Sunday, June 16, 2013

Yang Bikin Bahagia Dunia Akhirat

Dalam doa-doa yang kita panjatkan, selalu terselip harapan agar kita bisa hidup bahagia di dunia dan diakhirat ya. Tetapi, hampir
setengah dari usia kita ini dihabiskan dalam pekerjaan yang menyita waktu dan perhatian sedemikian banyaknya. Hampir separuh dari waktu ‘bangun’ kita digunakan untuk berkutat dengan urusan dunia. Selebihnya lagi untuk tidur, bermain dan beristirahat. Hanya sedikit untuk beribadah. Bagaimana bisa menyeimbangkan kebahagiaan didunia dan akhirat jika kita lebih condong pada pekerjaan, bukan? Kenyataannya, pekerjaan ini telah mengurung kita dalam kesibukan yang tiada tara. Tidak berdaya kita untuk meninggalkannya, karena hidup kita ditopang sepenuhnya oleh hasil yang kita peroleh dari pekerjaan ini. Mungkin akan lain
ceritanya jika kita punya profesi yang bisa membuat bahagia didunia dan diakhirat. Supaya otomatis bisa kita dapatkan keduanya. Tapi, adakah profesi yang seperti itu dalam kehidupan nyata?

Salah satu klien saya adalah sebuah perusahaan yang mulai dibangun dari nol oleh pendirinya. Dalam beberapa puluh tahun berikutnya perusahaan itu tumbuh secara signifikan menjadi sebuah bisnis raksasa yang bukan hanya produknya dikenal dimana-mana. Melainkan juga dilirik oleh para investor didalam maupun luar negeri. Diantara sekian banyak hal yang menarik adalah; masih ada karyawan yang bekerja disana sejak perusahaan itu didirikan beberapa puluh tahu yang lalu. Buat saya ini menarik, karena sejak beliau bekerja dikala masih muda dulu hingga diusianya seperti sekarang ini lha kok orang ini tampak sangat menikmati pekerjaannya.

Beliau sebenarnya punya kesempatan untuk pindah ke perusahaan lain sehingga bisa mendapatkan bayaran yang lebih tinggi. Soalnya,
banyak perusahaan baru di bidang yang sama mengikuti jejak keberhasilan perusahaan itu. Tentu keahliannya sangat dihargai oleh perusahaan-perusahaan baru itu. Tapi dia tidak tergoda untuk bermigrasi. Ini, agak bertolak belakang dengan kaum professional pada umumnya. Saya, cukup banyak melihat mereka yang bekerja dengan berat hati. Boro-boro bergembira ria selama menjalani hari-hari kerjanya itu. Untuk sekedar bangun lebih pagi pun masih banyak yang merasa berat. Membayangkan hari itu akan mengerjakan banyak tugas. Mengingat hari itu akan bertemu dengan boss yang tidak disukainya. Melamunkan betapa penghasilannya selama ini hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja. Hanya sedikit yang benar-benar menikmati pekerjaannya. Kebanyakan bekerja
hanya setengah hati saja.

Hampir bisa dipastikan bahwa ketika seseorang bekerja setengah hati – dengan alasan apapun – maka dia tidak akan tertarik
untuk mendayagunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Karena setengah hati itu, kerjanya juga ya setengah hati dong. Karenanya, usahanya pun paling banyak cuman setengah dari usaha yang sebenarnya bisa dilakukan. Karena usahanya pun cuman setengahnya, maka hasilnya pasti tidak maksimal. Maka sudah jelas sekali jika kapasitas dirinya yang agung dan membumbung itu tidak didemonstrasikannya. Walhasil, management. Atasan. Kolega. Maupun pelangggan dan orang-orang disekitarnya sama sekali tidak melihat dirinya sebagai seorang pribadi yang memiliki potensi diri yang tinggi. Maka mereka pun kurang menghargainya.
Kepercayaan yang didapatkannya pun hanya sedikit saja.

Karena kurang dipercaya ini, maka mereka pun penghasilannya sedikit. Lalu mereka merasa kecewa. Merasa bahwa keberadaannya
di kantor itu sudah disia-siakan. Sehingga semakin malaslah dia untuk melakukan hal terbaik di kantornya. Semakin malas itu, semakin jelek pula kinerjanya. Dan semakin buruk pula penilaian atasan kepadanya. Semakin jauh dia dari peluang dan kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Dan semakin lama, inflasi semakin membumbung tinggi. Tidak lagi bisa diimbangi dengan kenaikan gaji normal setahun sekali. Sehingga tahun demi tahun berlalu menuju kepada kesuraman yang tiada terperikan. Mereka, menjadi semakin pesimis melihat kehidupannya dimasa depan. “Hadduh, kalau begini caranya; bagaimana mungkin kehidupan gue bisa semakin membaik?!” Lalu mereka menjadi panik. Bisa Anda bayangkan akhir kisah orang ini?

Lain sekali dengan sahabat saya yang diceritakan tadi itu. Tampaknya, beliau sudah siap menghadapi masa pensiun yang hanya tinggal beberapa tahun lagi itu. Wajahnya, sama sekali tidak menampakkan kekhawatiran. Santai saja tuch. Oh, mungkin karena kedudukannya sudah sangat tinggi? Tidak juga. Biasa-biasa saja kok. Mungkin gajinya sudah selangit? Juga tidak. Malahan para professional baru yang direkrut belakangan mendapatkan penawaran gaji yang lebih tinggi dari dirinya yang sudah bersama perusahaan itu sejak mulai beroperasi. “Jadi, apa yang menjadikan beliau sedemikian tegar menjalani karir profesionalnya?” Begitu saya bertanya-tanya. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa, ada 3 hal yang dilakukan oleh beliau. Anda ingin mengetahuinya juga? Baiklah. Kita simak satu per satu.

Pertama, beliau memulainya dengan pertanyaan ini; kenapa saya bekerja disini?Kitalah yang memilih untuk bekerja disini bukan? Tidak ada orang yang memaksa kita melakukannya. Kalau pun dulu ada yang menyuruh atau merekomendasikan, tetap saja kita sendiri yang membuat keputusan bekerja di sini atau tidak. Jadi sahabatku, bekerja disini ini adalah keputusan yang kita buat sendiri kan? Oleh karenanya, kita mesti belajar mengambil tanggungjawab atas keputusan ini. Jangan sampai kita sudah memilih untuk bekerja disini, tapi kita hanya setengah hati saja dalam menjalaninya.

Selain menunjukkan jika kita tidak bertanggungjawab atas pilihan kita sendiri, kita juga tidak akan berhasil meraih apa yang kita
impikan. Minimal, kita tidak akan menjadi karyawan yang berprestasi tinggi di tempat kerja. Padahal, prestasi merupakan gambaran dari dedikasi. Dan dedikasi itu adalah mesin yang mendorong kita untuk melakukan yang terbaik melalui pendayagunaan secara optimal atas potensi diri yang kita miliki.

Kedua, beliau menjalani hari-hari kerjanya dengan ketekunan dan kesabaran. Alon-alon asal klakon, begitu teman saya bilang. Pelan-pelan dijalani saja dengan tekun. Insya Allah akan ada hasilnya. Dan memang benar lho. Ketika kita menjalani semua ini dengan tekun maka tanpa terasa, waktu berlalu sudah sedemikian jauh. Anda misalnya. Sudah berapa tahun bekerja? Tidak terasa kan, sudah sekian lama. Tentu akan ada saja hal-hal yang kurang menyenangkan. Namun, jika ketekunan itu ditemani dengan
kesabaran, kita tetap bisa menjalaninya dengan senang hati. Perjalanan waktu pun membuat kita kebal dengan kesulitan dan hal-hal menjengkelkan. Kenyataannya, semua ketidaknyamanan itu bisa ditaklukkan dengan kesabaran. “Yang penting bekerja sebaik mungkin,” demikian pendapat sahabat kita ini. “Jika kita bekerja dengan baik, maka perusahaan akan melihat kita juga kok,” katanya lagi.

Ketiga, beliau senantiasa mengingat Tuhannya. Kepada siapa kita menggantungkan harapan? Kepada top management? Well, kenyataannya
top management tidak selalu bisa memenuhi apa yang kita harapkan. Kepada atasan? Kita tahu bahwa otoritas atasan itu sangat terbatas. Banyak hal yang tidak bisa dilakukannya untuk kita. Kalau pun bisa, belum tentu mereka mau melakukannya. Maka menggantungkan harapan kepada sesama mahluk itu sering menyebabkan kita kecewa. Persis seperti kekecewaan demi kekecewaan yang selama ini kita rasakan. Bukan salah mereka, melainkan kitanya saja yang keliru memilih tempat berharap. Karena kerja keras
kita itu ternyata tidak selalu secara otomatis membawa kita kepada keberuntungan. Seperti diisyaratkan dalam firman Tuhan dalam surah 62 (Al-Jumu’ah) ayat 10 ini: “Apabila sembahyangmu sudah ditunaikan. Maka bertebaranlah kamu dimuka bumi ini untuk mencari karunia Allah. Dan ingatlah Allah banyak-banyak, agar kamu beruntung….”

Sahabatku. Kerja keras itu sangat penting nilainya. Namun untuk mendapatkan keberuntungan dari hasil kerja keras itu, kita harus memulainya dengan sembahyang meski mungkin hanya sekedar doa. Lalu ketika bekerja keras itu, kita pun mengiringinya dengan selalu
mengingat Allah. Adakah kita berani melakukan pekerjaan asal-asalan jika sebelum melakukannya kita menghadap Tuhan terlebih dahulu? Adakah selama bekerja itu kita akan berperilaku sesuka hati saja jika kita mengerjakannya sambil berdzikir mengingat Ilahi? Tidak mungkin ya. Karena dengan sembahyang itu kita bertekad untuk memulai pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Dan dengan
dzikir itu kita menjamin setiap pekerjaan dilakukan dengan tanggungjawab dan dedikasi sepenuh hati.

Maka wajar, jika diakhir pekerjaan itu; kita mempersembahkan hasil yang terbaik. Dan wajar pula, jika pada akhirnya kita; mendapatkan reward yang menyenangkan. Baik berupa bonus atau penghargaan dari perusahaan. Atau mungkin berupa kepercayaan untuk
memegang amanah yang lebih besar. Maupun imbalan tabungan pahala dari sisi Tuhan. Sehingga dengan pekerjaan dan profesi yang kita jalani ini. Kita bisa berbahagia didunia. Dan berbahagia pula diakhirat kelak. Jadi sahabatku, bukan jenis profesinya. Melainkan bagaimana kita menjalani dan mencurahkan dedikasi pada profesi itu. Sehingga apapun profesi Anda, maka Anda berpeluang besar untuk bahagia didunia dan akhirat. Insya Allah.

Salam hormat, Mari Berbagi Semangat!

No comments:

Post a Comment