “Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.” Orang yang melakukan puasa seperti itu selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah meskipun dia berada sendirian. Dia telah mengharamkan melakukan berbagai macam syahwat yang dia sukai. Dia lebih suka mentaati Rabbnya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu mengharap ganjaran-Nya. Sebagian salaf mengatakan, “Beruntunglah orang yang meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb yang tidak nampak di hadapannya”. Oleh karena itu, Allah membalas orang yang melakukan puasa seperti ini dan Dia pun mengkhususkan amalan puasa tersebut untuk-Nya dibanding amalan-amalan lainnya.

Alasan kedua: Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Amalan puasa berasal dari niat batin yang hanya Allah saja yang mengetahuinya dan dalam amalan puasa ini terdapat bentuk meninggalkan berbagai syahwat. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan selainnya mengatakan, “Dalam puasa sulit sekali terdapat riya’ (ingin dilihat/dipuji orang lain).” Dari dua alasan inilah, Allah menyandarkan amalan puasa pada-Nya berbeda dengan amalan lainnya.

SEBAB PAHALA PUASA,SESEORANG MEMASUKI SURGA

Dalam hadits di atas juga disebutkan, “Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku.”

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, “Pada hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya. Setiap amalan akan menembus berbagai macam kelaliman yang pernah dilakukan, hingga tidak tersisa satu pun kecuali satu amalan yaitu puasa. Amalan puasa ini akan Allah simpan dan akhirnya Allah memasukkan orang tersebut ke surga.” Jadi, amalan puasa adalah untuk Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pun mengambil ganjaran amalan puasa tersebut sebagai tebusan baginya. Ganjaran amalan puasa akan disimpan bagi pelakunya di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, seluruh amalan kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh pelakunya. Sehingga karena banyaknya dosa yang dilakukan, seseorang tidak lagi memiliki pahala kebaikan apa-apa.

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa hari kiamat nanti antara amalan kejelekan dan kebaikan akan ditimbang, satu yang lainnya akan saling memangkas. Lalu tersisalah satu kebaikan dari amalan-amalan kebaikan tadi yang menyebabkan pelakunya masuk surga.

Itulah amalan puasa yang akan tersimpan di sisi Allah. Amalan kebaikan lain akan memangkas kejelekan yang dilakukan oleh seorang hamba. Ketika tidak tersisa satu kebaikan kecuali puasa, Allah akan menyimpan amalan puasa tersebut dan akan memasukkan hamba yang memiliki simpanan amalan puasa tadi ke dalam surga.

DUA KEBAHAGIAAN YANG DIRAIH ORANG YANG BERPUASA

Dalam hadits di atas disebutkan pula, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”

Kebahagiaan pertama adalah ketika seseorang berbuka puasa. Ketika berbuka, jiwa begitu ingin mendapat hiburan dari hal-hal yang dia rasakan tidak menyenangkan ketika berpuasa, yaitu jiwa sangat senang menjumpai makanan, minuman dan menggauli istri. Jika seseorang dilarang dari berbagai macam syahwat ketika berpuasa, dia akan merasa senang jika hal tersebut diperbolehkan kembali.

Kebahagiaan kedua adalah ketika seorang hamba berjumpa dengan Rabbnya yaitu dia akan jumpai pahala amalan puasa yang dia lakukan tersimpan di sisi Allah. Itulah ganjaran besar yang sangat dia butuhkan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al Muzammil: 20)

BAU MULUT ORANG YANG BERPUASA DI SISI ALLAH

Ganjaran bagi orang yang berpuasa yang disebutkan pula dalam hadits di atas, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk.”

Seperti kita tahu bersama bahwa bau mulut orang yang berpuasa apalagi di siang hari sungguh tidak mengenakkan. Namun bau mulut seperti ini adalah bau yang menyenangkan di sisi Allah karena bau ini dihasilkan dari amalan ketaatan dank arena mengharap ridha Allah. Sebagaimana pula darah orang yang mati syahid pada hari kiamat nanti, warnanya adalah warna darah, namun baunya adalah bau minyak misk.

Harumnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah ini ada dua sebab:

Pertama: Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah di dunia. Ketika di akhirat, Allah pun menampakkan amalan puasa ini sehingga makhluk pun tahu bahwa dia adalah orang yang gemar berpuasa. Allah memberitahukan amalan puasa yang dia lakukan di hadapan manusia lainnya karena dulu di dunia dia berusaha keras menyembunyikan amalan tersebut dari orang lain. Inilah bau mulut yang harum yang dinampakkan oleh Allah di hari kiamat nanti karena amalan rahasia yang dia lakukan.

Kedua: Barangsiapa yang beribadah dan mentaati Allah, selalu mengharap ridho Allah di dunia melalui amalan yang dia lakukan, lalu muncul dari amalannya tersebut bekas yang tidak terasa enak bagi jiwa di dunia, maka bekas seperti ini tidaklah dibenci di sisi Allah. Bahkan bekas tersebut adalah sesuatu yang Allah cintai dan baik di sisi-Nya. Hal ini dikarenakan bekas yang tidak terasa enak tersebut muncul disebabkan melakukan ketaatan dan mengharap ridha Allah. Oleh karena itu, Allah pun membalasnya dengan memberikan bau harum pada mulutnya yang menyenangkan seluruh makhluk, walaupun bau tersebut tidak terasa enak di sisi makluk ketika di dunia.

Inilah beberapa keutamaan di balik puasa. Inilah yang akan diraih bagi seorang hamba yang melaksanakan amalan puasa yang wajib di bulan Ramadhan maupun amalan puasa yang sunnah dengan dilandasi keikhlasan dan selalu mengharap ridha Allah. (*)

(*) Pembahasan ini disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 268-290.

Read More..

Amal yang Tetap Bermakna

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, meningkatlah amal ibadahnya. Tidak demikian halnya ketika pertolongan ALLOH datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuannya bersenang-senangnya bersama ALLOH malah menghilang.

Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusu, tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarrub kepada ALLOH sebagai bentuk ungkapan rasa syukur.
Ketika berwudhu, misalnya, ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat.

Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Quran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat, dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidakikhlasan ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.
Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqamah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan ALLOH. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini.

Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikannya adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak? Orang-orang yang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus.

Maka, bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada ALLOH saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, “Bismilahirrahmanirrahiim, ya ALLOH semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan”. Lisannya yang bening senantiasa memuji ALLOH atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada ALLOH.

Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh [maaf!] pantat di kursi. Tidak usah heran bila suatu saat ALLOH memberi peringatan dengan sakit ambaien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang ALLOH karuniakan kepada kita.

Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa ALLOH-lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya.

Kalau membeli sesuatu, perhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena ALLOH. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena ALLOH. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada tiga jenis,
1) Kendaraan untuk ALLOH,
2) Kendaraan untuk setan,
3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk ALLOH. Tapi kalau sekedar untuk pamer, ria, ujub, maka inilah kendaraan untuk setan.
Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misakan kuda dipelihara, dikembangbiakan, dipakai tanpa niat, maka inilah kendaran untuk diri sendiri.

Pastikan bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena ALLOH. Karenanya bermohon saja kepada ALLOH, “Ya ALLOH saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah”. Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka, bensinnya, tempat duduknya, shockbreaker-nya, dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya ALLOH. Sebaliknya jika digunakan untuk maksiyat, maka kita juga yang akan menanggungnya.

Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkanya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat hati sudah meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, “Ya ALLOH saya ingin tahajud, bangunkan jam 03. 30 ya ALLOH”. Weker pun diputar, istri diberi tahu, “Mah, kalau mamah bangun duluan, bangunkan Papah. Jam setengah empat kita akan tahajud. Ya ALLOH saya ingin bisa bersujud kepadamu di waktu ijabahnya doa”. Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud.

Sayangnya, ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena ia masih kebagian pahalanya. Bagi orang yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh ALOH, maka kalau ia sudah bertekad, ALLOH pasti akan memberikan pahalanya. Mungkin ALLOH tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras banyak tenaga. ALLOH Mahatahu apa yang akan terjadi, ALLOH juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya ALLOH-lah yang menidurkan kita dengan pulas.
Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah. ***

Read More..