Sunday, November 8, 2009

MENAJAMKAN NURANI


Dalam perspektif Islam, setiap manusia cenderung berada dalam fitrah keberagamaan.

Hal itu berbentuk kesadaran tentang keterbatasan diri, sekaligus ketergantungan kepada sesuatu di luar dirinya, khususnya kepada yang gaib. Keterbatasan ini pengantar manusia untuk patuh kepada yang gaib. Fitrah ini sejatinya bersifat
al-hanafiyah al-samhah, yang selalu mengajaknya bersikap dan berperilaku luhur.
Fitrah ini melekat pada kedirian manusia sejak lahir hingga maut menjemputnya.

Persoalannya, tidak setiap manusia mau atau dan mampu merasakan getaran-getaran
fitri ini. Realitas menunjukkan, dari hari ke hari, perbuatan banyak manusia—khususnya umat Islam Indonesia—tidak mencerminkan nilai-nilai keberagamaan luhur, tetapi justru bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai kemanusiaan hakiki.

Kehidupannya dipenuhi angkara murka dan kebejatan. Jika binatang menerkam mangsanya sekadar untuk mempertahankan hidup atau karena kehidupannya terancam, manusia yang tidak merasakan getaran kefitrahan ini menghabisi—dalam pengertian luas—manusia lain lebih didorong keserakahan dan ketamakan, yang sulit terpuaskan sampai kapan pun.


Untuk mengumbar nafsunya, manusia tanpa getaran nilai-nilai agama itu bisa melakukan apa saja. Mereka bisa menampakkan diri sebagai pengkhotbah, berbicara tentang etik-moralitas kejujuran, solidaritas sosial, dan sejenisnya, tetapi senyatanya mereka adalah penghancur nilai-nilai itu. Mereka juga bisa menahbiskan diri sebagai wakil rakyat, ke mana-mana mengaku memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, pada saat yang sama, mereka mengeruk uang rakyat, memakan uang haram, dan jika mungkin menghabiskan kekayaan negeri ini. Manusia semacam ini juga bisa berkeliaran di dunia pendidikan. Melalui pendidikan, bukan kecerdasan dan pemberdayaan rakyat yang dilakukan. Mereka berkutat di dunia akademis sekadar menutupi nafsu kekuasaannya.

Jelasnya, manusia dengan nurani keberagamaan yang tumpul telah menyesaki ruang
publik kita. Mereka ada di mana-mana, di sekitar kita, atau—bisa-bisa— kita tanpa menyadari telah memetamorfosis menjadi manusia seperti itu; manusia yang diperbudak oleh nafsu.

Asah nurani

Tumpulnya fitrah keberagamaan pada manusia semacam itu, salah satunya, berpulang pada keengganan mereka untuk mengasah nurani. Kepenganutan agama yang seharusnya diarahkan untuk mencerdaskan kedirian (spiritual, emosional, dan intelektual) direduksi—sadar atau tidak—sekadar menjadi tradisi yang membatu.
Agama yang seharusnya mendewasakan manusia dibiaskan sebagai tameng diri yang berproses mengerdilkan jiwa; mereka meletakkannya sebagai kompensasi dosa-dosanya. Seperti anak kecil, karena—misalnya— sudah mau sikat gigi, lalu merengek-rengek minta dibelikan permen. Karena sudah shalat dan menjalankan perintah agama yang lain, mereka merasa "berhak" melakukan korupsi, menggerogoti uang negara dan rakyat, atau melakukan perbuatan munkarat lainnya.

Mereka tidak menjadikan ritual agama, semacam shalat dan puasa, sebagai proses dialog intens dengan Sang Pencipta untuk menelanjangi diri, dan sebagai bentuk
kepatuhan untuk menjalankan ajarannya dan menjauhi dosa-dosanya, terutama dosa
sosial yang nilainya jauh lebih berat dari dosa yang privat.

Mereka tidak menjadikan agama sebagai dasar untuk membangun kehidupan yang lebih baik bukan hanya di akhirat, tetapi di dunia ini dalam berbagai dimensi, terutama di ranah publik dari ekonomi, sosial, politik, hingga pendidikan.

Kondisi ini akan membuat agama kehilangan viabilitasnya. Klaim bahwa bangsa ini
taat beragama bisa-bisa menjadi bumerang yang menghancurkan, jika tidak sekarang mungkin kelak pada masa datang. Karena itu, pengembalian peran agama kepada ranahnya tak perlu diperdebatkan lagi. Artinya, signifikansi rekonstruksi keberagamaan menjadi mutlak dilakukan.

Pengendalian diri

Puasa—dan tidak bisa ditunda lagi—niscaya dikembangkan sebagai momen ke sana.
Puasa sebagai ikon pengendalian diri sekaligus pengembangan moralitas luhur—kejujuran, solidaritas sosial, dan sejenisnya—perlu dilabuhkan dalam kehidupan dan diformulasi sebagai dasar pengembangan sistem yang dapat merawat kelangsungan bangsa.

Tahun lalu kita telah berpuasa. Dua tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, kita
juga berpuasa. Namun, kenyataan kehidupan di sekitar kita tetap morat-marit.
Bangsa ini tetap terpuruk dalam megapersoalan, dari korupsi yang menjangkiti elite hingga politik yang penuh fitnah yang nyaris menjadi tradisi para politisi. Semua ini menunjukkan, kita hanya puasa sebatas lahir. Karena itu, Ramadhan ini harus dijadikan puasa holistik yang mampu menajamkan nurani.
Dengan ketajaman nurani, kita akan merasa risi melakukan hal-hal yang syubhat, yang tidak jelas nilai keluhurannya, apalagi yang jelas merugikan rakyat dan negara.

Abd A'la Guru Besar; Pembantu Rektor 1 IAIN Sunan Ampel, Surabaya

No comments:

Post a Comment