Wednesday, May 2, 2012

KISAH ANAK “BODOH” PENGUBAH JALAN HIDUP

Suatu ketika ada seorang anak mendekat ke ibunya, wajahnya penuh kesedihan. Air mata menetes membasahi kedua pipi mungilnya. Dadanya bergerak cepat. Sungguh sangat kasihan. Dengan pelan ia merapatkan tubuh ke ibunya, tangisannya pun kini mulai pecah. Setelah memeluk, sang ibu mulai mengajaknya bicara. “Ada apa nak? Siapa yang memarahimu? Aku tak ingin engkau sedih begini.” Si kecil menjawab : “Pak guru mengatakan aku dungu, tidak bermanfaat. Beliau mengatakannya di depan teman-teman kelasku. Dia telah menghinaku bu’. Aku tak mau pergi sekolah lagi.” Bergegas ibunya menyapu air mata yang menderas di pipinya dengan ujung baju. Lalu berkata, “tidak apa-apa anakku. Mereka belum tahu bakat yang engkau miliki. Kecerdasanmu belum mereka lihat. Biarkanlah waktu yang akan membuktikan semua itu kepada mereka.” Sang ibu mengajaknya bermain, menenangkannya, memotivasi dan mendorongnya. Hingga dia kembali mau berangkat sekolah. Lupa akan penghinaan gurunya. Suasana berjalan normal. Namun tiga bulan kemudian, wajahnya kembali sedih sepulang dari sekolah. Kini tangis dan kesedihannya makin meledak. Air matanya membeku, tak lagi mau mencair. Pengamat sekolah telah menghinanya. Melihat itu, sang ibu langsung menggandeng anaknya yang malang itu, menuju sekolah. Untuk sekedar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah menanyakan perihal kedatangannya, si pengamat menjawab, “Dia anak yang aneh, bodoh. Sekolah kami tidak dibangun untuk anak-anak bodoh sepertinya.” Bumi ini seakan luluh lantak mengiringi ucapan itu terlepas. Pahit, itulah yang dirasakan sang ibu ketika melihat anaknya yang berusia 6 tahun tiba-tiba cemberut, padam. Dia gandeng pahlawan kecilnya kembali pulang ke rumah. Dia peluk, lalu menusukkan semangat ke dadanya, “Anakku, meski semua manusia di bumi ini menafikan kecerdasanmu. Tapi yakinlah, aku ibumu percaya bahwa engkau bisa. Engkau anak pandai. Biarkan mereka berkata apa-apa, tapi dengarkan aku! Engkau anak terpandai di dunia.” Tiap pagi menyapa, sang ibu selalu rajin menghujamkan support itu. Kini tidak hanya kalimat, tindakan riil mulai diambilnya. Dia datangkan guru privat untuk mengajarinya di rumah. Tak sedikit uang yang dikeluarkan untuk membeli alat-alat belajar. Tak ada kata capek. Tak ada kata bosan. Kebahagiaan yang lambat laun mulai menghias di wajah anaknya, semakin mendorong sang ibu untuk memberinya lebih. Kini si kecil tumbuh besar, merambah usia ke 20. Dan kini, namanya menjadi topik andalan yang selalu terdengar pada diskusi-diskusi ilmiah para ilmuwan. Tahukah anda siapa anak itu? Dia adalah Alfa Edison penemu bola lampu. Yang tanpanya, mungkin dunia akan gelap gulita. Masya Allah Derajat Ilmu dan Ulama Pada bulan Dzulhijjah tahun 97 H, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik menunaikan ibadah haji bersama kedua puteranya. Usai thawaf , khalifah menghampiri seorang kepercayaanya dan bertanya : “ Dimanakah temanmu itu ?” Sambil menunjuk ke sudut barat masjidil Haram dia menjawab : “Di sana, beliau sedang berdiri untuk shalat.” Dengan diiringi kedua puteranya khalifah bertandang menuju ke lokasi yang dimaksud. Namun orang yang dimaksud, beliau dapatkan dalam keadaan shalat, hanyut dalam rukuk, dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya. Kedua putera mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan shalatnya. Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam. Usai shalat, orang tua tersebut langsung menemui khalifah. Di sini khalifah menghadap orang tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun demi rukun, sedangkan orang tua tersebut menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Setelah selesai bertanya, khalifah mendoakan orang tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik. Di tengah perjalanan sa’i antara shafa dan Marwah, kedua putra khalifah itu mendengar seruan :”Wahai kaum Muslimin, tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah.. jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.” Seorang dari putra khalifah itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata : “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepadanya ? Sulaiman berkata kepada putranya:” Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di Masjidil Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang terbanyak.” Kemudian beliau melanjutkan :”Wahai anakku…carilah ilmu…karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat…para budak bisa melampaui derajat para raja..”

No comments:

Post a Comment