Sunday, November 8, 2009

Kecil Tapi Berarti


Seringkali kita berpikir bahwa untuk menjalani kehidupan yang benar-benar istimewa, kita harus melakukan tindakan besar atau prestasi hebat yang akan membuat kita dikenal orang dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Ternyata... hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Justru sebaliknya, hidup yang penuh makna akan diperoleh dari serangkaian tindakan sehari-hari yang baik, yang meski terkesan sepele, tapi justru menambahkan sesuatu yang sungguh hebat bagi jalan kehidupan.

Sadarilah, setiap peristiwa yang kita hadapi setiap hari, pastilah atas skenario dari Tuhan, oleh karenanya, setiap orang yang memasuki kehidupan kita pasti memunyai satu pelajaran untuk disampaikan atau satu kisah untuk diceritakan. Atau bisa jadi, setiap orang yang pada suatu waktu Anda temui atau menghiasi hari-hari Anda, mengisyaratkan adanya suatu kesempatan pada kita untuk menunjukkan kebaikan-kebaikan kita yang menegaskan kemanusiaan kita.



Mengapa tidak kita ciptakan lebih banyak makna bagi kehidupan kita melalui hal-hal kecil yang bisa kita sampaikan pada orang-orang di sekitar kita. Saya pikir, jika hari ini kita membuat satu orang tersenyum atau kita bisa mencerahkan suasana hati orang lain, maka hari kita akan menjadi hari yang bermanfaat. Karena betapapun sangat sederhananya, kebaikan, adalah biaya yang harus kita bayar atas kesempatan yang kita peroleh untuk bisa hidup di bumi ini.

Marilah kita tantang diri kita untuk lebih kreatif dalam menunjukkan kebaikan kepada orang-orang di sekitar kita. Mungkin dengan menawarkan tempat duduk kita di angkutan umum kepada seseorang yang lebih membutuhkannya (hal ini sangat klise, tapi selalu saja membuat orang lain senang menerimanya...), mungkin dengan memberi ucapan "selamat pagi...", "terima kasih dan selamat menjalankan tugas" kepada petugas pom bensin ketika selesai mengisi bensin atau petugas pintu tol ketika membayar tol. Mungkin dengan menjadi orang pertama yang memberikan salam atau sapaan kepada petugas satpam di tempat kita bekerja. Semuanya merupakan hal-hal kecil tapi merupakan hal-hal yang luar biasa untuk mengawalinya.

Suatu waktu, saya pernah diberi hadiah bingkisan yang isinya ikan asin oleh seorang alumnus pelatihan saya, saya begitu senang dan terharu atas perhatian yang diberikannya itu. Sungguh, saya tidak melihat isi dari hadiah itu, tapi saya merasakan kesungguhan dia dalam memberikan hadiah tersebut. Saya juga orang biasa, yang cenderung merasa senang kalau diberikan sesuatu, Anda juga pasti merasakan hal yang sama. Maka, senangkanlah orang-orang di sekitar Anda,
dengan memberikan sesuatu, meskipun hal-hal yang kecil...
Read More..

MENAJAMKAN NURANI


Dalam perspektif Islam, setiap manusia cenderung berada dalam fitrah keberagamaan.

Hal itu berbentuk kesadaran tentang keterbatasan diri, sekaligus ketergantungan kepada sesuatu di luar dirinya, khususnya kepada yang gaib. Keterbatasan ini pengantar manusia untuk patuh kepada yang gaib. Fitrah ini sejatinya bersifat
al-hanafiyah al-samhah, yang selalu mengajaknya bersikap dan berperilaku luhur.
Fitrah ini melekat pada kedirian manusia sejak lahir hingga maut menjemputnya.

Persoalannya, tidak setiap manusia mau atau dan mampu merasakan getaran-getaran
fitri ini. Realitas menunjukkan, dari hari ke hari, perbuatan banyak manusia—khususnya umat Islam Indonesia—tidak mencerminkan nilai-nilai keberagamaan luhur, tetapi justru bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai kemanusiaan hakiki.

Kehidupannya dipenuhi angkara murka dan kebejatan. Jika binatang menerkam mangsanya sekadar untuk mempertahankan hidup atau karena kehidupannya terancam, manusia yang tidak merasakan getaran kefitrahan ini menghabisi—dalam pengertian luas—manusia lain lebih didorong keserakahan dan ketamakan, yang sulit terpuaskan sampai kapan pun.


Untuk mengumbar nafsunya, manusia tanpa getaran nilai-nilai agama itu bisa melakukan apa saja. Mereka bisa menampakkan diri sebagai pengkhotbah, berbicara tentang etik-moralitas kejujuran, solidaritas sosial, dan sejenisnya, tetapi senyatanya mereka adalah penghancur nilai-nilai itu. Mereka juga bisa menahbiskan diri sebagai wakil rakyat, ke mana-mana mengaku memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, pada saat yang sama, mereka mengeruk uang rakyat, memakan uang haram, dan jika mungkin menghabiskan kekayaan negeri ini. Manusia semacam ini juga bisa berkeliaran di dunia pendidikan. Melalui pendidikan, bukan kecerdasan dan pemberdayaan rakyat yang dilakukan. Mereka berkutat di dunia akademis sekadar menutupi nafsu kekuasaannya.

Jelasnya, manusia dengan nurani keberagamaan yang tumpul telah menyesaki ruang
publik kita. Mereka ada di mana-mana, di sekitar kita, atau—bisa-bisa— kita tanpa menyadari telah memetamorfosis menjadi manusia seperti itu; manusia yang diperbudak oleh nafsu.

Asah nurani

Tumpulnya fitrah keberagamaan pada manusia semacam itu, salah satunya, berpulang pada keengganan mereka untuk mengasah nurani. Kepenganutan agama yang seharusnya diarahkan untuk mencerdaskan kedirian (spiritual, emosional, dan intelektual) direduksi—sadar atau tidak—sekadar menjadi tradisi yang membatu.
Agama yang seharusnya mendewasakan manusia dibiaskan sebagai tameng diri yang berproses mengerdilkan jiwa; mereka meletakkannya sebagai kompensasi dosa-dosanya. Seperti anak kecil, karena—misalnya— sudah mau sikat gigi, lalu merengek-rengek minta dibelikan permen. Karena sudah shalat dan menjalankan perintah agama yang lain, mereka merasa "berhak" melakukan korupsi, menggerogoti uang negara dan rakyat, atau melakukan perbuatan munkarat lainnya.

Mereka tidak menjadikan ritual agama, semacam shalat dan puasa, sebagai proses dialog intens dengan Sang Pencipta untuk menelanjangi diri, dan sebagai bentuk
kepatuhan untuk menjalankan ajarannya dan menjauhi dosa-dosanya, terutama dosa
sosial yang nilainya jauh lebih berat dari dosa yang privat.

Mereka tidak menjadikan agama sebagai dasar untuk membangun kehidupan yang lebih baik bukan hanya di akhirat, tetapi di dunia ini dalam berbagai dimensi, terutama di ranah publik dari ekonomi, sosial, politik, hingga pendidikan.

Kondisi ini akan membuat agama kehilangan viabilitasnya. Klaim bahwa bangsa ini
taat beragama bisa-bisa menjadi bumerang yang menghancurkan, jika tidak sekarang mungkin kelak pada masa datang. Karena itu, pengembalian peran agama kepada ranahnya tak perlu diperdebatkan lagi. Artinya, signifikansi rekonstruksi keberagamaan menjadi mutlak dilakukan.

Pengendalian diri

Puasa—dan tidak bisa ditunda lagi—niscaya dikembangkan sebagai momen ke sana.
Puasa sebagai ikon pengendalian diri sekaligus pengembangan moralitas luhur—kejujuran, solidaritas sosial, dan sejenisnya—perlu dilabuhkan dalam kehidupan dan diformulasi sebagai dasar pengembangan sistem yang dapat merawat kelangsungan bangsa.

Tahun lalu kita telah berpuasa. Dua tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, kita
juga berpuasa. Namun, kenyataan kehidupan di sekitar kita tetap morat-marit.
Bangsa ini tetap terpuruk dalam megapersoalan, dari korupsi yang menjangkiti elite hingga politik yang penuh fitnah yang nyaris menjadi tradisi para politisi. Semua ini menunjukkan, kita hanya puasa sebatas lahir. Karena itu, Ramadhan ini harus dijadikan puasa holistik yang mampu menajamkan nurani.
Dengan ketajaman nurani, kita akan merasa risi melakukan hal-hal yang syubhat, yang tidak jelas nilai keluhurannya, apalagi yang jelas merugikan rakyat dan negara.

Abd A'la Guru Besar; Pembantu Rektor 1 IAIN Sunan Ampel, Surabaya
Read More..

FENOMENA HAJAR ASWAD


Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, di berkata : “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?.”
Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada asalan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.


Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.
Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.
Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah musium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut ( dari Ka’Bah ) dan pihak musium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda, “Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam. (Jami al-Tirmidzi al-Hajj (877))
***



Read More..

Hidup adalah pilihan


Ketika suatu saat ada yang menanyakan kepada kita, “untuk apa anda hidup?”, apa yang akan kita jawab pasti berbeda dengan orang lain, setiap orang akan punya jawaban sendiri-sendiri, ada yang menjawab “ingin kaya”, “ingin mendapat jabatan”, “ingin berfoya-foya dan bersenang-senang”, dan lainnya. Kita punya alasan sendiri dengan jawaban kita yang kita berikan.

Setiap manusia yang terlahir ke bumi ini, dari mulai ia masih dalam bentuk sperma dan ovum, yang kemudian terjadi proses pembuahan di dalam rahim sang ibunda, kemudian menyatu dan semakin lama sel itu terus membelah, dari dua menjadi empat, kemudian menjadi delapan, menjadi enam belas dan terus membelah hingga akhirnya terbentuklah embrio dengan melalui proses morulla, blastula, gastrula (betul ga yah..??), hingga sembilan bulan lamanya ibunda tercinta mengandung embrio yang kemudian menjadi bentuk manusia yang sangat unik yang sering kita sebut “bayi”, yang akhirnya terlahir ke muka bumi dengan perjuangan keras antara hidup dan mati sang ibunda.

Benarkah kita terlahir sebagai seorang pemenang? kalau jawabnya ya, lalu kenapa masih banyak orang yang berputus asa, mengapa masih banyak orang hilang semangat hidupnya seakan tak ada lagi harapan. Apa makna yang terkandung dalam kata pemenang itu sendiri, apakah dengan banyaknya harta, jabatan atau yang selalu membuat kita puas.

pernahkah kita merenungkan kejadian dalam hidup kita? coba kita flash back tentang bagaimana saat ini kita bisa berada di bumi ini, ketika jutaan sperma, bayangkan!!! jutaan sperma, bukan lagi 10, 20,100 semacam lomba yang kita sering ikuti, sekali lagi jutaan sperma yang berjuang berlomba untuk dapat membuahi satu sel telur, hanya satu sel telur, dan di antara jutaan sperma itu adalah kita yang juga ikut berlomba. Tapi percayakan anda, bahwa andalah yang berhasil memenangkan persaingan itu, andalah yang berhasil membuahi sel telur itu, hingga lahirlah anda yang saat ini.

ya, kita adalah pemenang dalam hidup kita, layaknya sebuah permainan sepak bola maka kita yang menjadi pemainnya, kita yang menentukan akan di bawa ke mana permainan kita, kitalah yang mencetak goal, bukan orang lain yang hanya menonton dan menyoraki setiap permainan kita, lalu pertanyaanya, seberapa besar pengaruh penonton dalam setiap permainan kita, mungkin banyak yang akan terus menyemangati kita, tapi tak sedikit yang terus dan terus menyudutkan kita, mencoba membuat permainan kita tidak stabil.


seperti itulah hidup, bagai permainan sepak bola, ada pemain, ada penonton atau ada yang sama sekali tidak dalam kategori keduanya, atau bisa disebut tidak mian dan tidak juga nonton. Mau jadi apa kita, menjadi pemainkah, yang mampu menggiring bola mendekati gawang dan kemudian menggoalkannya, atau menjadi seorang penonton yang hanya mampu berteriak menyoraki setiap kejadian dalam permainan itu, tapi tak bisa menggiring apalagi menggoalkan bola, atau bahkan kita hanya mau menjadi orang yang tidak melakukan apapun dan tidak akan menghasilkan apapun.

Teman, ketika kita menjadi pemain, maka wajarlah ketika kita harus terjatuh, kemudian luka dan sebagainya, itulah risiko yang akan kita dapatkan ketika kita menjadi seorang pemain. Sesungguhnya, kegagalan itu tidan ada dalam kamus kehidupan sang pemenang, tapi yang ada adalah pelajaran, ketika seorang thomas alfa edison terus mengalami percobaan untuk membuat bola lampu, hingga hampir seribu kali ia belum berhasil, bayangkan kalau seandainta pada percobaan ke sepuluh ia sudah berputus asa untuk tidak melanjutkan perobaannya, maka tak akan kita rasakan terangnya lampu di rumah kita. Kawan, ketika kita berhenti karena sebuah tantangan yang kita hadapi, maka sebatas itulah kemampuan kita, bukan bisa atau tidak bisanya kita menjadi seorang pemenang ketika kita bermain, tapi masalahnya adalah mau atau tidak mau kita berusaha untuk menjadi pemenang.

Hidup itu adalah pilihan setiap harinya, semangatkah yang ada dalam diri kita ataukah kelemahan yang senantiasa ada dalam menemani hari-hari kita, itu semua adalah pilihan. Apakah ketika kita tidak semangat, kita hanya akan menunggu ada orang yang akan menyemangati dan memotivasi kita? sebenarnya motivasi bukan dari orang lain, orang lain hanya mampu menyampaikan sesuatu kepada kita, tetapi motivasi itu ada dalan diri kita yang sering kita sebut “self motivation”. Sebesar apapun masalah yang sedang kita hadapi, jangan sampai kita kalah oleh keadaan, semua pasti ada jalannya, kalaupun hari ini kita menjadi orang yang murung karena masalah yang sedang kita hadapai, apakah masalah itu akan selesai dengan kita murung? apakah masalah akan selesai dengan kita marah? jawabannya..TIDAK!!! apalagi kalau kita harus lari dari masalah, itu semua tidak akan menjadikan kita keluar dari masalah, tapi justru membuat semuanya semakin parah. Semuanya pilihan…kembali kepada kita, yang mana yang akan kita pilih.

Kawan, jadilah sang pemain yang punya kemauan untuk terus berusaha hingga akhirnya kita mampu menjadi seorang pemenang, jangan pernah kalah oleh keadaan, jadilah orang yang mampu membuat keadaan menjadi lebihbaik dan luarbiasa.

Ingat!!! Jangan menunggu motivasi dari orang lain, motivasilah diri sendiri sehingga kita mampu memotivasi orang lain akhirnya.

Senantiasa tersenyum dan bakarlah semangat….
Read More..