Monday, January 28, 2013

ISTANA IMPIAN KAMI BERBEDA

Hmmm, bagus sekali rumah ini!

Sulit membayangkan, bagaimana seseorang mampu membangunnya. Menjadikannya sebagai istana impian yang nyata.

Seorang diri!

Tidak! Tentu kau membutuhkan bahan dan orang-orang untuk membangunnya. Tapi, semua berasal dari apa yang kau punya, dan tentu saja, yang kau bicarakan adalah uang.

Mungkin karena aku miskin, jadi memimpikan istana - sekedar memimpikannya - sekalipun merasa tak sanggup.


Ah, apa yang kau sanggup?

Nah, hati kecilku selalu mengulang hal yang nyaris sama. Tak bersahabat, mencerca diriku sendiri. Tak seharusnya ia begitu.

“Rumahmu ini, bagus sekali!” Aku berkata padanya. Dia tersenyum.

“Benarkah?”

“Ya, bagus sekali! Tentu ayahmu menghabiskan uang yang tak sedikit untuk mendirikan istana ini!” Ujarku. Kedua mataku mendahului kaki-kakiku untuk berjalan-jalan mengitari semua tempat di rumah ini.

“Istana?”

“Bagiku ini adalah istana. Kau tentu sangat senang tinggal di sini. Semuanya tampak menyenangkan dan, apa yang tak tersedia untukmu?” Ujarku dan dia tersenyum lagi. Senyumnya manis, lalu aku berpikir, semua penghuni istana memang mempunyai senyum yang manis. Rasanya memang tak sulit untuk tersenyum dengan manis ketika seseorang tinggal dengan nyaman dan bahagia di dalam istana seperti ini.

“Tentu senang jika aku bisa melihatnya seperti itu! Tapi, aku memang melihatnya biasa saja. Kau bahkan mungkin tak percaya jika aku beritahu padamu bagaimana semua ini terlihat bagiku!”

“Kau tak perlu merendah.” Aku menyela. “Aku benar-benar mengagumi istanamu ini!”

“Apa yang kau kagumi?”

“Yang aku kagumi adalah, ayahmu sanggup membangunnya! Bagaimana cara istana ini dibangun, itu yang membuatku kagum. Seorang yang miskin seperti aku bahkan membangunnya dalam angan-angan pun tak bisa!”

“Tentu kau bisa membangunnya!”

“Bagaimana mungkin? Kau membutuhkan semuanya, tapi kau tak mempunyai apapun!”

Dia tersenyum lagi. Sepertinya dia tak pernah bosan untuk tersenyum. Mungkin jika aku mempunyai ayah yang membangunkan untukku istana seperti ini, atau mungkin yang lebih megah, aku juga akan selalu tersenyum seperti itu.

“Ayahku sebenarnya tak pernah bisa membangunnya.” Kata Dia.

“Kau tak sedang mengatakan jika istana ini tiba-tiba ada begitu saja, atau seseorang yang baik hati telah menghadiahi istana ini pada kalian bukan?”

“Tentu saja tidak! Ah, sudahlah! Kau duduklah dimana saja kau ingin, aku akan membuatkanmu minum!”

“Tak perlu repot-repot!”

“Aku harus menyuguhi temanku ini minuman bukan? Tak sopan jika aku membiarkanmu kehausan.”

Aku mengangguk akhirnya. Dia berlalu meninggalkanku, berjalan melalui sebuah pintu. Aku berpikir untuk mengikutinya, dan selalu mataku mendahului langkahku atau sesekali menarik langkahku ke tempat yang menarik perhatiannya.

Aku pernah membaca dongeng tentang seorang anak yang merasa takjub ketika berada dalam sebuah istana megah. Semua hasrat dikerahkan untuk mengungkap kekaguman yang luar biasa. Rasanya aku menjadi seorang anak dalam dongeng itu sekarang. Mungkin juga saat ini aku memang tengah bermimpi.

Banyak sekali pintu-pintu berwarna cokelat mengkilap, dan pada setiap pintu dipasang kain gordin yang mewah, serta gagang pintu berwarna emas. Bentuknya bagus. Dinding-dinding itu dicat dengan warna-warna yang sangat indah. Lalu aku menangkap sosok dibawahku. Kilap lantai itu yang menggambarnya.

Langkahku sampai pada sebuah ambang pintu sebuah ruang. Dia di dalam sana dan sesuatu tengah dilakukannya. Terdengar bunyi sendok beradu dengan dinding gelas. Ruang untuk apa ini.

“Ini dapur?” Aku bertanya.

Dia menoleh dan kembali tersenyum. Ini bahkan lebih bersih dari ruang tamu di rumahku.

“Ya, ibuku memasak makanan untuk kami di sini.” Sahutnya. Dia beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan menuju sebuah meja dengan beberapa kursi mengelilingnya. Meletakkan gelas di sana dan mempersilakanku dengan isyarat tangan terbukanya.

“Terima kasih.”

Aku dan dia duduk berbincang. Aku terus dengan pembicaraan tentang istana ini sebagaimana hasratku, sedang dia selalu mengarahkanku untuk berbicara tentang hal lain. Sepertinya ia tak berminat. Aku mulai merasa, dia seseorang yang aneh. Setiap orang selalu bangga dengan apa yang dimilikinya. Terkadang mereka menceritakan pada orang lain bahkan pada saat tak ada seorangpun yang menanyakannya.

“Suatu hari, aku juga ingin bertamu ke rumahmu!” Kata dia ketika aku berpamitan.

“Hanya rumah sederhana!”

“Aku akan ke sana!”

——

“Ah, nyaman sekali rumahmu!” Dia berkata ketika memasuki ruang tamu rumahku.

“Aku bahkan tak kerasan tinggal di sini!” Aku menjawabnya dengan sedikit prasangka, ucapannya hanya untuk menyenangkanku saja.

“Kau aneh!” Ujarnya. “Sungguh aneh jika kau tak kerasan tinggal di rumah yang damai ini! Bagiku melihatnya saja sudah sangat menyenangkan, tak terbayang jika aku tinggal di sini, pasti luar biasa!”

“Damai?”

“Ya! Rumahmu tampak seperti tempat beristirahat yang nyaman di tengah taman yang indah! Aneh bukan jika kau tak kerasan tinggal di sini?” Dia tersenyum lagi. “Akan senang sekali jika ayahku membangun rumah yang seperti ini.”

“Kau tak sungguh-sungguh bukan? Kau bercanda dengan kata-katamu barusan?”

“Tidak, aku sungguh-sungguh! Aku menyukai rumahmu!” Ujarnya. Aku tak percaya mendengarnya. Ia pasti hanya untuk menghiburku saja.

“Ah, andai aku akan tinggal di sini…”

“Aku rasa kau yang aneh! Aku saja membayangkan tinggal di rumahmu!” Sahutku. “Mari, akan aku tunjukkan semua yang ada dalam rumahku ini!”

“Aku tak melihat orang tuamu?”

“Ayahku bekerja di tempat yang menjual tanaman bunga. Kau bisa membeli tanaman bunga apa saja di sana. Ibuku menjual kerajinan yang dibuatnya sendiri di pasar. “

“Sekarang aku tahu kenapa rumahmu tampak seperti rumah di tengah taman. Pasti ayahmu yang membuatnya begitu!”

“Ayah dan ibu memang senang menanam pohon dan bunga-bunga.”

“Mereka melakukannya bersama-sama?”

“Terkadang aku membantu mereka!”

“Kurasa kalian keluarga yang bahagia!” Ujarnya. “Aku tahu, selalu ada masalah dalam sebuah rumah. Jika yang satu selesai, maka akan datang lagi masalah baru! Tapi kau tahu, jika kau datang pada sebuah rumah, dan kau merasa nyaman disana, ada damai yang menyambutmu, maka sedikitnya kau bisa meyakini jika penghuninya hidup dalam keadaan damai! Masalah yang datang pada mereka membuat mereka semakin tahu cara menghadapi masalah lain yang datang kemudian…”

Aku memaksakan senyum mendengar perkataannya. Aku mulai merasa dia sangat berlebihan dengan kata-katanya tentang rumahku, dan sekali lagi aku yakin dia hanya ingin menyenangkanku saja. Sudah jelas rumahnya seperti istana, dan aku merasakan kenyamanan dan kedamaian begitu datang tempo hari. Bagaimana mungkin dia mengatakan rumah ini sebagai rumah yang sangat damai. Aku rasa memang dia yang aneh, bukan aku.

Aku membawanya keseluruh tempat yang ada dalam rumahku. Senyum tetap tergambar di bibirnya. Aku lalu membawanya ke dapur, dimana ada tungku dengan abu yang berhamburan di depannya, amben kecil tempat ibu mengiris sayuran dan memarut kelapa atau yang lainnya jika sedang memasak, tumpukan kayu di samping tungku dan rak bambu yang dipenuhi peralatan memasak yang kesemuanya hitam pada bagian yang selalu terkena api dari tungku.

“Sebagaimana kau menyukai rumahku, aku juga menyukai rumahmu! Seperti kau, aku juga tak keberatan tinggal di rumah ini! Aku bahkan langsung kerasan begitu datang tadi!” Katanya sembari meraih gelas berisi air teh yang kuhidangkan didepannya, pada sebuah meja kecil di ruang tamu. Sesaat kemudian dia meminumnya dengan hati-hati.

“Teh ini rasanya enak sekali. Aku pernah meminum teh seperti ini, tapi aku lupa di mana. ” Ujarnya lagi. “Aku bahkan tak keberatan jika kita bertukar rumah!” Kata dia lagi sambil tertawa kecil.

“Kau bercanda sedari tadi…” Aku menimpali dengan maksud mencari tahu apakah ucapannya sungguh-sungguh, atau sekedar untuk menyenangkanku saja.

“Aku bercanda? Tidak! Aku mengatakan yang sebenarnya! Kau boleh kagum dengan rumahku, tapi aku kagum dengan rumahmu! Mungkin istana impian kita memang berbeda!”

“Tak ada yang akan mengatakan aneh jika orang mengagumi istanamu, tapi aneh jika orang yang tinggal di sana malah mengagumi rumah yang seperti ini!” Kataku.

Dia sekali lagi tersenyum. “Aku ceritakan sesuatu padamu. Ayahku membangun apa yang kau katakan sebagai istana. Ya! Ayahku membangun dengan uang yang dimilikinya. Menurutku itu bukan sesuatu yang mengherankan jika orang yang memiliki uang bisa melakukan apa saja, bahkan membuat istana! Hanya saja ayahku melupakan satu hal, bahwa ada yang tak bisa dibangun cukup hanya dengan uang. Aku rasa ayahku bukan apa-apa jika dibanding dengan ayahmu yang bisa membuat rumah ini seakan tempat beristirahat yang menyenangkan di tengah taman yang indah. Ayahku hanya bisa membangun istananya saja, dia tak membangun pula kebahagiaan dan kedamaian di sana. Kami tercerai berai, mungkin belum tentu sebulan sekali ayah pulang kesana! Begitu juga dengan ibu! Kakakku entah pergi kemana! Aku kesepian di sana. Aku tak tahu apa kau akan mengatakan menyenangkan tinggal di sana jika menjadi aku…”

“Kau membayangkan ayahku dengan uang dan istananya. Aku membayangkan ayahmu dengan rumah di tengah taman yang damai ini. Aku hampir tak percaya kau mengatakan tak kerasan di sini. Yang telah dilakukan ayahmu ini luar biasa! Aku tak yakin jika kau sedang bermasalah dengan ayah atau ibumu…”

“Aku memang tak memiliki masalah, kami semua baik-baik saja. Ayahku tak pernah membuatku kecewa.”

“Istana itu memang megah dari luar, aku pun akan menyukainya jika aku bukan orang yang tinggal disana. Tapi kita tak pernah tahu ada surga atau neraka didalamnya! Kau akan sama seperti aku yang mengagumi rumahmu ketika kau tinggal disana dengan apa-apa yang terjadi denganku.”

“Tapi bukankah kau jadi bebas disana?” Aku bertanya sambil memikirkan kembali pertanyaanku. Rasanya benar, kan?

“Ya, bebas! Tapi aku selalu menginginkan saat aku duduk menghadapi buku-buku, ada ayah dan ibu duduk dengan cangkir teh di tangan merekam asing-masing dan saling bicara. Ketika aku ingin bertanya, mereka ada untuk menjawabnya, ketika aku tak bisa melakukan sesuatu, mereka ada untuk membantuku, dan mereka juga ada untuk mengingatkanku, ketika aku melakukan kesalahan. Semuanya! Dalam semua suasana. Aku selalu ingin berkumpul dengan mereka pada malam dengan cerita kami masing-masing tentang siang harinya!”

“Aku memiliki suasana seperti itu.” Kataku. Aku tak tahu, karena bagiku itu biasa saja. Tak ada yang istimewa. Aku bahkan seringkali bosan mendengar pembicaraan ayah dan ibu padaku.

“Aku akan senang dan bersyukur sekali jika aku memiliki suasana yang kau miliki. Aku yakin kau pasti senang.”

Aku tersenyum. Sebenarnya tidak, tapi sejenak kemudian ada sesuatu yang mencuat dalam pikiranku. Sederhana yang diinginkannya, yang dia katakan sebagai hal yang luar biasa, dan sebenarnya aku memilikinya! Tapi entahlah, aku merasa tak memiliki apapun.

“Istanaku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan damainya hidup yang kau miliki. Kau tahu, aku tak memiliki itu di sana!”

Aku diam dan berpikir keras.

Magelang, Desember 2012

“Kita hanya saling memandang, semuanya tak selalu seperti yang sebagaimana terlihat.”

No comments:

Post a Comment