Wednesday, August 3, 2011

Terbelenggu Atas Nama Cinta


Anto (31), seorang ayah dengan 2 orang anak, hidup dalam kondisi ideal dan harmonis. Boleh dikata, hidupnya selama ini dirasakannya enak, nyaman, dan serba berkecukupan. Kondisi hidup yang sepatutnya harus disyukuri, terlebih di tengah kondisi krisis ekonomi seperti sekarang ini.

Suatu ketika, seorang rekan kerja wanita berbagi rasa (curhat) mengenai kehidupan rumah tangga bersama suaminya yang sudah dirasakannya hambar. Anto tidak bersikap protektif terhadap curahan hati rekannya itu. Dia malah merasa enjoy dan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebaikan.

Seiring berjalannya waktu, hubungan batin dua pasangan yang bukan suami isteri itu menjadi dekat. Benih-benih simpati dan "cinta" pun akhirnya muncul. Tidak jarang Anto membantu masalah keuangan dan masalah lainnya secara "ikhlas". Tentu saja, ikatan "cinta" mereka pun makin pekat, sampai akhirnya perbuatan yang seharusnya tidak pantas dilakukan pun terjadi dan mereka melakukannya dengan dasar "cinta" (suka sama suka).

Kekhilafan memang sering muncul tatkala hawa nafsu telah terlampiaskan keinginannya. Setelah kejadian itu, Anto merasa khilaf dan menyadari telah mengkhianati istri dan keluarganya.

Belakangan, Tuhan pun membukakan mata hatinya bahwa ternyata rekan wanitanya itu juga melakukan hal yang sama itu kepada pria selain dirinya. Suatu hal yang sangat logis terjadi. Wanita itu bisa mengkhianati suaminya yang notabene terikat dengan tali pernikahan, apalagi dengan dia yang hanya terikat dalam "urusan curhat". Jelas, wanita itu mampu mengkhianati dirinya sebagaimana ia mengkhianati suaminya. Di ambang kesadaran itulah, akhirnya Anto memutuskan untuk melupakan wanita itu.

Rekan wanitanya itu harus dilupakan, karena ia tidak hanya terlibat affair dengan dirinya, melainkan dengan banyak pria lain. Ironisnya, Anto merasa tidak mampu melupakan bayang-bayang wanita itu dari ingatannya. Ia masih menyimpan "cinta" dengan wanita itu, meski terbayang di benaknya bahwa wanita itu pasti "bercinta" pula dengan pria lain selain dirinya.

Atas nama cintanya itu, Anto berusaha menyadarkan teman affair-nya agar tidak bercinta dengan orang lain. Sesuatu yang boleh jadi mustahil diwujudkan oleh teman wanita itu. Bagaimana mungkin ia disuruh tidak berkhianat terhadap Anto, sementara ia boleh berkhianat terhadap suaminya. Akhirnya, di tengah tarikan antara akal sehat dan hawa nafsunya, Anto ingin mendoktrin otaknya dengan menghadirkan keburukan wanita itu agar ia bisa cepat melupakannya, tetapi tetap saja tidak berhasil. Oleh karenanya, ia merasa drop. Konsentrasi bekerja, konsentrasi kepada keluarga, maupun konsentrasi mencari nafkahnya hilang sama sekali. Tiada keinginan atau perhatian lagi yang ia berikan buat anak dan isterinya. Anto benar-benar terkuras pikiran dan tenaganya untuk memikirkan wanita itu. Akhirnya dia jatuh sakit dan opname di rumah sakit.

Tiada seorang pun yang mengetahui perihal dirinya selain dia dan teman wanitanya itu. Ia tidak terbuka mencari solusi ini kepada orang lain, apalagi kepada istrinya. Akhirnya, keinginan untuk kembali seperti dulu, memegang komitmen menjadi seorang suami, ayah yang bertanggung jawab, hanya tinggal keinginan yang belum terwujud realitanya.

Ia terjebak dan terbius oleh gelora "cinta" terhadap wanita itu, yang sebenarnya bukan cinta, tetapi hawa nafsu dan "rasa ketagihan" yang sulit dibendung. Ya, persis seperti ketagihannya orang yang terkena Narkoba. Dia tahu dan sadar akan bahaya dan keburukannya, tetapi begitu sulit untuk meninggalkannya.

Kisah Anto memberi hikmah akan bahaya cinta, yaitu cinta yang tidak didasarkan atas ikatan apa pun selain keinginan untuk memenuhi hawa nafsu. Cinta demikian sebenarnya dikategorikan sebagai perzinahan yang harus dijauhi. Namun sangat sedikit orang yang memahami dan diberi petunjuk untuk menghindari diri dari perzinahan.

Ibnu Qayyim Rahimahullah dalam kitabnya "Al-Fawaid" menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh lintasan-lintasan atau gagasan pikiran. Dan dari sini kemudian muncul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan ('amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.

Kasus yang terjadi pada Anto menyimpan sebuah pelajaran berharga agar kita jangan terjebak oleh lintasan-lintasan yang buruk atau yang memiliki potensi keburukan. Lintasan untuk "mencintai" seorang wanita yang bukan isterinya adalah salah satu lintasan yang bisa membawa malapetaka. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur'an untuk jangan sekali-kali mendekati zina (QS. 17 : 32). Dan upaya 'tidak mendekati ini' salah satunya adalah segera menghilangkan lintasan itu dari dalam hati.

Jalan-jalan apa pun yang mengarah pada perzinahan hendaknya dihindari. Kasus yang terjadi pada Anto cukup menjadi pelajaran, bahwa jika jalan itu tidak dihindari, maka akan membawa kebinasaan diri. Pada awalnya, boleh jadi lintasan yang terbersit saat Anto menerima curhat dari rekan wanitanya itu adalah murni karena kasihan atau ingin menolong. Namun karena Anto tidak memiliki pemahaman agama yang cukup, ia justru memasuki pintu awal dari jebakan dosa perzinahan itu. Menolong adalah nilai dari keimanan, namun dalam pelaksanaannya harus mencontoh metode yang dicontohkan oleh Rasul SAW. Yang terjadi pada Anto, bukannya mengarahkan (dan inilah yang disayangkan karena ia tidak memiliki pemahaman), justru ia terlarut dengan kenikmatan menerima curahan wanita itu, sehingga perlahan-lahan bibit simpati dan "cinta" itu timbul.

Saat ia mengetahui bahwa wanita itu adalah bejat, ia tidak bisa melupakan wanita itu. Seharusnya dengan merenungi kebejatan wanita itu, Anto bisa meninggalkannya. Namun rupanya, tarikan hawa nafsunya begitu kuat. Ia tahu bahwa itu dosa, tetapi merasa tidak bisa meninggalkannya. Apakah ia terkena sihir? Mungkin saja, terlebih bagi orang yang jauh dari Allah dan melalaikan dzikir padaNya. Na'udzubillah.

Andai ia sejak awal memiliki kesadaran Islami, tentu ia akan teringat dengan perintah untuk tidak mendekati perzinahan (QS. 17 : 32) dan ia akan mengikuti saran dari Ibnu Qayim yang menegaskan, "Lawanlah setiap lintasan buruk. Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau 'azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya." Ia pasti tidak dengan mudah menerima curhat teman wanitanya itu. Sangat mungkin ia akan merekomendasikan pada orang yang tepat.

Anto tidak cukup sendirian dalam mengatasi masalahnya. Ia butuh teman dan lingkungan yang bisa membantunya ke luar dari jebakan nafsunya itu. Perlu orang yang bisa membimbingnya dalam bertaubat, yaitu menghadirkan penyesalan sedalam-dalamnya atas dosa yang dilakukan dan memohon ampun kepada Allah dengan permohonan yang sungguh-sungguh. Bimbingan diperlukan agar ia bisa menjalani hidup dengan ibadah dan amal kebaikan sebanyak-banyaknya demi mengkompensasi dosa besar yang telah dilakukan dan demi melupakan lintasan-lintasan tentang wanita itu yang bisa kembali hadir. Ia juga perlu dibimbing agar lebih waspada terhadap perzinahan, jangan sampai terulang kembali. Apa yang sudah terjadi, cukuplah menjadi pelajaran dirinya akan dahsyatnya godaan hawa nafsu, sehingga ia termotivasi untuk selalu membentengi diri darinya dengan ibadah dan memohon pertolongan Allah.

Wallaahu a'lam bishshawaab. (rizqon_ak)


No comments:

Post a Comment