Monday, February 23, 2015

Adakah Tauhid Dalam Agama Kristen saat ini ? (1)

Oleh Ibnu Anwar

Dalam sejarah keagamaan manusia, mungkin hampir bisa dipastikan bahwa jalan cerita keagaman setiap kelompok manusia selalu sama, di mana suatu kelompok manusia atau sebuah kaum akan menyimpang dalam keyakinan mereka tentang Tuhan, kemudian Tuhan mengutus seorang atau beberapa orang utusan kepada mereka untuk meluruskan keyakinan mereka tersebut melalui wahyu dari-Nya yang kemudian tercatat dalam lembaran-lembaran kitab. Kemudian, sepeninggal utusan mereka tersebut, dan seiring berjalannya waktu, generasi berikutnya dari kaum tersebut menjadi menyimpang kembali dari ajaran yang telah diluruskan sebelumnya, yang kemudian Tuhan pun kembali mengirim utusan selanjutnya untuk meluruskan penyimpangan yang telah terulang tersebut. Dan demikianlah kurang lebih jalan sejarah keagamaan manusia selalu terulang kembali, di mana para utusan akan selalu dikirimkan untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di antara ummat manusia, hingga akhirnya tiba seorang utusan penutup di akhir zaman membawa agama kebenaran yang menyempurnakan agama-agama mereka.

Dan jika ditarik persamaan antara semua agama yang memiliki kitab, maka hampir semua agama tersebut memiliki ajaran tentang monotheisme atau tauhid. Dan hampir semua penyimpangan yang selalu berulang dalam sejarah keagamaan manusia adalah penyimpangan atas monotheisme atau tauhid tersebut, di mana semestinya mereka harus mengesakan Tuhan dalam penyembahan, namun mereka justru menyekutukan-Nya, dengan menjadikan sebagian perantara untuk mengenali Tuhan justru sebagai sembahan di samping Tuhan itu sendiri.

Seandainya setiap pemeluk agama yang memiliki kitab bersedia untuk lebih mendalami konsep monotheisme dalam kitabnya masing-masing, maka mereka pun akan harus menjauhi penggambaran Tuhan dengan wujud-wujud yang memiliki kelemahan dan keterbatasan, karena Tuhan Yang Maha Esa itu tidak mungkin memiliki kelemahan dan keterbatasan. Dan ketidakterbatasan Tuhan itulah yang menyebabkan manusia hingga tak sanggup menggambarkan-Nya secara utuh dalam ruang berfikir mereka yang sangat terbatas. Justru ketika manusia memaksa ruang berfikir mereka untuk dapat menampung hakikat wujud Tuhan secara utuh, maka ruang berfikir mereka itu pun akan pasti pecah dan rusak, ibarat kantong plastik yang harus diisi air lautan secara paksa. Oleh karena itu, sebenarnya ketika wujud Tuhan justru dapat terjangkau oleh alam fikiran manusia secara utuh, maka pasti itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

Ummat Hindu menyembah para dewa atau tuhan-tuhan yang wujudnya dapat terjangkau oleh alam fikiran manusia, meskipun di dalam ajaran mereka sendiri juga terdapat pesan-pesan tentang monotheisme atau tauhid. Tak berbeda halnya dengan agama-agama lain yang semacamnya, seperti Buddha dengan dewa-dewanya, Yahudi dan Kristen dengan Tuhan anaknya, dan seterusnya; semua keyakinan tersebut memiliki sembahan-sembahan yang justru memiliki kelemahan dan keterbatasan.

Dan di sinilah, Islam, yang merupakan agama penutup akhir zaman, datang untuk memurnikan kembali monotheisme atau ajaran tauhid tersebut, mengakhiri penyekutuan manusia terhadap Tuhan mereka Yang Maha Esa. Ummat Hindu dan Buddha memang menyembah Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka juga menyembah dewa-dewa sebagai tuhan selain-Nya. Ummat Yahudi dan Kristen juga menyembah Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka juga menganggap bahwa Tuhan memiliki anak atau telah melahirkan tuhan yang lain untuk harus juga disembah dan diagungkan. Padahal, sebenarnya apa yang mereka sembah selain Tuhan Yang Maha Esa tersebut hanyalah perantara atau jalan untuk mengenal Tuhan itu sendiri. Demikianlah penyekutuan ummat beragama terhadap Tuhan yang semestinya harus mereka esakan. Dan penyekutuan atau syirik inilah yang merupakan dosa terbesar bagi orang-orang yang mempercayai adanya Tuhan, yang bahkan syirik tersebut akan dinilai sebagai sikap yang sama dengan mengingkari adanya Tuhan itu sendiri. Islam telah menegaskan bahwa kedudukan seorang musyrik atau pelaku penyekutuan Tuhan adalah sama seperti orang-orang kafir yang mengingkari Tuhan. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putra Maryam.’” (Al-Maaidah: 17)

Dari ayat tersebut, meskipun ia ditujukan bagi para penyembah Yesus atau Isa al-Masih putra Maryam, kita bisa menyimpulkan bahwa meskipun manusia telah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, mereka akan justru disebut kafir atau ingkar Tuhan karena telah menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa tersebut dengan selain-Nya, atau dengan utusan Tuhan itu sendiri. Dan tampaknya itulah yang selama ini menjadi masalah utama bagi hampir semua agama manusia, kecuali agama Islam

Dan semenjak agama Kristen merupakan agama yang paling banyak jumlah penganutnya di dunia saat ini, di samping juga karena hanya ummat Kristen sajalah yang pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk bisa hidup rukun dengan ummat Islam, serta berdasarkan pesan di dalam al-Qur’an yang memperingatkan agar kita tidak menuduh Allah SWT telah mengambil seorang anak, maka tulisan ini akan lebih menekankan tentang agama Kristen dan ummatnya, beserta kaitannya dengan monotheisme atau ajaran tauhid. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:

“Sesungguhnya akan kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya akan kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani (ummat Kristen)’. Yang demikian itu adalah karena di antara mereka (orang-orang Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Maaidah: 82)

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik; mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya; Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata: ‘Allah telah mengambil seorang anak’; Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah besarnya (keburukan) kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Al-Kahfi: 4-5)

Dalam ajaran agama Kristen, Tuhan diyakini sebagai Dzat Pencipta yang memiliki tiga kepribadian, yaitu Allah Bapa, Putra dan Ruh Kudus. Namun demikian, ummat Kristen diharuskan untuk meyakini bahwa tiga kepribadian tersebut adalah satu pada hakikatnya. Artinya, agama Kristen dalam keyakinannya mengajarkan bahwa Tuhan itu adalah Maha Esa, yaitu satu atau tunggal yang tiada duanya, namun dalam praktiknya, ia mengajarkan bahwa Tuhan yang harus diagungkan dan disembah itu adalah tiga Tuhan. Terlepas dari kebingungan kita dalam memahami dan membenarkan konsep ‘satu namun tiga’ tersebut, pada kenyataannya, konsep yang disebut Tritunggal atau Trinitas itu pun juga tidak pernah secara tegas disebutkan di dalam kitab Injil itu sendiri, melainkan hanya dilandasi oleh dalil-dalil yang samar dan lemah dari ayat-ayatnya, dan tak pernah melalui pernyataan yang kuat dan mantap, misalnya pernyataan yang semestinya diungkapkan sendiri oleh Yesus seperti, “Aku adalah Yesus, Tuhan di samping Allah” atau “Sembahlah aku bersama Allah”, dan ungkapan-ungkapan lain yang semacam itu. Mereka justru hanya mengambil dalil-dalil yang sangat rapuh yang begitu sulit untuk dijadikan sandaran. Dan di antara dalil yang digunakan oleh agama Kristen untuk menguatkan ajaran Tritunggalnya tersebut adalah salah satunya ayat Injil yang berikut ini:

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku.” (Yohanes 14:6)

Dalam hal ini, terlepas dari apakah ayat Injil tersebut benar-benar murni dan masih belum ternodai oleh campur tangan manusia ataukah sebaliknya, tetap saja kita tidak akan bisa menerima ayat tersebut sebagai landasan atau dalil bagi keyakinan bahwa Yesus adalah salah satu dari tiga Tuhan dalam konsep Tritunggal. Kita tidak bisa membenarkan bahwa ungkapan ‘Akulah jalan’ adalah makna lain dari ‘Akulah Tuhan’, sebagaimana tidak mungkin bagi kita untuk menyamakan antara misalnya sebuah ‘kota’ yang kita tuju dengan ‘jalan’ yang melaluinya kita dapat sampai kepada kota tersebut, karena kota adalah kota, sedangkan jalan menuju kota adalah sesuatu yang terpisah dari kota itu sendiri. Ketika kita bermaksud untuk pergi ke Jakarta, misalnya, sedangkan keberadaan kita saat itu adalah di Surabaya, maka apakah lantas semua jalan sepanjang Surabaya menuju Jakarta adalah bagian dari Jakarta itu sendiri? Tentu tidaklah mungkin demikian. Pasti akan sangat aneh ketika misalnya kita baru sampai di Semarang lantas kemudian kita mengatakan, “Inilah Jakarta”, dan demikianlah seterusnya. Maka dari itu, keyakinan yang menyimpulkan bahwa ‘jalan’ adalah bagian dari ‘kota’ itu sendiri sebenarnya adalah keyakinan yang terlalu dipaksakan. Sesungguhnya Tuhan adalah Tuhan, sedangkan jalan menuju Tuhan adalah sesuatu yang terpisah dari Tuhan itu sendiri, sehingga pernyataan Yesus yang menyebutkan “Akulah jalan” sangatlah tidak tepat jika diartikan sebagai “Akulah Tuhan”.

Di samping itu, bahkan, konon konsep Tritunggal tersebut pun juga baru mulai diresmikan pada sebuah pertemuan yang disebut Konsili Nicea I yang dihimpun oleh seorang Kaisar Romawi pada tahun 325 M. Padahal, seharusnya tidak pantas jika Tuhan membutuhkan peresmian dari makhluq-Nya, karena tanpa diresmikan sekalipun, Tuhan tetaplah Tuhan untuk selamanya. Dan lebih dari itu, di dalam Injil sendiri juga telah disebutkan secara sangat jelas dan tegas bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Maha Esa, Satu atau Tunggal, yang tiada sesuatupun yang bisa diserupakan dengan-Nya, yang mana itulah bentuk pesan monotheisme atau tauhid di dalam Injil itu sendiri. Dan Injil juga menyebutkan bahwa Yesus atau Isa AS hanyalah seorang rasul atau ‘utusan’ Tuhan semata, dan bukan bagian dari Tuhan itu sendiri. Di dalam Injil disebutkan berikut ini:

“Maka sebab itu besarlah Engkau, ya Tuhan Allah, karena tiada yang dapat disamakan dengan Dikau dan tiada Allah melainkan Engkau, menurut segala yang kami dengar dengan telinga kami.” (Samuel 7:22)

“Maka jawab Yesus kepadanya, ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah olehmu, hai orang-orang Israel, adapun Allah Tuhan kita, Dialah Tuhan yang Esa.’” (Markus 12:29)

“Dengarlah, hai orang Israel. Tuhan adalah Allah kita. Tuhan adalah satu.” (Ulangan 6:4)

“Maka aku tidak boleh berbuat satu apapun dari mauku sendiri. Seperti aku dengar, begitulah aku hukumkan, dan hukumku itu adil adanya, karena tiada aku coba menuruti mauku sendiri, melainkan maunya Bapa yang sudah mengutus aku.” (Johanes 5:30)

Dari beberapa ayat tersebut saja kita bisa menarik kesimpulan bahwa Yesus sendiri ternyata juga telah mengucapkan syahadat, yaitu bersaksi bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang mana tiada sesuatu pun yang dapat diserupakan dengan-Nya, dan bahwa dirinya hanyalah seorang rasul atau utusan Allah SWT yang hanya mendengar wahyu dari Allah SWT, yang mana melalui perantara beliaulah ajaran dan hukum-hukum Allah SWT tersampaikan kepada kaumnya. Dan syahadat semacam ini jugalah yang telah diajarkan oleh junjungan ummat Islam, Rasulullah Muhammad SAW, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT, dan bahwa beliau hanyalah utusan Allah SWT sebagaimana para utusan lain sebelumnya.

Dan jika kita sandingkan ayat-ayat Injil yang telah disebutkan tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semakna, maka kita akan semakin meyakini bahwa memang Injil dan al-Qur’an adalah dua kitab yang sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Allah Yang Maha Esa. Namun tentu sangatlah sulit dimengerti jika sebagian besar ayat dari keduanya sama-sama memiliki keterkaitan dan keselarasan, sedangkan sebagian lainnya justru saling bertentangan dan bertolak belakang, seperti misalnya ketika Allah SWT menyebutkan di dalam Injil-Nya bahwa Dia telah mempunyai anak, sedangkan di dalam Qur’an-Nya Dia justru mengharamkan pernyataan bahwa Dia telah mengambil seorang anak. Dan di sinilah tampak semakin jelas bahwa pastinya ada di antara salah satu dari dua kitab tersebut yang benar-benar telah terdapat penyimpangan di dalamnya. Dan biasanya, sebuah pelurusan atas penyimpangan itu akan pasti dilakukan setelah penyimpangan itu terjadi.

Dan berikut inilah terjemahan beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki makna serupa dengan beberapa ayat Injil tersebut, yang sekaligus menjelaskan sebab perselisihan antara agama islam dan agama Kristen

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syuuraa: 11)

“Katakanlah: ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu; Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan; Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’.” (Al-Ikhlaash: 1-4)

“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya (sendiri); Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

“Manusia itu adalah umat yang satu; (setelah timbul perselisihan,) maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu, dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)

Demikianlah beberapa dari banyak ayat al-Qur’an yang selaras dengan beberapa ayat Injil yang telah disebutkan sebelumnya, yang menyatakan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah SWT dan bahwa para utusan-Nya hanyalah manusia biasa seperti ummatnya, yang mana juga memiliki kebiasaan manusiawi seperti makan, minum, berjalan di pasar, istirahat, dan seterusnya, yang itu semua telah cukup menjadi bukti bahwa mereka bukanlah Tuhan atau bagian dari Tuhan itu sendiri. Allah SWT lebih lanjut menegaskan itu semua di dalam beberapa ayat al-Qur’an, sebagaimana yang artinya berikut ini:

“Katakanlah: ‘Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul (utusan)?’” (Al-Israa’: 93)

“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan berupa beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui; Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” (Al-Anbiyaa’: 7-8)

“Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (Ibrahim: 10)

Dan di sana masih terdapat banyak ayat dalam Injil maupun al-Qur’an yang mempertegas bahwa konsep monotheisme atau tauhid adalah sebuah kepastian yang tidak bisa dipengaruhi oleh keraguan ataupun sekedar prasangka, dan bahwa sosok-sosok yang memiliki kelemahan dan keterbatasan bukanlah Tuhan, karena Tuhan sangatlah suci dari segala kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itulah, keyakinan yang selama ini telah menjadi pegangan ummat Kristen tentang Tuhan mereka, yaitu faham Tritunggal, adalah tidak dapat diterima atau tertolak kebenarannya, berdasarkan dalil akal maupun dalil ayat-ayat Injil itu sendiri, dan terlebih lagi berdasarkan dalil ayat-ayat al-Qur’an. Semua kesimpulan tentang Tritunggal adalah kesimpulan yang salah dan dipaksakan.

Maka dari itu, di sini agama Islam telah menawarkan kebenaran kepada ummat Kristen, juga kepada ummat agama-agama lainnya, yang mana kebenaran tersebut telah terbukti dapat menyembuhkan berbagai macam penyimpangan, baik penyimpangan dalam cara berfikir tentang bagaimana mengenal Tuhan, penyimpangan dalam ritual penyembahan Tuhan, penyimpangan dalam perkara sosial, keadilan ekonomi, kehormatan, dan seterusnya. Dan jika mungkin Ummat Kristen masih meragukan kebenaran Islam, mereka tetap dipersilahkan untuk membandingkan secara langsung antara ajaran Islam dengan ajaran Kristen itu sendiri, misalnya dalam beberapa permasalahan berikut ini:

No comments:

Post a Comment