Sunday, December 13, 2009

Duka Haji


Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, seniman A. Hamid Jabbar waktu itu berada di Mina. Penyair yang atraktif itu sedang akan melontar jumrah untuk yang pertama, jumrah 'Aqabah. Seperti jamaah lain, dia harus menceburkan dirinya dan mengarungi lautan manusia agar dapat mendekati jumrah yang akan dilemparnya. Tangan kiri menggenggam bekal kerikil-kerikil dari Muzdalifah, sementara tangan kanan sudah siap dengan sebutir kerikil yang akan dilempar.

Syahdan, ketika merasa sudah cukup dekat, dia pun mengangkat tangan kanannya, siap menghantam "sang setan". Tapi, belum lagi sempat tangannya mengayun, seseorang menghantam lengannya hingga kerikilnya terjatuh.

Dia ambil lagi sebutir kerikil dari tangan kirinya dan siap mengulang lemparan pertama. Tapi, lagi-lagi kerikilnya terlempar oleh sodokan orang di sampingnya. Begitulah berkali-kali Hamid berusaha mengulang dan gagal melempar hingga kerikil-kerikil di tangan kirinya nyaris habis.

Tapi, rupanya, kesabarannya yang justru lebih dulu habis. Sambil merentangkan kedua tangannya ke langit seperti gayanya ketika berdeklamasi, tiba-tiba dia berteriak sekencang-kencangnya: "Ya Allah, ini ibadah apa???"


Saya kira, kawan saya ini tidak sedang jengkel kepada Tuhan atau kepada ibadah haji. Cuma mungkin, seperti banyak jamaah yang lain, sebelumnya sudah mempunyai anggapan atau pengertian tentang kekhusyukan ibadah. Jadi, ketika melihat kenyataan lain yang jauh berbeda dari pengertian seperti yang sudah dipahaminya, dia pun "berontak".

Sebenarnya, tidak ada yang salah pada pemahaman dan pengertiannya. Yang barangkali sering lalai dipahami orang, termasuk kawan saya ini, ialah bahwa kebanyakan jamaah haji yang berada di tanah suci adalah orang-orang awam dan umumnya pemimpin mereka terbiasa dengan doktrin yang itu-itu juga. Doktrin yang lebih menekankan kepada "semangat" beragama atau beribadah ketimbang pemahaman agama dan makna ibadah.

Kita lihat misalnya, dalam penataran-penataran manasik, baik yang diselenggarakan instansi resmi maupun KBIH-KBIH di Indonesia, galibnya jamaah lebih diberi doktrin tentang "amalan-amalan" dan bacaan-bacaan. Seringkali penatar menekankan tentang afdhaliah, hal yang lebih afdol, dalam pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini dan itu, tanpa penjelasan yang
memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu.
Misalnya keutamaan waktu melempar jumrah; keutamaan berdoa di Multazam, di Hijr Ismail (bahkan di bawah talang mas?); berdoa di Arafah di luar tenda; di Raudhah Rasul (bahkan di "mihrab Nab"?); dlsb. Hal ini menyebabkan banyak jamaah yang semangatnya "murni" semangat. Hanya semangat mendapatkan apa yang disebut sebagai keutamaan itu.

Seperti kita ketahui, sebenarnya ibadah haji itu tidak terlalu pelik. Ia "hanya" ibadah amaliah. Asal lakunya benar, sudah sah. Sedangkan lakunya juga sangat sederhana: berihram, niat, dan memakai pakaian sederhana; memutari Ka'bah, lari hilir-mudik antara Shafa dan Marwah; berdiam diri di Arafah; melempar-lempar; cukur atau potong rambut; dan menyembelih ternak.
Apanya yang sulit? (Banyak daerah malah lucu. Membangun tiruan Ka'bah untuk keperluan latihan *thawaf.* Mana ada orang -bagaimanapun bebalnya- keliru memutari Ka'bah? Sebab, misalnya, ada yang keliru memutarinya ke arah kanan, pasti akan ketabrak yang lain).

Saya pikir adalah lebih bijaksana bila "ruh ibadah" dan praktik pelaksanaan haji -dengan memperhatikan kondisi dan situasi riil di lapangan- lebih mendapatkan porsi dalam penataran-penataran manasik. "Ruh ibadah" yang saya maksud juga mencakup penyadaran terhadap pemahaman ibadah secara keseluruhan. Totalitas amal hanya untuk Allah. "Menyenangkan" Allah. Mencari ridha Allah.

Sebab, sering semangat beragama yang berlebihan menyeret hamba kepada amalan yang justru berbalik menjadi hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Mencari ridha diri sendiri. Bahkan, sekadar keinginan yang menggebu untuk mendapat haji mabrur sering cukup membuat orang menjadi sangat egois. Bayangkan bila jutaan orang egois berkumpul jadi satu dengan satu "kepentingan".

Sebenarnya, jamaah Indonesia tergolong paling tertib. Cuma tertib sendiri tentu tidak menjamin ketertiban bersama, terutama bila yang lain tidak tertib. Karena itu, mestinya pemerintah Saudi Arabia harus lebih rendah hati, mengajak negara-negara Islam atau muslim untuk bekerja-sama dan bermusyawarah bagi penyempurnaan ibadah yang satu ini. Atau paling tidak berkoordinasi dengan negara-negara itu terutama kaitannya dengan kebijakan yang diambil. Syukur dibentuk badan dunia khusus yang melibatkan semua negara yang berkepentingan, untuk tidak saja bertanggung jawab tentang ketertiban dan keamanan pelaksanaan haji, tapi juga bagi pemahaman umat terhadap makna hakiki ibadah itu.

Peristiwa-peristiwa tragis seperti yang pernah terjadi di Mina sudah berulang-ulang menyentak perasaan kita. Akan sampai kapan?

KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.



No comments:

Post a Comment