Tuesday, December 11, 2012

Beberapa Cerita (lagi) di Buku Dahlan Juga Manusia

Anak Buah Pejuang, Bos Memberi Teladan

Berbagai kisah dari Ita – yang bernama asli Siti Nasyi’ah di Buku Dahlan Juga Manusia, masih semarak mewarnai hari-hari saya dan suami. Menjadi topik diskusi menarik yang teramat seru, menghibur, dan sarat pembelajaran. Geleng-geleng kepala karena salut menyimak kinerja Ita dan rekan-rekannya di Jawa Pos yang sangat “tidak itungan”, gigih dan tak kenal lelah.

Pastilah mereka, para wartawan itu tidak hanya bekerja untuk uang. Karena jika itu pertimbangan utamanya, tentulah Ita dan rekan-rekannya sudah “kabur” tak sampai sebulan di Jawa Pos. Mereka masih punya banyak pilihan pekerjaan lain, apalagi yang direkrut Jawa Pos saat itu rata-rata adalah para lulusan berprestasi atau rangking di beberapa universitas ternama, semacam Unair, UGM, dst. Kecuali Ita tentunya, yang saat itu masih tercatat sebagai mahasiswi Stikosa-AWS ( Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya) magang yang terus diperpanjang. Tanpa kontrak dan pernyataan secara lisan atau tulisan, hanya berupa tugas demi tugas yang datang silih berganti. Semakin menantang, dan lama-lama kian menarik rupanya.

Terutama bagian redaksi yang jam kerjanya tidak menentu. Bagi koran harian pagi, setelah hunting berita seharian, siang mereka harus mengetik 2 atau 3 berita untuk diserahkan ke redaktur masing-masing. Tidak selesai sampai di situ. Karena di redaktur itulah seleksi awal dimulai. Apakah berita yang ditulis bisa dimuat atau tidak.

Seorang wartawan akan bersaing ketat dengan sesamanya agar beritanya ditampilkan di koran dan jadi bacaan publik. Adalah kebanggaan tersendiri jika beritanya dimuat. Setiap wartawan akan memilih berita paling bagus dari yang bagus untuk bisa lolos seleksi dari redaksinya.

Sebagai contoh, untuk desk Surabaya yang demikian luas, dibagi beberapa pos. Ada pos Politik Jatim, Politik Surabaya, Pos Pemprov, dan Pos Pemkot. Di pos Hukum, ada pos Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, dan Kejaksaan/Pengadilan Tinggi. Ada juga pos Kriminal. Pada pos tersebut masih dibagi wilayah liputan di Polres, Polwil, hingga Polda. Tapi di era 1991-1994 itu tak banyak wartawan yang direkrut, sehingga banyak wartawan yang ditugasi dengan pos rangkap.

Karena tingkat kriminanalitas cukup tinggi dan luas objek liputannya, maka Jawa Pos membekali wartawan kriminal dengan sebuah HT.

Dengan alat itu JP bisa melacak kejadian-kejadian yang up to date. Karena selain alatnya sama dengan yang dipakai polisi, frekuensi yang dipakai kepolisian “dipantau” Jawa Pos. Jadi dengan HT tersebut, nyaris semua kejadian terekam semua tanpa ada yag lolos dari pantauan.

Dampaknya wartawan kriminal tak dapat bersantai. Polisi berganti-ganti shift, wartawan Jawa Pos itu-itu aja dari pagi hingga malam. Otomatis wartawan Jawa Pos jadi dekat dengan polisi dari tingkat paling bawah hingga jendral sekalipun. Karena setiap kejadian selalu ada dan muncul. Tak peduli siang, sore, malam atau dini hari sekalipun….:)

Karena banyaknya pos, otomatis berakibat ketatnya seleksi yang bisa dimuat di Jawa Pos. Bagus-bagusan mencari berita dan memancing isu. Tentu isu yang bertanggungjawab, karena Pak Bos sering mengancam. Jangan membuat berita yang tidak dapat dipertanggunjawabkan. Jangan sampai karena berita yang diangkat, Jawa Pos menuai masalah.

Saat it, tidak ada ceritanya wartawan Jawa Pos berjalan bersama wartawan media lain. Yang terlihat adalah wartawan Jawa Pos yang selalu menempel dengan sumber berita. Di semua pos dan semua lini, tanpa kecuali. Itu karena doktrin Pak Bos yang mewajibkan wartawannya menyajikan berita terdepan. Berita yang tak diendus oleh media lain.

Seiring pertumbuhan dan perkembangan Jawa Pos, khusus bagian redaksi diberikan Tunjangan Prestasi. Sebuah insentif atau semacam bonus bagi wartawan yang beritanya berhasil ditayangkan, utamanya yang masuk headline (HL) yang tunjangannya mencapai Rp. 750.000,- Nilai yang terbilang cukup besar saat itu.

Tunjangan Prestasi ini jelas semakin memacu semangat semua wartawan untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan.

Di samping mendapatkan SDM yang adalah pejuang sejati, Pak Bos juga sosok yang gila kerja. Suatu ketika Pak Bos berkata ”Saya akan berlari, karena itu kalian harus ikut berlari. Yang tidak ikut berlari, percayalah akan tertinggal”. Sejak itu semua berlari.

Kali lain Pak Bos menggelorakan optimisme. Suatu hari dalam ajang bengkel ( pelatihan tentang ilmu jurnalistik dari Pak Bos ke anak buahnya ) Pak Bos juga mengatakan ”Jawa Pos akan menyalip Surabaya Post. Yaa……mungkin sepuluh tahun lagi” ujarnya. Sejarah akhirnya mencatat, Jawa Pos berhasil mengungguli Surabaya Post kurang dari lima tahun!

Pak Bos-nya memegang kendali dari proses produksi surat kabar dari hulu sampai hilir. Salah seorang wartawan, Roso Daras yang turut memberikan komentar pada buku ini mengatakan, sebagai satu-satunya wartawan yang hampir setengah tahun bermukim di mushola kantor, ia merasakan kehadiran Pak Bos-nya dari pagi hingga mesin cetak berputar dini hari. Dan jam 7 pagi Pak Bos sudah terlihat rapi di meja kerjanya lagi.

Menghadapi tipe pemimpin dengan karakter seperti itu, yakinlah sebagai anak buah, tidak punya celah untuk gegabah, sengaja lengah atau berjiwa lemah.

Pelajaran yang bisa dipetik adalah, sebagai atasan atau pimpinan, jelas bahwa Dahlan Iskan tidak hanya bisa memerintah, tapi juga ikut bekerja keras dan memberikan contoh. Bahkan sebagai bos, ia telah bekerja lebih keras dari anak buahnya sekalipun.

Di sisi lain, Dahlan Iskan dengan gaya kepemimpinannya yang nyleneh bagi sebagian orang, namun juga ”pemain layang-layang” yang handal. Memanage – mengatur anak buah adalah hal yang gampang-gampang susah atau sebaliknya. Istilah layang-layang saya anggap paling pas untuk bisa menggambarkan ”tarik-ulur” yang tidak hanya mengandalkan logika/akal, tapi juga intuisi dan ”feeling” yang pas..:)

Mbah-E Bonek

Operasi Ganti Hati yang dijalani Pak Bos Dahlan tahun 2007 barangkali adalah puncak dari kebandelannya. Sebab sejak 1992, tercatat Pak Bos sudah keluar masuk rumah sakit. RS langganannya adalah RS Budi Mulia di Kawasan Gubeng. Rumah sakit itu kini telah berubah menjadi Siloam Hospital.

Meski sudah harus rawat inap, Pak Bos menganggap enteng penyakitnya, sehingga terus saja bekerja dan bekerja. Pada setiap orang yang mengunjunginya, Pak Bos mengatakan dirinya hanya perlu istirahat saja. ”Bedanya istirahat di rumah dan di rumah sakit cuma ada dan tidak ada dokternya saja.”

Pak Bos selalu ingin terlihat sehat dan gagah di mata anak buahnya.

Dan suatu hari, lagi-lagi pak Bos berulah. Ketika sedang dirawat di sebuah ruangan RS, untuk kesekian kalinya, Pak Bos nekad kabur. Pak Bos keluar dari RS saat Mamak Dahlan, sang istri sedang pulang untuk memasak. Sudah tiga hari Mamak tinggal di RS menungui Pak Bos. Selain itu, Pak Bos ingin makan masakan istrinya yang terkenal lezat itu. Entah trik mengelabui istrinya agar bisa kabur dari rumah sakit, atau memang bosan masakan di rumah sakit yang memang itu-itu saja.

Suster dibuat kaget setelah mendapati kamar pasiennya kosong melompong. Guling dan bantal ditata rapi dan ditutupi selimut, seolah ada orang tidur di dalamnya.

Baru setelah masuk kamar mau lihat infus, diketahui pasien tidak ada di tempat, dan otomatis membuat geger seluruh rumah sakit. Ita diminta Mamak mencari dan membujuk Pak Bos kembali ke RS. Akhirnya Koordinator Liputan yang dikomandoi HK Sudirman, mengirim pager ke seluruh wartawan dalam rangka pencarian Pak Bos mereka.

Tak lama, ada laporan ke redaksi jika Pak Bos berada di lapangan Tambaksari. Abdul Muis, wartawan olahraga yang tengah meliput laga Persebaya, mendapati Pak Bos-nya sedang asyik menyaksikan secara langsung pertandingan Persebaya entah melawan siapa. Rupanya Pak Bos yang kala itu sebagai manager Persebaya tak ingin melewatkan timnya yang sedang berlaga. Tak perduli hepatitisnya semakin parah. Tanggung jawab sebagai manager telah mengalahkan penyakit yang dideritanya.

Tret…Tet…Tet…

Totalitas Pak Bos dalam memegang sebuah jabatan tidak diragukan lagi. Kemampuan memenej digeber habis. Tak salah Walikota Surabaya dr. H.Purnomo Kasidi mengangkatnya sebagai manajer Persebaya tahun 1989-1990. Pak Bos berhasil membawa Persebaya menyabet Piala Super 1990 dengan mengalahkan Galatama Pelita Jaya 3-2. Tidak hanya tenaga dan pikiran. Sumbangan dana juga diberikan demi membesarkan Persebaya saat itu.

Saat belum menjadi manajer Persebaya, Pak Bos memang sudah bersemangat mendukung tim daerahnya itu. Ketertarikannya di dunia bola tidak lain adalah kepedulian sebagai warga kota saja. Pak Bos ingin ikut menjadi motor penggerak bagi kemajuan Surabaya. Maka Pak Bos juga ingin menaikkan pamor Persebaya antara lain dengan memerintahkan kompartemen Olahraga Jawa Pos untuk menggalang supporter agar memberikan support di setiap pertandingan Persebaya. Tidak hanya saat bertanding di kandang, tapi juga melakukan away.

Cara membangkitkan semangat bela tim dilakukan dengan cara pemberitaan yang tidak ada habis-habisnya di halaman olahraga. Supporter Persebaya yang kemudian diberi julukan Bonek oleh Pak Bos dimobilisasi. Setiap kali ada away, Pak Bos menjadi koordinatornya.

Trik itu memang benar-benar brilian. Sinergi antara Jawa Pos dan Persebaya terbangun indah. Penggemar bola di Surabaya seolah terwadahi dengan lahirnya rubrik Tret…Tet…Tet.

Pak Bos melontarkan gagasan memberangkatkan supporter ke Senayan untuk pertama kalinya di tahun 1987. Ide itu dilontarkan setelah Pak Bos pulang dari belajar khusus cara menangani suporter Chelsea – Inggris. Bertepatan dengan itu, Persebaya masuk semifinal kompetisi Perserikatan PSSI memperebutkan Piala Presiden.

Saat Jawa Pos membuka pendaftaran keberangkatan supporter ke Jakarta, respon supporter benar-benar diluar dugaan ; membludak.

Persiapan 25 bus penuh dalam waktu satu jam, begitu pengumuman pendaftaran dibuka. Saat itu, Jawa Pos memberikan subsidi 60% dari total biaya.

Selain mendapat tiket seharga 40% saja, supporter juga mendapat tiket masuk plus kaos berwarna hijau bertuliskan ”Kami Haus Goal Kamu”. Slogan provokatif yang didesain khusus oleh bagian desain grafis Jawa Pos ; Mohtar dan Budiono.

Termasuk logo orang berteriak dengan ikat kepala. Maka supporter diberangkatkan saat itu dengan 135 bus ber-AC serta makan sehari 3x.

Sayang, di final saat menghadapi PSIS Semarang, Persebaya kalah, dan menimbulkan gesekan antar supporter Persebaya dengan PSIS. Meski begitu, gelora semangat para supporter Persebaya makin terbakar. Semangat Pak Bos juga kian menyala untuk memberangkatkan supporter ke Jakarta, kembali.

Persebaya kembali menembus final Divisi Utama Perserikatan PSSI 1987/1988 yang sayangnya dinodai dengan kasus Sepak Bola Gajah. Saat pertandingan di Stadion Tambaksari, Persebaya sengaja mengalah dari Persipura 0-12. Kekalahan itu disengaja untuk menghadang PSIS agar tak masuk Babak 6 Besar di Jakarta.

Lebih heboh lagi, supporter yang diberangkatkan ke Senayan dua kali lipat, tidak lagi 135 unit, melainkan 300 unit bus lebih. Tidak itu saja. Ribuan supporter dari kalangan bawah juga diberangkatkan menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Turi.

Setelah gerbong cadangan dan kereta api milik PJKA dikerahkan semua, ternyata tetap tidak menampung supporter yang menyemut dari segenap penjuru.

Mereka datang dari berbagai sudut kota di Jawa Timur, Pantura, Mataraman hingga Tapal Kuda.

Tak adanya gerbong membuat mereka nekat menaiki atap gerbong kereta. Dari situlah istilah Bonek dilontarkan Pak Bos. Suporter bondo nekat.

Semangat arek-arek Suroboyo benar-benar menggelora. Supporter Persebaya tidak saja datang dari kalangan menengah dan bawah. Kalangan jet set Surabaya juga ikut-ikutan terbakar. Para pengusaha dan penggemar bola dari kalangan berada protes. Mereka minta Pak Bos dan Jawa Pos mengakomodir dan memberangkatkan ke Jakarta.

Maka, tiga pesawat Garuda berjenis besar dicarter secara khusus. Harga tiketnya gila-gilaan. Nilainya lebih dari Rp. 3 juta PP saat itu. Tak kalah hebohnya, kalangan elit ini mengenakan kaos dan atribut yang sama dengan supporter lainnya. Bahu-membahu menghijaukan Gelora Senayan.

Untuk mengantisipasi kesemrawutan akan tingginya supporter, Jawa Pos mengajak kerja sama dengan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Ratno Timoer menjadi koordinator di Jakarta. Bersama para biroJakarta, bintang film si Buta dari Goa Hantu itu menerjunkan artis-artis asal Surabaya, seperti Mamik Slamet, Priyo Sigit, Mus Mulyadi, dll untuk membantu suksesnya Tret…Tet…Tet…

Apa yang diperjuangkan menghasilkan cerita indah. Persebaya menang mengalahkan Persija dengan skor 3-2 pada hari Minggu, 27 Maret 1988 setelah perpanjangan waktu.

Namun, masalah muncul saat supporter akan dipulangkan. Terdengan kabar PSIS akan melakukan penghadangan, karena merasa dicurangi Persebaya hingga gagal ke Senayan. Mengantisipasi akan terjadinya gesekan, Pak Bos mengambil jalan pintas. Antisipasi kilat dilakukan. Pak Bos melontarkan ide gila dengan memulangkan mereka dengan kapal perang. Melalui jalur laut. Alasannya, jalur darat dari Jakarta – Surabaya pasti melewati Semarang.

Maka, semua bonek dipulangkan ke Surabaya melalui Tanjung Priok dan turun di Tanjung Perak. Ombak teluk Jakarta yang cukup tinggi tak menjadikan gentar sedikitpun para supporter. Mereka terlihat enjoy-enjoy saja. Perjalanan sehari semalam di atas kapal perang itu berlalu dengan nyanyian dan tawa yang digawangi oleh para prajurit AL. Seluruh penumpang tiba dengan selamat, dan aman. Tanpa tawuran. Layak jika Pak Bos kemudian dijuluki Mbah-e Bonek. Karena Pak Bos dan Jawa Pos yang jadi pelopor pengiriman supporter besar-besaran, mendampingi tim kesayangan melakukan tandang away.

Sukses Pak Bos memberangkatkan supporter, menjadikan walikota Surabaya Purnomo Kasidi mengangkat Pak Bos Dahlan sebagai manajer Persebaya 1989-1990. Pemain muda pun kemudian direktrut antara lain Yusuf Ekodono, Hartono, Agus Winarno, Mahrus Afif.

Di bawah kepemimpinan Pak Bos musim 1988/1989 team yang dijuluki the Young Guns Bledug Ijo ini menjadi juara II, dan tahun berikutnya 1989/1990 berhasil runner-up, dan puncaknya menjuarai Piala Super 1990 dengan mengalahkan Galatama Pelita Jaya 3-2. Kemenangan yang dianggap fenomenal, karena Galatama berhasil dikalahkan oleh team baru di bawah kendali Pak Bos.

Demikianlah sepenggal kisah Ita tentang Pak Bos-nya, yang saya sadur dengan ”tidak sempurna” tentunya..

Saya bergumam : Ooh…..ternyata istilah bonek itu dipopulerkan oleh Pak Bos-e Ita toh? Sama seperti ungkapan ”Serbuuuu……” saat ada makanan datang barangkali…:)

Inovatif, kreatif, daaaan nekat….! Gabungan itu semua rupanya yang harus lebih banyak digali dan dicermati… :):) Hmmm…..


No comments:

Post a Comment