Thursday, April 30, 2015

Surat Sakti Gus Dur

Saya pernah enam kali minta tanda tangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tanda tangan itu menjelma “surat sakti” untuk pengajuan beasiswa “lepas” di berbagai lembaga atau organisasi internasional.


Saya merasakannya ketika mengajukan beasiswa The Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO) yang bermarkas di Rabat, Maroko, The Muslim World League (MWL) yang bermarkas di Makkah, Saudi Arabia, World Assembly of Muslim Youth (WAMY) yang bermarkas di Riyadh, Saudi Arabia, dan lembaga-lembaga lainnya.

Alhamdulillah, melalui “surat sakti”nya, saya bisa kuliah strata satu diUniversitas Al-Qurawiyin Maroko (2003). Sekarang, tahun terakhir penyelesaian program doktor di universitas yang sama.

***

Saya yang anak kampung dengan mudahnya mendapatkan tanda tangan Gus Dur. Padahal dia mantan presiden. Dari mana saya mendapatkan tanda tangan Gus Dur?

Ayah saya kenal Gus Dur saat belajar ngaji di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Keakraban keduanya terus terbina hingga sama-sama dewasa, meskipun ayah saya hanya putra “kiai kampung”, sedangkan Gus Dur putra Menteri agama, cucu pendiri NU. Namun hal itu bagi Gus Dur bukanlah masalah.

Saya berkesimpulan Gus Dur bukanlah orang yang pilah-pilih dalam berteman. Ketika didaulat menjadi Ketua PBNU, sikap Gus Dur tidak berubah cara bersahabatnya dengan ayah saya. Setiap ayah berkunjung ke Jakarta, tidak ada gejala ia dibedakan dengan temannya yang lain.

Begitu juga ketika Gus Dur menjadi presiden. Gus Dur tetaplah Gus Dur. Ia masih sering menelpon ayah, dan beberapa kali mengundang ayah ke istana presiden. Keduanya hanya sekadar untuk ngobrol ala pesantren. Dan ayah saya pun memenuhi undangannya, cukup mengenakan sarung dan sandal, identiknya orang pesantren.

Dan yang terpenting adalah, bahwa Gus Dur tidak pernah membeda-bedakan siapapun tamu yang datang. Ketika saya bertamu kepadanya dan megajukan beasiswa, Gus Dur tidak pernah bertanya, mau dibawa ke lembaga mana tanda tangan saya? Tetapi beliau hanya bertanya, untuk keperluan apa tanda tangan saya? Ketika dijawab untuk mencari beasiswa, beliau langsung bilang, “Iya”.

Dan saya pun mendadak menulis surat yang dibutuhkan dalam bahasa Arab dengan mengggunakan kop pribadi Gus Dur, (Nama Abdurrahman Wahid tinta kuning dan alamat Kantor PBNU tinta hitam). Maka wajar pula dalam surat yang saya tulis terdapat beberapa kesalahan secara nahwu dan sorof, karena ditulis secara mendadak dan terburu-buru. Apalagi waktu itu ia mau keluar
ruangan. Dan saya salutnya, ia ikhlas menunggu surat selesai ditulis dan ditandatanganinya.

Gus Dur, kini, engkau sudah empat tahun pergi menghadap Allah. Insya Allah saya selalu mendoakan kebaikan untukmu, untuk kenikmatanmu di sisi yang Maha kuasa. Meskipun doaku hanyalah “secuil” dari lautan doa bangsa Indonesia, dengan ragam suku-etnis dan agamanya. Bagi saya, belum ada orang mampu menggantikan rendah hatimu dengan semua manusia.

Terima kasih Gus Dur, dengan didukung “surat sakti”, kini saya, anak desa hampir menyelesaikan pendidikan program doktor di universitas tertua di dunia yang berdiri pada tahun 859 M ini, dengan biaya murni beasiswa, dengan tidak merepotkan keluarga di kampung.

Saya yakin, hal ini termasuk amal jariah, yang pahalanya akan terus mengalir sepanjang masa untukmu, apalagi nanti jika ilmu yang saya dapatkan, diajarkan kepada masyarakat luas. []

(Nasrulloh Afandi)

*Nasrulloh Afandi, Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Kedungwungu, Krangkeng
Indramayu, Jawa Barat
Kandidat Doktor Maqoshid Syariah, Universitas Al-Qurawiyin, Maroko.


No comments:

Post a Comment