Tuesday, December 13, 2011

Mereka Yang Kian Menjadi Setelah Pulang Dari Haji (2)


Ada yang menarik dari para ulama nusantara yang berhaji ke Mekkah, yakni kebiasaan mereka berhaji selagi muda. Jika Syekh Yusuf Al Makassar berhaji pada umur 18 tahun, maka Muhammad Darwis alias KH. Ahmad Dahlan menginjakkan kaki di Mekkah pada umur 15 tahun.

Lima tahun lamanya ulama kelahiran 1868 ini mengabiskan waktu di Mekkah. Disana KH. Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.

Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini pula, KH. Ahmad Dahlan sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.

Sepulang dari Mekkah, pendiri Muhammadiyah tersebut menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Namun kepulangannya ke tanah air untuk berdakwah tidak semudah yang dibayangkan.

Pemerintah kolonial kala itu menerapkan kebijakan untuk mengawasi orang-orang yang baru pulang dari Mekkah. Mereka menyita semua kitab-kitab dan bacaan lainnya yang mereka bawa, Akan tetapi KH. Ahmad Dahlan berhasil menyelundupkan kitab-kitab dan bacaan lainnya, seperti majalah Al Urwah Al Wutsqa dan Al Manar melalui pelabuhan Tuban. Maklum saja saat itu bacaan-bacaan dari Timur Tengah dianggap “tabu” oleh Belanda. Gelar Haji identik dengan ajaran Pan Islamisme yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al Afghani.

Selama periode 1850-1930, sebagian besar koran-koran Belanda sudah memprovokasi atas bahayanya para alumni Mekkah yang kembali ke tanah air. Mereka menulis bahwa semua masalah Belanda di Indonesia dimulai dari kegiatan ibadah haji Muslim Indonesia ke Mekkah. Hal ini seperti ditulis oleh seorang analis di Koran Algemeen pada tahun 1859. Ia mengatakan, “Opini publik mengatakan bahwa penyebab kerusuhan terutama dapat ditemukan atas meningkatnya jumlah jamaah haji ke Makkah, dan peningkatan itu mengakibatkan meningkatnya fanatisme, yang karenanya penduduk pribumi memiliki motif untuk memberontak terhadap Kekristenan dan dominasi Eropa.”

Betul saja, sepulangnya dari Haji KH. Ahmad Dahlan mulai prihatin dengan tumbuh suburnya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi dari Belanda. Menurut Artawaijaya dalam bukunya Jaringan Yahudi di Nusantara, semua sekolah-sekolah ini selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat mendapat sokongan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh gerakan Kemasonan.

Keprihatinan itulah yang membuat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912 yang secara tegas menonjolkan identitas keIslamannya. Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung Pemerintah Kolonial.

Dalam sejarahnya, Gerakan mengkristenkan pribumi itu dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dengan tokohnya Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.

Selain itu, salah satu tantangan dakwah di Tanah Air pada masa KH. Ahmad Dahlan datang dari Boedi Oetomo. Kelompok Ningrat Jawa yang dekat dengan kaum theosofi ini gencar melecehkan Islam sebagai agama. KH. Ahmad Dahlan sendiri pernah bergabung dengan Boedi Oetomo, akan tetapi keberadaannya di dalam organisasi primordialis itu berjalan tidak begitu lama karena inflitrasi Kemasonan dalam tubuh kelompok yang didirikan Dr. Soetomo sudah sangat kuat.

Selain KH. Ahmad Dahlan, tokoh lain yang patut dikaji dalam perlawanannya terhadap Belanda sepulan haji adalah H. Agus Salim. Tokoh Perjuangan Kemerdekaan ini adalah salah satu tokoh yang terkenal gigih melawan pemikiran orientalis seperti Snouck Hugronje. Islamisasi nusantara, menurut Haji Agus Salim, bukanlah proses tanpa rencana yang dilakukan oleh para pedagang dan penjelajah bahari 600 tahun setelah pengutusan Nabi Muhammad SAW (sekitar abad ke-13 M), sebagaimana pendapat para orientalis. Sangat tidak masuk akal jika agama Islam yang telah menyebar ke hampir seluruh negeri dan dipeluk oleh mayoritas penduduk itu disiarkan dengan sambil lalu begitu saja.(M. Isa Anshory, Haji Agus Salim Menjawab Orientalis)

Selama kurang lebih enam tahun, H. Agus Salim berada di Arab Saudi. Di Jeddah, Agus Salim memperoleh kesempatan untuk memperdalam agama Islam dan bahasa Arab kepada para ulama yang bermukin di Mekkah. Agus Salim juga belajar agama Islam pada saudara sepupunya, Sheikh Ahmad Khatib yang telah bermukim disana.

Akhirnya pada tahun 1911, Agus Salim pulang ke Indonesia. Kepulangannya dari Tanah Suci ini boleh dikatakan sebagai titik tolak perjuangannya melawan Belanda. Pada tahun 1915, H.Agus Salim menjadi Redaktur II di Harian Neratja dan tidak lama kemudian menjadi pemimpin redaksi. Pada Harian Neratja terbitan 25 September 1917, Agus Salim secara lantang menulis, "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang". Itu adalah sebuah bentuk kritikannya akan kuatnya pengaruh penjajahan belanda di bumi nusantara.

Jiwa perlawanan Agus Salim terhadap kolonialisme memang sudah tertanam sejak muda. Pada tahun 1903, setelah KH. Agus Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi, Kartini berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran.

Kartini berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima! (Pz/Bersambung)



No comments:

Post a Comment