Wednesday, April 11, 2012

Pembangun untuk rakyat ?

Minggu lalu saya berkunjung kerumah famili di daerah Bekasi. Dia seorang guru SD yang jujur dengan penghasilan pas pasan. Kesederhanaan sikapnya didukung oleh sang istri yang giat membantu kebutuhan biaya rumah tangga. Sudah lebih 15 tahun istri berdagang kelontongan dan kebutuah hati hari didepan rumah. Hasilnya , mereka dapat menyekolahkan anaknya dan hidup sejahtera. Tapi kini keadaan itu menjadi berubah. Sudah empat tahun kehidupan rumah tangganya terganggu karena usaha yang menjadi tumpuan hidup keluarganya mulai kehilangan darah untuk bertahan. Hal ini disebabkan karena munculnya usaha ritel modern disekitar tempat tinggalnya. Seperti IndoMart, jaya Mart dll. Dia kalah bersaing karena usaha ritel modern ini didukung oleh pasokan barang langsung dari distributor yang tentu dapat mensual harga dengan murah. Sementara dia mendapatkan barang dagangan dari pedagang besar yang ada di pusat perdagangn tradiciona. Ditambah lagi outlet ritel yang modern, yang tentu lebih nyaman untuk pelanggan. Dari segala sisi , pedagang tradicional ini tak mampu bersaing dengan kehadiran outlet network modern ini.

Sekarang kalaupun ada yang berbelanja ketempatnya ,itupun karena mereka ingin berhutang. Maklum outlet ritel modern tidak menawarkan hutang. Semua harus tunai. Yang seperti famili saya ini , ungkin ada ribuan atau jutaan banyak dinegeri ini. Mereka yang tumbuh alami untuk memperkuat basis kehidupan keluarga , akhirnya tersungkur dalam ketak berdayaan. Ditelan oleh pemodal besar.

Dilain pihak posisi pasar tradicional yang tadinya mendukung pengadaan barang untuk pedagangn eceran dirumah rumah , juga mengalami nasip serupa. Tersungkur karena kehadiran pusat perbelanjaan modern berskala raksasa ( hypermarket ), seperti Carrefour. Juga munculnya Mall disetiap kabupaten yang kadang kala tidak berjauhan dengan pusat perdagangn tradicional. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua Pusat perdangan tradisonal mengalami omset menurun ketika kehadiran Mall modern.

Keliatannya ada sesuatu yang salah dalam kebijakan pembangunan ekonomi khususnya yang berkaitan dengan perbedayaan usaha kecil dan informal. Berdasarkan undang undang jelas sekali bahwa Mall tidak dibenarkan berdiri berjarak dibawah 2,5 km dari pusat perdangan tradisional tapi mengapa ini dilanggar. Alasannya karena DepDag hanya memberikan izin usaha tapi tidak mengatur mengenai izin lokasi. Karena izin lokasi hak penuh dari PEMDA. Anehnya antara satu peraturan dengan peraturan lain berseberangan dalam pilosopi peraturan itus sendiri. Masalah ini hampir terjadi disemua sector. Secara makro kebijakan sector riel sangat semrawut dan akhirnya melahirkan masalah moneter tambal sulam. Dan rakyat sebagai target pembangunan menjadi bulan bulanan kebijakan yang tak pernah jelas berpihak untuk rakyat.

Kita langsung disadarkan dengan pendapat dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang (seharusnya) "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).

Asumsi Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas, dan disinilah rumitnya.

Akibat keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, adakah upaya untuk membuka kanal-kanal terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada? Jika pembangunan mall , perizinan out ritel raksasa , yang merambah keseluruh wilayah sampai ke kabupaten sebagai indicator maka tentu jawabannya adalah TIDAK.
/by Erizeli Bandaro

Read More..

KEBERSAMAAN

Ketika BBM naik , para supir angkutan umum menuntut kenaikan tariff. Karena mereka adalah pihak yang pertama terkena pengaruh langsung atas kenaikan BBM. Hasilnya ongkos naik sebesar 20-40 %. Kemudian para PEtani melakukan demo atas Impor beras yang berpengaruh terhadap harga jual produk petani. Yang tentu akan mengurangi pendapatan mereka. Nah, Sekarang Para Pekerja dan Buruh menuntut kenaikan upah/ gaji. Dilain pihak pengusaha yang diharapkan untuk memenuhi masalah upah ini , juga sedang diradang masalah kenaikan biaya produksi karena ongkos produksi naik , disebab meningkatnya biaya BBM , Bunga Bank dan selisih kurs.

Ketika kebijakan penghapusan subsidi BBM , mungkin masalah ini terkaburkan oleh pemerintah. Pemerintah lebih memfokuskan pada persoalan budget dan pertumbuhan ekonomi. Implikasi negative terhadap kebijakan itu , nampak terabaikan. Namun kini barulah terasa berbagai ekses negative yang timbul dari kebijakan tersebut. Keadaan yang apabila menyangkut buruh maka sangat beresiko terhadap stabilitas politik nasional. Penyelesaian masalah UMR tidak bisa bisa diandalkan untuk menyelesaikan persoalan ini secara terintegrasi. Ada pengusaha , Karyawan dan variable lain yang ikut mempengaruhi sebagai akibat kesalahan pengelolaan sector moneter dan fiscal.

Situasi ini seharusnya dijadikan momentum oleh pengusaha untuk menempatkan para buruh sebagai mitra perusahaan dalam arti yang sesungguhnya. Dengan demikian , keberadaan perusahaan yang sedang dilanda masalah ongkos yang tinggi dapat diselesaikan secara kemitraan dengan karyawan. Soal UMR hanyalah satu sisi persoalan yang dihadapi buruh dan perusahaan. Soal upah buruh, tidak selesai dengan kenaikan UMR semata. Akan tetapi, mengharapkan pengusaha menaikkan UMR yang lebih tinggi, juga membebani.

Tersebutlah chief executive officer Chrysler (perusahaan otomotif AS), Iee Iacocca. Yang tampil sangat bertentangan dengan hokum Kapitalis amerika. Dia melibatkan buruh secara langsung dalam menyelesaikan krisis keuangan Chyisler. Serikat buruh ditempatkan sebagai mitra dengan kedudukan sebagai direktur di perusahaan. Selanjutnya kekuatan dalam kebersamaan buruh ini digunakan oleh Lee Iacocca untuk melobi pemerintah Amerika agar memberikan perlindungan chrysler dari kebangkrutan. Hasilnya belakangan terbukti Lee Iacocca suskses membuat Chrysler keluar dari crisis dan menjadi industri omototive yang efisien dan efektif meraih laba.

Saya kira kita bisa mengambil semangat dari tindakan Iacocca itu. Atau bila perlu hubungan perusahaan dengan buruh dinormatifkan. Tujuannya, agar buruh benar-benar yakin dan mengerti soal kondisi perusahaan. Membuat buruh mengerti, tidak bisa dengan hanya mengeluarkan ucapan semata. Selain membuat buruh mengerti, antara lain diyakinkan bahwa perusahaan tidak bisa menaikkan gaji, di dalam keada-an bisnis cerah tentunya tuntutan buruh juga harus didengar atau penyesuaian gaji dilakukan secara fair.

Selain merangkul buruh, secara nasional juga sebenarnya persoalan kesejahteraan buruh harus dipikirkan. Jamsostek sebagai lembaga penjamin aspek sosial ketenagakerjaan, harus dibuat berpaling 100 persen. Jika sebelumnya Jamsostek hanya dijadikan sebagai perusahaan sumber duit untuk pembiayaan bisnis konglomerat, kini harus benar-benar berpaling untuk memikirkan nasib para buruh. Apa sih yang dilakukan Jamsostek pada buruh, terutama selama krisis ekonomi berlangsung. Jadi jangan pengusaha saja yang dianggap bajingan dan dijadikan bulan-bulanan. Sistem pengamanan kepentinan buruh juga harus diperhatikan, terutama dengan memanfaatkan lembaga semacam Jamsostek.

Jamsostek bukan saatnya lagi dikelola oleh pemerintah, tetapi harus ditangani perusahaan swasta dan didampingi perwakilan buruh. Tujuannya agar misinya tidak lagi dibuat melenceng seperti selama ini. Kita bertanya, apakah selama rentetan pemutusan hubungan kerja (PHK) berlangsung Jamsostek mengeluarkan duit, atau kalau ya, berapa yang sudah dikeluarkan dan berapa perbandingannya dengan kontribusi buruh.

Disamping itu , hal yang juga sangat berperan membuat sector dunia usaha sulit berkembang dan berkompetisi adalah soal korupsi. Berbagai pungutan yang menghinggapi pengusaha termasuk di daerah-daerah masih mencuat. Ada fenomena gunung soal korupsi, pungli, dan praktik manipulasi lainnya. Di permukaan tak terlihat, dan sulit dibuktikan, tetapi praktiknya merajalela. Saya ambil contoh perpajakan. Aparat pajak malah sering menggoda perusahaan agar tidak usah melaporkan pendapatan kena pajak yang sebenarnya. Tujuannya agar pendapatan kena pajak itu dibagi-bagikan saja kepada aparat pajak. Pernah pengusaha melaporkan atau memrotes hal seperti itu, pengusaha malah dibantai di akhir tahun, saat melaporkan keuangannya yang layak dikenai pajak. Permainan pajak itu tergolong brutal kok. Anehnya, di negara ini pelaporan seperti itu tidak mendapatkan perlindungan. Malah kalau kita lapor yang benar, kita dibuat susah. You mesti bayar lebih lagi kalau membuat aparat pajak berang. Susahlah! Demikian juga pungli lain dari instansi pemerintah lainnya, juga merajalela minta ampun, hingga sekarang. Kalau semua itu bisa dibenahi, alokasi pendapatan perusahaan untuk kepentingan para buruh akan bisa dinaikkan lagi.

Jadi dengan kegagalan pemerintah mengendalikan inflasi sebagai akibat dari lemahnya kebijakan makro dan lemahnya system pengawasan serta penerapan hukum, maka seyogia disikapi oleh kita semua ( walau terpaksa ) termasuk para buruh dan pengusaha untuk survive dalam semangat kebersamaan. TErmasuk memerangi Korupsi. Pengusaha akan lebih berani melawan pemerintah yang korup bila rakya/buruh dibelakang mereka. Bila besok ada demo ,maka tidak hanya buruh yang turun kejalan tetapi juga seluruh jajaran direksi dan pemegang saham turun kejalan. Kalau sudah begini pemerintah tidak bisa lagi main main dengan ulah semau gue nya. Tapi apakah ini mungkin…entah lah. Semoga saja.

/Erizeli Bandaro

Read More..

Akhlak Mulia pada Istri Tercinta

Oleh Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.

Alhamdulillahi wahdah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah…
Prolog
“Masya Allah, akhlak pak anu bagus banget lho!” kata seorang bapak-bapak ‘mempromosikan’ rekan kerjanya.
“Buktinya apa pak?” tanya lawan bicaranya.
“Kalau di kantor ia ramah banget, apalagi kalo sedang berhadapan dengan bosnya!” jawabnya.
“Wuih, bu anu akhlaknya baik banget!” komentar seorang ibu-ibu tatkala membicarakan salah satu tetangganya.
“Darimana ibu tau?” tanya temannya.
“Itu lho jeng, kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!” sahutnya.
Begitulah kira-kira cara kebanyakan kita menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang. Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja kurang jeli. Sebab, sangat memungkinkan sekali seseorang itu memiliki dua akhlak yang diterapkannya pada dua kesempatan yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi tidak demikian di tempat yang lain. Itu tergantung kepentingannya.
Lantas, bagaimanakah Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang itu? Tulisan berikut berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut.
Islam Agama Akhlak
Di antara tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain untuk menegakkan tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dengan gamblang dalam sabda beliau,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani).
Sedemikian besar perhatiannya terhadap perealisasian akhlak, Islam tidak hanya menjelaskan hal ini secara global, namun juga menerangkannya secara terperinci. Bagaimanakah akhlak seorang muslim kepada Rabb-nya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada hewan dan tetumbuhan sekalipun!
Di antara hal yang tidak terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau dengan kata lain: sisi apakah yang bisa dijadikan ‘jaminan’ bahwa seseorang itu akan berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak mulia pada sisi yang satu itu?
Barometer Akhlak Mulia
Panutan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan permasalahan di atas dalam sabdanya,
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan al-Albani menilai hadits tersebut sahih).
Hadits di atas terdiri dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia. Kedua, tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut.
Dalam kaitan dengan hal di atas, penulis berusaha sedikit mengupas dua bagian tersebut di atas semampunya:
Pertama: Mengapa berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak, dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?
Sekurang-kurangnya, wallahu a’lam, ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut [disarikan dari kitab al-Mau'izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79)]:
a. Sebagian besar waktu yang dimiliki seseorang dihabiskan di dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andaikata seseorang itu bisa bersandiwara dengan berakhlak mulia di tempat kerjanya –yang itu hanya memakan waktu beberapa jam saja- belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya di rumahnya sendiri. Dikarenakan faktor panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk ‘bersandiwara’. Justru yang terjadi, saat-saat itulah terlihat akhlak aslinya.
Ketika bersandiwara, bisa saja dia membuat mukanya manis, tutur katanya lembut dan suaranya halus. Namun, jika itu bukanlah watak aslinya, dia akan sangat tersiksa dengan akhlak palsunya itu jika harus dipertahankan sepanjang harinya.
Kebalikannya, seseorang yang memang pembawaan di rumahnya berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan mempraktekkannya di manapun berada.
b. Di tempat kerja, ia hanyalah berposisi sebagai bawahan, yang notabenenya adalah lemah. Sebaliknya, ketika di rumah ia berada di posisi yang kuat; karena menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan posisi tersebut tentunya sedikit-banyaknya berimbas pula pada sikapnya di dua alam yang berbeda itu.
Ketika di kantor, ia musti menjaga ‘rapor’nya di mata atasan. Hal mana yang membuatnya harus berusaha melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Meskipun untuk itu ia harus memoles akhlaknya untuk sementara waktu. Itu tidaklah masalah. Yang penting karirnya bisa terus menanjak dan gajinya pun bisa ikut melonjak.
Adapun di rumah, di saat posisinya kuat, dia akan melakukan apapun seenaknya sendiri, tanpa merasa khawatir akan dipotong gajinya ataupun dipecat.
Demikian itulah kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Lalu, bagaimanakah halnya dengan orang yang berakhlak mulia karena Allah? Ya, dia akan terus berusaha merealisasikannya dalam situasi dan kondisi apapun, serta di manapun ia berada. Sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha melihat dan Maha mengetahui.
Kedua: Beberapa potret kemuliaan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keluarganya.
Sebagai teladan umat, amatlah wajar jika praktik keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja lautan kemuliaan akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam lembaran-lembaran tipis ini. Oleh karena itu, di sini kita hanya akan menyampaikan beberapa contoh saja. Hal itu hanya sekadar untuk memberikan gambaran akan permasalahan ini.
Turut membantu urusan ‘belakang’.
Secara hukum asal, urusan dapur dan tetek bengek-nya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Dan ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (H.R. Ibnu Hibban).
Subhanallah! Di tengah kesibukannya yang luar biasa padat berdakwah, menjaga stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi ekonomi umat dan lain-lain, beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah oleh banyak suami di zaman ini! Andaikan saja para suami-suami itu mau mempraktekkan hal-hal tersebut, insyaAllah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.
Berpenampilan prima di hadapan istri dan keluarga.
Berikut Aisyah, salah satu istri Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menyampaikan pengamatannya;
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ”
“Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak.” (H.R. Muslim).
Bersiwak ketika pertama kali masuk rumah??! Suatu hal yang mungkin tidak pernah terbetik di benak kita. Tetapi, begitulah cara Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam menjaga penampilannya di hadapan istri dan putra beliau. Ini hanya salah satunya lho! Dan beginilah salah satu potret kemuliaan akhlak Rasulullah kepada keluarganya.
Tidak bosan untuk terus menasehati istri dan keluarga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”
“Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri.” (H.R. Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani).
Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya. Agar mimpi buruk itu tidaklah terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangannya.
Epilog
Semoga tulisan sederhana ini bisa dijadikan sebagai salah satu sarana instrospeksi diri –terutama bagi mereka yang menjadi panutan orang banyak, seperti: da’i, guru, ustadz, pejabat dan yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas muamalah para panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing.
Jika sudah demikian, berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi qudwah luar maupun dalam. Wallahu a’la wa a’lam.

Read More..

Kisahku khatam Al Qur'an

Usia saya menjelang kepala 4. Jika merujuk ke pengalaman junjungan kita Nabi Muhammad SAW, maka kemungkinan “tinggal” 20 tahunan lagi saya beredar di dunia ini. Namun, dengan usia sematang itu, untuk menghitung berapa kali saya khatam Al-Qur’an seumur hidup saya ini, rasanya lima jari saya tidak habis. Duh…malunya. Semoga Allah SWT mengampuni saya dan memberi saya kesempatan memperbaiki diri…..

Semuanya berawal dengan “idealisme” saya, atau tepatnya…kesombongan saya bahwa saya ingin katham Qur’an sekaligus dengan terjemahannya. Keinginan yang menurut saya wajar karena saya tidak bisa berbahasa Arab. Berbagai saran langsung maupun via e-mail yang saya terima tentang bagaimana caranya khatam Al-Qur’an dalam satu tahun saya abaikan, karena umumnya hanya mengutamakan selesai membaca Qur’an tapi memahami artinya menjadi tujuan kedua.

Saya kemudian menciptakan strategi sendiri. Saya mulai dengan membiasakan membawa Al-Qur’an mini ke manapun saya pergi. Saya letakkan Al-Qur’an tersebut di handbag saya, dengan asumsi jika ia dekat dengan saya maka kapanpun saya mau (atau tepatnya … in the mood) saya bisa membacanya segera. Namun nyatanya strategi ini tidak dapat memuaskan keinginan saya untuk membaca dan memahami artinya sekaligus, karena dalam Al-Qur’an berukuran mini ini tentunya tidak memungkinkan memuat juga terjemahannya. Belum lagi karena ukurannya mini, maka otomatis aksara Arab yang tertulis juga berukuran mini. Akibatnya mata cepat lelah, ditambah alasan tidak masuk akal lainnya seperti sibuk, malas, dll, dst, maka membaca satu ‘ain saja sudah dapat saya anggap “achievement”.

Strategi lain adalah membuat acara rutin tadarus dengan suami saya saat kami tiba di rumah, menjelang tidur malam. Saat itu, sekaligus dalam rangka melatih kemampuan berbahasa Inggris, kami merujuk pada Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa asing tersebut. Pikir saya, sambil menyelam minum air nih….Kami berdua bergantian membaca Al-Qur’an masing-masing sepanjang satu ‘ain lalu bergantian membaca terjemahan bahasa Inggrisnya….Strategi ini ternyata lebih parah, karena tidak membuat saya bertahan dengan keinginan khatam Al-Qur’an. Akhirnya kami berjalan dengan strategi masing-masing. Suami saya lanjut dengan caranya sendiri membaca Al-Qur’an selepas sholat tahajud yang dilakukannya menjelang adzan subuh. Ini juga kebiasaan yang seringkali membuat saya iri, karena di saat ia sholat dan mengaji, saya biasanya masih terlelap di peraduan. “Gak enak mau bangunin, kayaknya tidurnya pules banget, capek ya…” begitu biasanya jawaban suami saya, jika suatu waktu saya minta dibangunkan untuk bisa sholat tahajud berjamaah dengannya.

Pencarian strategi jitu ini akhirnya berakhir saat saya terima e-mail berbahasa Inggris dari seorang teman kantor yang isinya sbb:

Why do we read Quran, even we can't understand Arabic?
An old American Muslim lived on a farm in the mountains of eastern Kentucky with his young grandson. Each morning Grandpa was up early sitting at the kitchen table reading his Qur'an. His grandson wanted to be just like him and tried to imitate him in everyway he could. One day the grandson asked, "Grandpa, I try to read the Qur'an just like you but I don't understand it, and what I do understand I forget as soon as I close the book. What good does reading the Qur'an do?"
The Grandfather quietly turned from putting coal in the stove and replied, "Take this coal basket down to the river and bring me back a basket of water." The boy did as he was told, but all the water leaked out before he got back to the house. The grandfather laughed and said, "You'll have to move a little faster next time," and sent him back to the river with the basket to try again. This time the boy ran faster, but again the basket was empty before he returned home. Out of breath, he told his grandfather that it was impossible to carry water in a basket, and he went to get a bucket instead. The old man said, "I don't want a bucket of water; I want a basket of water. You're just not trying hard enough," and he went out the door to watch the boy try again. At this point, the boy knew it was impossible, but he wanted to show this grandfather that even if he ran as fast as he could, the water would leak out before he got back to the house. The boy again dipped the basket into river and ran hard, but when he reached his grandfather the basket was again empty. Out of breath, he said, "See Grandpa, it's useless!"
"So you think it is useless?" The old man said, "Look at the basket." The boy looked at the basket and for the first time realized that the basket was different. It had been transformed from a dirty old coal-basket and was now clean, inside and out. "Son, that's what happens when you read the Qur'an. You might not understand or remember everything, but when you read it, you will be changed, inside and out. That is the work of Allah (SWT) in our lives."

(Mengapa kita membaca Al-Quran, bahkan kita tidak mengerti bahasa Arab?
Seorang kakek di Amerika tinggal di sebuah pertanian di pegunungan bagian timur Kentucky dengan cucu lelakinya yg masih muda. Setiap pagi Kakek bangun lebih awal duduk di meja dapur membaca Qur'an-nya. Cucu nya ingin sekali menjadi seperti kakeknya dan mencoba untuk menirunya dalam everyway dia bisa. Suatu hari sang cucu bertanya, "Kakek, aku mencoba untuk membaca Qur'An seperti yang kamu lakukan tetapi aku tidak memahaminya, dan apa yang aku pahami aku lupakan secepat aku menutup buku. Apa sih kebaikan dari membaca Qur'an ' sebuah lakukan? "
Kakek dengan tenang berpaling dari meletakkan batubara di tungku dan menjawab, "Ambil ini keranjang batubara turun ke sungai dan bawakan aku kembali sekeranjang air." Maka sang cucu melakukan seperti yang diperintahkan kakek, tetapi semua air habis menetes sebelum tiba di depan rumah. Kakek tertawa dan berkata, "Anda harus bergerak sedikit lebih cepat lain kali," Maka ia menyuruh cucunya kembali ke sungai dengan keranjang untuk mencoba lagi. Kali ini anak itu berlari lebih cepat, tapi sekali lagi keranjang itu kosong sebelum ia kembali ke rumah. Kehabisan napas, dia mengatakan kepada kakeknya bahwa tidak mungkin membawa air dalam keranjang, dan ia cucu mengambil ember sebagai gantinya. Orang tua itu berkata, "Aku tidak ingin seember air, aku ingin sekeranjang air Kamu hanya tidak berusaha cukup keras,." Dan dia pergi keluar pintu untuk melihat cucunya mencoba lagi. Pada titik ini, anak itu tahu itu mustahil, tetapi ia ingin menunjukkan ini kakek bahwa meskipun dia berlari secepat mungkin, air tetap akan bocor keluar sebelum ia sampai ke rumah. Anak itu kembali mencelupkan keranjangnya ke sungai dan berlari keras, tetapi ketika ia mencapai kakeknya keranjang itu kosong lagi. Kehabisan napas, ia berkata, "Lihat Kakek, tidak ada gunanya!"
"Jadi menurutmu tidak ada gunanya?" Orang tua itu berkata, "Lihatlah keranjang." Anak itu melihat keranjangnya dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa keranjang itu sekarang berbeda. Ini telah berubah dari keranjang batubara kotor tua dan kini bersih, luar dalam. "Cucuku, hal itulah yang terjadi ketika kamu membaca Al Qur'an Kamu tidak bisa memahami atau ingat segalanya,. Tetapi ketika Anda membacanya, kamu akan berubah, luar dalam. Itu adalah karunia Allah (SWT) dalam hidup kita. ")

Jadi intinya, memahami isi Al-Qur’an memang memberi nilai plus bagi kita, namun membaca Al-Qur’an “saja” dapat membersihkan diri kita luar dan dalam seperti bersihnya keranjang arang yang diceritakan pada kisah di atas.

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa yang utama adalah niat yang kuat untuk membakar motivasi kita menuju khatam Al-Qur’an. Berbekal bahan bakar ini, saya menyiapkan 2 buah Al-Qur’an, satu saya letakkan di meja kamar dekat tempat tidur di rumah dan yang satu lagi saya letakkan di lemari kantor dekat komputer saya. Modal lain adalah ingatan karena saya selalu paksa diri saya mengingat surah ke berapa yang sudah saya baca di rumah, saat saya akan baca Al-Qur’an di kantor. Dan jangan lupa, pasang target: kapan saya harus khatam? Walaupun target waktu yang saya tetapkan sudah terlewati, namun dengan target kita tahu kita ingin mencapai apa.

Hari ini tanggal 3 September 2009 tepat 13 Ramadhan 1430 H selepas sholat subuh, saya berhasil menyelesaikan bacaan Al-Qur’an saya hingga surat Al-Ikhlas, surat terakhir. Saya khatam Al-Qur’an!!! Suami saya tak lupa memberi selamat dan doa. Sungguh, rasanya lebih hebat daripada saat saya ujian promosi S3 awal tahun 2008 lalu.

“Ya Allah, Ya Tuhanku! Rahmatilah aku dengan Al-Quran dan jadikanlah Al-Quran bagiku sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk dan rahmat. Ya Allah, Ya Tuhanku! Ingatkanlah aku apa yang aku terlupa daripada ayat-ayat Al-Quran. Ajarkanlah aku daripada Al-Quran apa yang belum aku ketahui. Berikanlah aku kemampuan membacanya sepanjang malam dan siang; dan jadikanlah Al-Quran itu hujah bagiku (untuk menyelamatkan daku di akhirat), wahai Tuhan Sekalian Alam.”
Amin./Oleh Judhiastuty Februhartanty

Read More..