Tuesday, May 21, 2013

Haji Mabrur Tanpa Haji

Tersebutlah dalam suatu kisah sufi bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari di padang Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW.
Perasaan berjumpa dengan Rasulullah ini memberikan harapan dalam dirinya bahwa hajinya telah menjadi haji mabrur. Namun untuk kepastian, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW: "Siapakah di antara mereka yang diterima hajinya sebagai haji mabrur wahai Rasulullah?" Rasulullah SAW seraya menarik napas dalam-dalam, menjawab: "Tak seorangpun dari mereka yang diterima hajinya, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu".
Serta merta sang haji tersebut kagum dan terkejut. Betapa tidak, ia tahu persis bahwa tetangganya itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa tahun ini ia tidak menunaikan ibadah haji.
Dengan digeluti perasaan sedih, dadanya serasa sesak, ia terbangun dari tidurnya. Sepanjang melakukan wukuf sang haji tersebut mengintrospeksi diri, memikirkan dalam-dalam apa arti di balik mimpi tersebut.
Sekembali dari Mekah, ia segera menemui tetangganya si tukang cukur. Ia menceritakan segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita yang paling ingin disampaikan adalah perihal diri si tukang cukur itu sendiri Dengan sikap keheranan, ia pun bertanya : "amalan apakah yang anda telah lakukan sehingga anda dianggap telah melakukan haji mabrur?"
Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita: "bahwa sebenarnya, ia telah lama bercita-cita untuk dapat menunaikan ibadah haji. Dan telah bertahun-tahun pula ia mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya telah cukup, dan tibalah pula masa untuk berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim tetangganya ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Maka si tukang cukur termaksud menyumbangkan hampir keseluruhan biaya yang telah bertahun-tahun dikumpulkan itu untuk membiayai anak yatim tersebut, sehingga ia gagal menunaikan ibadah haji".

Sejak itu, pak haji baru sadar, bahwa ternyata kita sering salah langkah dalam upaya mencari ridha Allah. RidhaNya terkadang diburu dengan semangat egoisme yang berlebihan dan tanpa disadari justeru bertolak belakang dengan keridhaanNya. Dengan kata lain, betapa ibadah-ibadah kita sering ternoda oleh lumpur kepicikan egoisme pelakunya, jauh dari nilai-nilai "kasih sayang" (rahmatan lil'alamin).
Tidakkah terpikirkan oleh mereka yang berhaji, khususnya yang berhaji sunnah (berhaji lebih dari satu kali), akan nasib berjuta-juta anak yatim akibat "musibah" perekonomian saat ini? Akibat krisis ini telah berjuta manusia yang kehilangan "induk" (pegangan) dalam hidupnya. Atau belumkah masanya kaum Muslimin untuk meletakkan prioritas-prioritas dalam kehidupannya sebagai ummat? Kalaulah misalnya, dari sekian ribu Muslim yang berhaji sunnah (lebih dari sekali) ditunda melakukannya, dan uang ongkos haji tersebut dimanfaatkan untuk biaya sekolah anak-anak ummat ini, batapa cerahnya masa depan kita.
Masalahnya, sekali lagi, sampai di mana pengaruh ibadah-ibadah yang kita lakukan dalam kehidupan sosial kita? Mungkin para penda'i perlu kembali mensosialisasikan S. Al Maa'uun kepada ummat ini. Abu Bakar ditanya tentang haji mabrur, beliau menjawab: "Lihatlah jikalau anda telah kembali ke Madinah". Jawaban ini membuktikan bahwa haji mabrur hanya dapat diidentifikasi pada saat pelaku haji berada di kampung halaman masing-masing. Sampai di mana "predikat haji" tersebut mampu mendongkrak kesalehan, baik dalah kehidupan fardi maupun kehidupan jama'inya.
Akhirnya, kepadaNya semata kita berserah diri. Semoga haji kita dapat merubah moralitas kita menuju pada tingkatan yang lebih ilahiyah sifatnya tanpa mengurangi rasa kepedulian terhadap "mas'uliyah ijtima'iyah" (tanggung jawab sosial) kita terhadap sesama. Dengan kata lain, semoga ibadah haji dapat mengantar pelakunya menjadi insan-insan taqi (bertakwa), tidak saja pada tataran individual namun juga pada tataran sosialnya.

M. SYamsi Ali


No comments:

Post a Comment