Wednesday, February 20, 2013

Gairah Kerja Ketika Hujan

Hujan sedang lucu-lucunya sekarang. Terlebih lagi kalau kita melihat tetes demi tetesnya jatuh menimpa kolam atau danau yang tenang. Butiran air dari negeri diatas awan itu seperti sedang melompat-lompat dipermukaan bergelombang. Dingin. Namun romantis. Apalagi jika telinga kita juga diizinkan untuk mendengar rintiknya. Seperti nyanyian dari sorga. Tempat para malaikat bertasbih tanpa henti. Sambil menantikan orang-orang yang salih kembali pulang ke kampung halaman sejatinya. Tapi, lucunya hujan itu tidak bisa kita rasakan. Khususnya ketika kita membayangkan, betapa hari itu harus pergi kekantor dengan susah payah. ‘Oh hujan. Bisakah engkau berhenti sejenak. Hingga aku sampai di tempat kerjaku…’ begitulah kita membatin. Anda tidak seperti itu? Saya ragukan itu. Sekalipun Anda berangkat kekantor menggunakan mobil sendiri. Benar begitu?

Ada sebuah kisah kecil yang saya senang jika Anda berkenan menyimaknya. Dongeng, jika Anda lebih suka menyebutnya demikian. Mungkin Anda belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya. Mungkin juga sudah. Tak masalah, bukan? Toh kita bisa menentukannya nanti. Setelah saya menuntaskan kisahnya. Ini tentang seseorang yang tengah melamar pekerjaan. Seperti bagi kebanyakan orang lainnya, pekerjaan yang dilamarnya itu sangat penting sekali baginya. Hari ini, adalah kesempatan yang hanya sekali baginya untuk meyakinkan calon bossnya bahwa dia adalah kandidat yang paling tepat untuk posisi kosong itu.

Sudah sejak kemarin segalanya dipersiapkan. Dipilihnya kemeja dan celana panjang terbaiknya. Disemirnya sepatu yang hanya satu-satunya. Dicukurnya rambutnya. Dipotongnya kuku di jari jemarinya. Semua. Dinantikannya hari yang bersejarah itu dengan penuh harap. Bahkan ketika hendak tidur, doa terakhirnya adalah;”Tuhanku, jadikanlah besok hari paling bersejarah yang akan selalu kukenang dalam permulaan karirku…..”

Keesokan paginya, dia mendapati hujan yang tiada henti sejak semalam. Dia cemas. Namun masih berharap hujan itu bersedia jeda sesaat. Setidaknya, selama dia dalam perjalanan sehingga bisa tiba ditempat wawancara tepat waktu, dan tentunya dengan tetap rapi. ‘Oh hujan. Bisakah engkau berhenti sejenak. Hingga aku sampai di tempat tujuanku…’ begitu dia bergumam dalam harap dan cemasnya.

Sungguh. Dia sama sekali tidak mengharapkan keajaiban. Namun, bagaimana mungkin hujan yang disertai badai itu bisa berhenti begitu saja jika bukan dengan keajaiban? Sayangnya, kejaibain itu mungkin memang tidak ada. Sehingga tidak soal berapa kali dia berdoa dan meminta, hujan itu tidak juga kunjung reda. Tak ada payung. Tak punya jas hujan. Tak ada yang bisa dia lakukan.

Akhirnya, dia memutuskan untuk membuka kembali seluruh pakaiannya yang sudah sedemikian rapi itu. Lalu dia berganti dengan yang seadanya. Dilipatnya pakai terbaiknya. Lalu dimasukkannya kedalam sebuah tas ransel. Setelah itu, dia pergi ke belakang rumah. Entah apa yang dilakukannya. Namun, ketika kembali dia menenteng selembar pelastik transparan yang telah dikotak katiknya untuk menjadi sebuah jas hujan buatan tangan. Diselendangkannya ransel berisi pakaian. Dan ditentengnya sepatu mengkilap yang telah dimasukkan kedalam kantung keresek. Rupanya, dia tidak mau menyerah kepada hujan lebat.

Banjir. Kata berita di tivi. Dia tidak terlampau peduli. Macet. Kata tukang ojek. Dia tidak menghiraukannya. Tekadnya sudah bulat. Harus datang memenuhi jadwal wawancara itu. Maka, dia pun menembus lebatnya hujan disertai petir dan angin kencang itu.

Benar saja. Banjir dimana-mana. Macet. Meski sudah biasa. Tapi kali itu tidak ada duanya. Tapi semua uangnya sudah diserahkan kepada tukang ojek asal dia mau mengantarnya hingga ketempat tujuan. Uang yang biasanya cukup untuk perjalanan pulang pergi plus makan siang kini hanya cukup untuk sekali jalan. Tapi. Tekadnya tidak lagi bisa dibuat surut ke belakang. Dia memutuskan untuk terus berjuang.

Perjalanan hanya tinggal sedikit lagi. Tak lama lagi dia tiba ditempat wawancara. Ojek pun berhenti. Dan dia pun turun. Lalu berlari di trotoar yang tergerus aliran air. Dia. Tidak melihat jika bibir trotoar itu roboh, sehingga untuk sesaat dia tidak menyadari apapun kecuali semua pemandangan sudah berubah menjadi gelap. Gemuruh sesaat, lalu hening berkepanjangan……………………..

“Terpeleset ke kali kecil yang terendam banjir,” demikianlah tayangan ulang dalam pikirannya ketika kesadarannya kembali pulih diruang kecil yang tak lain adalah kantor satpam.

“Saya mau wawancara Pak,” katanya kepada Satpam. Namun, kedua satpam yang bertugas tidak mempercayainya. Mana ada orang yang mau wawacara hanya mengenakan pakaian seadanya. Pakai sandal jepit pula. Melamar kuli angkut sih, mungkin. Tapi ini adalah gedung perkantoran elit. Takkan ada orang yang diizinkan masuk dengan pakaian seperti itu. Sudah basah kuyup pula.

“Pakaian dan sepatu saya hanyut,” dia berusaha menjelaskan. Namun, penjelasannya malah membuat orang lain mengira jika kepalanya terbentur batu ketika terpeleset tadi.

“Semua pakaian saya copot dan dimasukkan kedalam ransel,” katanya lagi. Hujan badai saja bisa dia taklukkan. Masa kedua satpam itu tidak bisa diyakinkannya.

“Sudahlah kamu nggak usah ngelantur,” kata satpam itu. “Minum tuch kopinya biar badan kamu nggak kedinginan.” Lanjutnya.

“Nanti kalau hujannya berhenti kamu bisa pergi,” timpal satpam satunya lagi. Tidak diragukan jika keduanya sangat berbaik hati. Lelaki itu menjelaskan kronologisnya. Dan kedua satpam itu menjelaskan prosedur dikantornya.

Lelaki itu bersikeras untuk mengikuti wawancara. Kedua satpam itu memberi ultimatum jika mereka bisa saja mengusirnya. Lelaki itu merasakan benar kebaikan kedua satpam itu kepada dirinya selama ini. Tapi dia membutuhkan satu kebaikan lainnya. Hanya satu lagi. Yaitu, mengizinkan dirinya masuk ke kantor megah itu untuk mengikuti wawancara pentingnya.

Satpam itu mengizinkannya. Alhamdulillah. Tapi dengan syarat. Ada bukti kalau dia diundang. Dan mengenakan pakaian yang sepantasnya untuk wawancara dengan orang penting di perusahaan. Dan karena semua persyaratan itu tidak bisa dipenuhinya. Maka satpam itu, tidak bisa mengizinkannya masuk. Hanya nilai kemanusiaan yang membuat mereka memberi tempat untuk berteduh.

“Kalau begitu, bisakah saya meminta kertas dan pulpen?” pinta lelaki itu. Satpam yang lebih muda memandang kearah satpam yang lebih senior. Setelah saling bertatapan beberapa saat, satpam senior itu mengeluarkan bunyi ‘hemh’ pendek. Arti bunyi ‘hemh’ itu baru ketahuan setelah satpam muda menyerahkan selembar kertas dan sebatang pulpen
pada lelaki itu.

Setelah berterimakasih. Lelaki itu pun mulai menulis. Khusyuk sekali terlihat dirinya menuliskan sesuatu. Setelah sekitar lima belas menit, dia membaca ulang semua tulisannya. Dibaca ulangnya sekali lagi. Dan sekali lagi. Lalu, dia pun melipat kertas itu. Dibagian luarnya dia kembali menulis “Kepada. Yth. Bapak…….. di tempat.”

“Tolong sampaikan surat ini kepada beliau ya Pak…” pintanya kepada Satpam. Senyum pak satpam segera pudar ketika dibacanya nama yang tertulis disana. “Kamu kenal sama beliau?” tanyanya.

“Belum,” jawab lelaki itu. “Tapi seharusnya saya bertemu beliau untuk wawancara…” lanjutnya. Nada suaranya terdengar berat. Tapi wajahnya memancarkan ketegaran.
“T-tapi….” Kata satpam itu. Wajahnya menyiratkan kesan bimbang. Atau tidak enak. Atau semacamnya.

“Saya mengerti Pak,” kata lelaki itu. “Memang saya tidak layak menemui beliau dalam keadaan seperti ini.” Lanjutnya. “Tak masalah. Tolong sampaikan saja surat saya.”

Lelaki itu menyalami kedua satpam itu. Dan mengucapkan terimakasih atas kebaikan mereka menolongnya dari seretan air deras di kali kecil pinggir jalan itu. Berterimakasih atas secangkir kopi nikmat yang membuat tubuhnya kembali hangat. Terimakasih atas kebaikan mereka memberi tempat untuk berteduh. Dan berterimakasih, jika mereka berkenan menyampaikan surat itu. Lalu dia pun berpamitan.

“Hujan masih lebat Mas,” kata satpam itu. “Tunggu saja sampai reda….” “Tidak ada yang tahu kapan hujan akan berhenti, Pak,” jawab lelaki itu. “Jika saya berdiam diri disini, maka saya akan kehilangan kesempatan yang mungkin bertebaran ditempat lainnya.” Katanya.

Kedua satpam itu tertegun. Entah karena merasa tidak enak. Atau karena terhenyak oleh kalimat yang dikatakan oleh lelaki itu. “Tidak ada yang tahu kapan hujan akan berhenti. Jika saya berdiam diri disini, maka saya akan kehilangan kesempatan yang mungkin bertebaran ditempat lainnya.” Atau…mungkin karena kedua-duanya.

Dia pun berjalan menembus hujan lebat itu. Berjalan sendirian. Karena ditengah hujan sederas itu, tidak ada orang yang suka berada dijalanan. Tubuhnya segera ditelan oleh gelapnya pandangan terhalang kabut. Seperti menghilang ditelan oleh gemuruh hujan disertai kilatan dan gelegar petir yang saling bersahutan.

Menurut pendapat Anda. Apakah ini kisah hayalan? Atau rekaan belaka? Atau campuran keduanya? Jawaban Anda bisa benar dan bisa saja salah. Tapi bukan itu yang paling penting bagi kita. Anda tidak perlu susah payah memikirkan jawabannya. Karena yang lebih penting dari itu adalah menjawab pertanyaan ini; “Ketika perjalanan ke tempat kerja Anda tengah diguyur hujan, hati Anda mengatakan apa? Ketika hujan menghalangi perjalanan Anda ke tempat kerja, Anda melakukan apa? Dan ketika hujan tengah lebat-lebatnya dihari kerja; Anda mensyukuri apa?”

Jawaban untuk ketiga pertanyaan itu yang lebih penting bagi kita. Dan jika Anda belum menemukan jawaban yang menyebabkan gairah kerja Anda semakin menggelora ketika hujan melanda; maka mungkin, Anda perlu merenungkan lagi. Betapa orang lain sedemikian gigihnya untuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan kita yang sudah memiliki pekerjaan ini, sedemikian mudahnya dihentikan oleh hujan.

Peristiwa itu sudah lama berlalu. Lelaki itu sudah belajar melupakan kegagalannya. Kegagalan yang bukan karena dirinya buruk. Melainkan karena alam telah menegaskan kepadanya bahwa Tuhan, berkuasa untuk melakukan apa saja sesuai kehendakNya. Tapi. Lelaki itu tidak kecewa karena dia. Sudah melakukan hal terbaik semaksimal yang dia bisa. Peritiwa lama. Yang masih nikmat untuk dikenang. Dia bangga pada dirinya sendiri yang pantang menyerah dan gigih dalam berjuang. Makanya, dia masih berwajah cerah ketika teleponnya berdering.

“Hallo…” sapanya. Dia mendengarkan suara balasan dari seberang. Setelah itu, dia bersujud. Sepertinya tidak percaya pada apa yang didengarnya di telepon. Suratnya yang dititipkan kepada satpam beberapa bulan lalu itu sampai kepada yang dituju. Dan sekarang, beliau berada diujung telepon. Untuk mengatakan; “Besok, kamu mulai bekerja di kantor kami…..”

Sahabatku, musim hujan adalah saat yang paling tepat untuk menguji kualitas profesionalime kita. Dan disaat kebanyakan orang melemah daya juangnya, maka sedikit orang yang gigih akan tampil seperti sinar mentari yang menembus temaramnya jiwa diliputi mendung dan curah hujan. Pantaslah jika Rasulullah pernah menasihatkan bahwa “Hujan itu adalah rahmat.” Khususnya bagi orang-orang yang bersyukur. Dan tetap gigih menjalankan amanah yang
diembannya. Serta pantang menyerah, dalam memperjuangkan hidupnya.

Kita. tidak akan rela jika kantor mengurangi bayaran gara-gara hujan. Makanya adil jika kita juga tetap bergairah ketika berangkat dan bekerja, meskipun cuaca tengah diguyur hujan. Makanya. Ayo teman. Tetaplah bergairah. Untuk bekerja. Meskipun kita sedang menghadapi musim hujan yang sedang lucu-lucunya ini. Mungkin berat ketika kita menjalani aktivitas kerja dimusim seperti ini. Mungkin gagal usaha kita kali ini. Tapi, boleh jadi. Apapun yang kita lakukan selama ini tetap tertulis dalam kitab yang mencatat setiap amal perbuatan. Dari catatan di kitab itu, ada yang Tuhan kembalikan hasilnya didunia. Dan ada yang disimpanNya untuk bekal kita diakhirat kelak. Siapa tahu, kan?

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!


Catatan Kaki:
Hujan hanya menjadi rahmat bagi orang yang tetap bersyukur. Tetap berikhtiar. Dan tetap memegang teguh tanggungjawabnya. Namun, rahmat itu tidak bisa ditangkap oleh orang yang berpikir, dan bertindak sebaliknya.



No comments:

Post a Comment