Wednesday, June 2, 2010

Jualan Iman Dalam Bis


Malam itu seperti biasa aku pulang dengan bus kota Patas AC 11 ke arah timur Jakarta. Lalu lintas yang padat menjelang Jalan Jenderal Sudirman memberi kesempatan pada dua orang pengamen untuk unjuk kebolehan “showbis” alias show di atas bis, demikian para pengamen jalanan menyebutkan media seni mereka.

Aku yang sedang terfokus pada dinginnya cuaca awalnya kurang perhatian pada penyanyi showbis tersebut. Setelah aku simak, barulah paham, mereka berdua membawakan lagu-lagu rohani kristiani. Hal yang lumrah bagi pemakai jasa bus kota mendengar lagu-lagu mereka. Sama halnya aku juga sering menyaksikan lagu-lagu Islami baik shalawat, nasyid, atau laug-lagu pop Islam lainnya.

Tetapi duo penyanyi rohani malam itu belum pernah aku lihat sebelumnya di Patas AC 11 yang setiap hari aku naiki pergi dan pulang kerja. Saat menyanyi, sang vokalis sering menyebarkan pandangannya ke seluruh tempat duduk. Mereka duduk di bagian depan menghadap ke samping bus. Sepertinya sedang menyapu siapa saja penumpang saat itu. Beberapa kali tanpa sengaja matanya menatapku yang duduk di bangku deretan tengah dekat jendela, sehingga ia harus memutar lehernya sekitar 100 derajat ke arah kanan untuk melihatku.

Beberapa kali handphone-ku bergetar pertanda sms masuk, dan aku harus membalasnya, sehingga tatapan penyanyi rohani itu kurang aku perhatikan. Ketika sekitar 3 lagu sudah selesai, bus sudah memasuki Jalan Imam Bonjol. Si pemetik gitar masih memainkan gitarnya secara instrumentalia, si vokalis berorasi tentang nikmatnya bila beriman pada Yesus Kristus. Aku menyimaknya. Entah kenapa, pandangan matanya sering ke arahku yang harus memutar lehernya itu, kurang bersahabat. Kaget aku jadinya. Apa salahku? Selama dia menyanyi, aku tak bersuara, hanya sesekali membalas sms. Penumpang bus memang tidak sedang panuh, aku bisa duduk sendiri dalam deretan kursi bus. Oooh, mungkin karena aku berjilbab, sehingga mudah sekali baginya mengenali aku sebagai orang muslim? Bathinku menduga-duga.

Ucapan-ucapan orasinya jelas sekali, “Yesus bukan Tuhan, tapi Juru Selamat. Anda salah sendiri bila tidak beriman kepadanya. Anda semua dalam kesesatan. Terus terang saya bukan orang Kristen. Saya orang Islam yang karena kasih Yesus Kristus saya bisa berada di sini dan merasakan nikmatnya.” Aduh, kenapa juga pandangannya harus sinis ke arahku? Kalau mau orasi, ya silakan. Tapi jangan melecehkan begitu dong, dalam hati aku ngedumel. Seandainya dia memang benar-benar murtad dan menggadaikan keimanannya, tetapi kenapa harus mengajak orang lain dan berpandangan tak ramah kepada orang-orang muslim? Mereka bahkan melakukannya di atas bus kota. Memang sih bisa saja dia memang asli kristen dari kecil, tapi kenapa harus pakai cara culas? Aku mengomel sendiri dalam hati.

Ketika mereka sudah turun dari bus, aku ceritakan kejadian ke dua teman dekat lewat sms. Yang satu muslim, satunya lagi Kristen. Aku berani mengutarakan isi hati kepada teman yang non muslim itu karena kami sudah akrab sekali, jadi tak ada ganjalan untuk terus terang, meski soal keimanan kami yang berbeda.

Jawaban sms dari teman yang muslim sampai ratusan karakter karena banyaknya, “Orang seperti itu jangan dimarahi, justru haurs dikasih senyum, setelah nyanyi kasih dia uang 2 ribu, sambil ditanya, kurang apa tidak? Sebelum dia menajawb langsug kasih lagi 2 ribu. Diulang lagi kalau perlu. Insya Allah dia akan berpikir, kok cewek berjilbab PD banget dengan keIslamannya. Semoga kemudian hari nanti dia merenung kejadian itu dan memilih iman yang benar. Atau kemudian hari dia nangis karena taubat dan bersyukur telah bertemu cewek berjilbab seperti kamu ini.”

Sedangkan dengan santainya, teman non muslim menanggapi kejadian itu adalah bagian dari demokrasi. Katanya lewat sms, “Itulah demokrasi tanpa batas, bisa beropini bebas tentang apa saja, di mana saja, termasuk keimanan dan keyakinan. Dunia memang aneh, tapi nyata.”

Bus terus melaju menuju Rawamangun. Aku siap-siap turun di halte Arion Plaza. Balasan sms dari temanku yang muslim terus memenuhi kepalaku. Benar katanya, menghadapi orang seperti pengamen kristiani itu jangan dengan senewen atau jengkel. Aku jadi ingat kisah pengemis Yahudi buta yang setiap hari disuapi makan oleh Rasulullah meski dia selalu memaki-maki Rasul sebagai penyebar agama Islam. Tapi tak setitik pun rasa sakit hati di benak Rasulullah. Subhanallah, keikhlasan dan kesabaran yang seluas samudera. Rasul tanpa sakit hati tetap bersedekah memberi makan padanya, sampai suatu ketika Rasul wafat dan sahabat Rasul Abu Bakar r.a. menggantikannya menyuapi pengemis yahudi tersebut. Si pengemis merasakan benar jauh perbedaan tangan yang menyuapinya. Dia menangis menyesal, ketika sahabat Utsman bin Affan memberitahu bahwa yang selama ini menyuapinya dengan lembut adalah orang yang dia caci maki. Masya Allah, si Yahudi pun bersyahadat demi melihat kesopanan, kesantunan, dan kelembutan hati Rasulullah.

Aku meneruskan perjalanan ke rumah dengan bajaj. Ingin lekas-lekas sampai rumah. Kemudian mandi, berwudhu, dan shalat. Aku malu pada diri sendiri, kenapa harus jengkel dan menggerutu menerima pandangan mata sinis dari pengamen bus kota tadi. Bukankah dikisahkan, seorang ahli ibadah belum dikatakan ahli ibadah bila ia tinggal di gunung atau gua yang sepi. Ia boleh dikatakan ahli ibadah bila tinggal di kota besar dengan segala masalahnya dari masyarakatnya yang majemuk. Siapalah aku? Aku bukan ahli ibadah. Aku hanya seorang umat yang sedang mencoba khusuk dengan keimananku agar tak goyah diterpa godaan. Kenapa tidak sabar dengan ujian seperti itu? Maafkan aku, ya Allah. .Oleh Sri Haryati

No comments:

Post a Comment