Sunday, December 13, 2009

Gemerlap Kota Yang Menyilaukan


"Bubar, bubar semua !! " teriak Kiayi Gaos kepada beberapa pemuda yang sedang berjudi di belakang musholah Al Muhajirin menjelang sholat subuh. Para pemuda tersebut langsung lari berpencar tanpa memperdulikan lagi taruhan yang masih tergeletak berantakan diantara semak-semak. Kiayi Gaos memang terkenal sangat keras kepada siapa saja yang berbuat maksiat termasuk anaknya, Ustadz Ghani yang kakinya pincang karena dulu sewaktu masih remaja sering berbuat keonaran dan minum-minuman keras sehingga Kiayi Gaos memukul kakinya sampai pincang dan belum hilang walaupun telah di obati kesana-kemari. Setelah kakinya pincang
Ustadz Ghani akhirnya insyaf lalu kembali mempelajari dan mendalami ajaran agama sampai akhirnya berhasil menyelesaikan sekolahnya di Madinah dan saat ini mengajar di pesantren ayahnya, Kiyai Gaos.

Di desa Jimbaran, beberapa musim panen belakangan ini dijadikan sebagai musim judi bagi anak-anak mudanya. Hasil panen yang sedianya bisa buat tabungan dan untuk memenuhi kebutuhan lain malah di hambur-hamburkan dengan berjudi, sehingga pasokan pupuk sering terlambat datang karena setoran uangnya di pergunakan untuk hal yang tidak bermanfaat. Para orang tualah yang kemudian merogoh uang tabungan untuk membeli pupuk agar bisa memulai musim tanam nantinya. Kiayi Gaos yang berasal dari desa Ketapang sebelah barat desa Jimbaran, didatangkan untuk menyadarkan anak-anak muda tersebut.

Sebenarnya disamping membantu orang tua, pemuda desa Jimbaran termasuk rajin bekerja. Kerajinan tangan seperti keramik pajangan dan anyaman dari bambu berhasil di jual sampai kekota. Namun pengaruh kota besar telah mampu mencuci otak mereka sehingga mereka termotivasi untuk mendapatkan sesuatu dengan cara instant dan malas untuk bekerja keras. Beberapa kali polisi menangkap mereka karena terlibat kasus perjudian dan penjualan obat-obat terlarang sampai ke kampung-kampung. Derasnya arus informasi ikut andil dalam mensukseskan perdagangan obat terlarang tersebut dengan dalih modernisasi.


Hal itulah yang mengkhawatirkan para orang tua sehingga beberapa kali mereka mengundang para muballig dan pemuka masyarakat untuk menyadaran anak-anak mereka. Kiayi Gaos dan anaknya Ustadz Ghani sudah tiga hari menetap di rumah Pak Samir kepala desa Jimbaran untuk melihat kegiatan dan pola kerja para pemuda tersebut. Mereka secara bergantian melakukan pendekatan satu persatu dengan cara silaturahmi kepada pemuda yang dianggap paling mempunyai andil dalam mempengaruhi pemuda yang lain. Walaupun sulit tapi karena kegigihan
mereka, dalam tiga hari mereka telah mampu mengajak lebih dari sepuluh pemuda agar aktif di pengajian musholah Al Muhajirin yang diadakan setiap hari.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS: Al Maa'idah ayat 90 ) " kata Ustadz Ghani membuka pengajian malam itu , para jama'ah yang rata-rata para pemuda dan pemudi beserta beberapa tokoh masyrakat memenuhi ruangan mushollah Al Muhajirin yang tidak terlalu besar. Selain pendekatan keluarga maka pendekatan agama adalah cara yang paling
baik untuk menasehati masayrakat desa Jimbaran yang adat istiadatnya masih dekat dengan ajaran agama.

" Sesungguhnya kemiskinan itu dekat dengan kekufuran [1], sehingga banyak diatara kita yang menghalalkan segala cara agar bisa bertahan hidup " kata Ustadz Ghani disela pengajian ba'da Isya. Kiayi Gaos hanya duduk diam sambil terus mendawamkan dzikir disamping anaknya tersebut sambil sekali-kali keluar menyambut jama'ah yang baru datang. " Ustadz, bukankah Rasulullah juga pernah berkata bahwa yang terbanyak di syurga adalah orang miskin sedangkan yang terbanyak dineraka adalah wanita [2]" tanya seorang peserta. Ustadz Ghani hanya tersenyum " Jangan jadikan itu untuk malas berusaha ya, dimanapun Kemiskinan selalu menjadi ajang penghancuran aqidah, namun disisi lain memang orang kaya jarang yang amanah dengan hartanya dan merasa semua itu hasil dari usahanya sehingga melupakan kewajibannya membayar zakat dan menyantuni anak yatim maupun fakir miskin" jawab Ustadz Ghani dengan bijak.

Kiayi Gaos yang tadinya hanya diam mulai angkat bicara " Jika mampu kita di suruh untuk kaya tapi hidup dalam kemiskinan atau paling tidak dalam kesederhanaan, harta yang di peroleh di peruntukan dalam membantu orang lain. Para sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar RA adalah pedangang, dialah yang menjadi motivator pedagang yang lain untuk memeluk agama Islam seperti Abdurrahman bin Auf, tetapi jika kita lihat hidupnya maka tidak ada yang tahu kalau mereka adalah saudagar kaya. Sedangkan orang kaya saat ini hanya menyumbang sepersekian dari hartanya dan merasa sudah paling banyak beramal , artinya predikat kaya masih menempel di badannya, predikat yang menyebabkan dia andaikata masuk surga akan berselisih lima ratus tahun dengan orang miskin yang masuk surga [3], sedangkan satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun untuk ukuran kita [4] "sahut Kiayi Gaos dari samping kanan Musholah

Kemewahan dan gemerlap kota memang telah menggelapkan mata para pemuda tersebut
sehingga melupakan tempat kembali yang hakiki yaitu kampung akherat, kampung yang saat ini masih sekedar mitos bagi kaum hedonisme. Rasulullah pernah bersabda " Bagi tiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian serta cobaan terhadap umatku ialah harta-benda." (HR. Tirmidzi). Banyak pekerjaan yang masih di sandang oleh Kiyai Gaos dan anaknya Ustadz Ghani
di bantu oleh pemuka masyrakat dalam menyadarkan pemuda desa Jimbaran agar tidak mudah goyah oleh kehidupan metropolis yang menghalalkan segala cara untuk meraih kenikmatan hidup. Salam : David

No comments:

Post a Comment