Monday, March 1, 2010

Kepasrahan yang Mencerdaskan Jiwa

Syekh Ibn Athaillah mengajak pembaca untuk menghayati posisi kita selaku hamba Allah. Kita ini hamba. Dan Allahlah Sang Majikan. Sebagai hamba-Nya, kita tertuntut untuk memusatkan perhatian pada upaya mengabdi kepada-Nya. Amatlah tidak sopan bila kita justru mengerahkan segenap daya untuk memerhatikan dan memuaskan kepentingan diri sendiri. Karena inilah Ibn Athaillah mengingatkan kita akan betapa pentingnya isqdth al-tadbir—tema utama buku ini—yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur dan menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni.

Buku ini—isqdth al-tadbir—menawarkan cara tepat untuk memandang hidup. Karenanya, buku ini bak kacamata, yang dengannya matahati kita yang rabun bisa melihat lebih sempurna. Dengan penglihatan yang sempurna, tentulah hidup ini menjadi semakin jelas. Dan dengan jelasnya hidup, tentunya perjalanan kita menempuhnya menjadi lebih lurus dan lancar—tidak nabrak-nabrak dan tidak nyasar-nyasar.

Dalam pandangan Ibn Athaillah, pengabdian kita kepada Allah seharusnya tidak hanya ditunaikan dengan menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan Allah, namun pula dengan menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan Allah. Kematangan iman hanya bisa dirasakan bila kedua hal ini secara sempurna dilaksanakan. Dengan demikian, sebenarnya ada dua hukum yang patut dipatuhi oleh orang beriman, yaitu hukum taklif yang sudah lazim kita kenal sebagai berbagai perintah dan larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan hukum takdir yang mencakup ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani dalam hidup.

Keperluan atau kebutuhan hidup makhluk sebetulnya adalah sesuatu yang sudah dan terus dijamin oleh Allah. Dengan ilmu-Nya, Allah sudah mengatur diri kita bahkan sebelum kita ada. Setelah kita terlahir di dunia, Allah pun terus mengatur urusan kita. Akan tetapi, setelah berakal, kebanyakan manusia seolah lupa bahwa selama ini urusan hidupnya ada dalam pengaturan Allah. Setelah berakal, mereka seakan ingin mengambil alih 'hak pengaturan' itu; mereka ingin mereka sendiri yang mengatur segenap urusan hidup mereka. Dalam pikiran Ibn Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru sebentuk ketidak bersyukuran atas nikmat akal.

Allah tidak berhenti mengurus kita sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya terus berlaku. Akal kita semestinya kita gunakan untuk memahami dan melaksanakan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.


Yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah apa yang dituntut dari kita, bukan yang dijamin untuk kita. Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah bertutur, "Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti dari rabunnya mata batinmu." Karena itu, "Istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu, karena segala yang telah diurus oleh 'Selainmu' (yakni Allah), tak perlu engkau turut mengurusnya. "

Lagi pula, "Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir." Maksudnya, seberapa banyak pun energi yang kita curahkan untuk memenuhi suatu keinginan, tetap saja itu tak akan tergapai jika tak sesuai dengan keputusan Tuhan. Kita tak dapat memenangkan kehendak kita di atas kehendak-Nya. Kita bahkan kerap menemukan bahwa takdir dan ketentuan yang berlaku pada diri manusia bukanlah yang sesuai dengan pengaturan olehnya. Pengaturan manusia ibarat rumah pasir di tepi laut, yang bisa demikian mudah runtuh tatkala ombak takdir Tuhan berlabuh.

Dalam hidup, kita juga acap menemukan bahwa apa yang menurut kita baik ternyata bisa membawa keburukan, dan sebaliknya, apa yang kita sangka buruk ternyata malah mendatangkan kebaikan. Boleh jadi ada keuntungan di balik kesulitan, dan ada kesulitan di balik keuntungan. Boleh jadi pula kerugian muncul dari kemudahan, dan kemudahan muncul dari kerugian. Mana yang berguna dan mana yang berbahaya pada akhirnya adalah sesuatu di luar pengetahuan kita.

Oleh sebab itu, dalam pandangan Ibn Athaillah, 'sibuk mengatur nasib sendiri' sejatinya adalah tindakan yang kurang lebih sia-sia, apalagi bila kesibukan ini melalaikan kita dari tugas-tugas sebagai hamba. Lucu sekali bila manusia tetap berhasrat akan pengaturan diri. Pertama, karena ia pada dasarnya tak mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya. Dan kedua, karena Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat para makhluk-Nya senantiasa dekat dan mengatur secara baik. Allah itu dekat dan karenanya senantiasa memberi perhatian kepada kita sekalipun tanpa sepengetahuan kita. Tidak percaya kalau Dia tak akan mengabaikan kita adalah bukti lemahnya iman kita. Allah juga sayang dan karenanya selalu mengatur urusan kita secara baik. Pengaturan kita terhadap diri kita sebenarnya adalah bukti ketidaktahuan kita akan pengaturan Allah yang baik terhadap diri kita—dan karenanya adalah juga bukti minimnya cahaya makrifat di hati kita.

Lebih dari sekadar ironi dan kesia-siaan, Ibn Athaillah juga mengategorikan sikap sibuk mengatur urusan diri sebagai sebentuk syirik rububiah. Bila syirik uluhiah berarti meyakini ada tuhan lain yang patut disembah selain Allah, atau menentang ketuhanan Allah; syirik rububiah berarti meyakini ada pengatur lain yang turut mengurus kehidupan selain Allah—dalam hal ini kita 'meyakini' bahwa kita bisa menjadi pengatur selain-Nya—atau menentang pengaturan Allah. Bila demikian, sesungguhnya Ibn Athaillah bermaksud menyadarkan kita akan sesuatu yang sangat berbahaya dalam konteks penghambaan kita kepada Allah. Dan rasa-rasanya buku ini menjadi wajib dibaca oleh mereka yang berislam, yang menyatakan keberserahan diri mereka kepada Allah.

Mereka yang memelihara kesopanan kepada Allah dan tidak ingin jauh dari-Nya, tentu akan mencoba menggugurkan tadbir dan iradah mereka yang membuat mereka terhijab (tertabiri) dari Allah. Mereka akan keluar dari gelapnya tadbir (sikap mengatur diri) menuju terangnya tafwidh, yakni penyerahan urusan atau pilihan hidup kepada Allah, hingga mereka menyaksikan bahwa diri ini diatur dan tidak turut mengatur, ditentukan dan tidak ikut menentukan, serta digerakkan dan tidak bergerak sendiri. Untuk ini diperlukan sikap rida dengan pengaturan Allah. Rasa berat hati hanya akan membuat hati tetap terhijab dari cahaya Allah. Selain itu diperlukan pula sikap selalu berbaik sangka kepada Allah. Allah lebih tahu mengenai apa yang terbaik buat hamba-Nya. Dia pun sudah berjanji bahwa siapa bertawakal kepada-Nya, Dia akan mencukupinya. Lebih dari rida dan berbaik sangka, mereka juga akan senang dan mencintai segala kehendak dan keputusan Allah Sang Pemilik anugerah.

Pembaca budiman, model kepasrahan ala tasawuf Ibn Athaillah seperti ini tidaklah perlu dicap sebagai semacam kepasifan dalam hidup. Kepasrahan atau keberserahan diri kepada pengaturan dan kehendak Allah tidaklah sama dengan berhenti bekerja, berhenti mengais rezeki, ataupun berhenti berdoa lantaran menyerahkan semuanya kepada Allah. Bahkan, pembaca akan mendapatkan bahwa adab berharta, mencari rezeki, berusaha, dan berdoa adalah tema penting dalam buku ini, yang dengannya Ibn Athaillah bermaksud menepis pandangan yang mengesankan kepasrahan sebagai kemalasan.

Dari segi "cara hidup", baik orang yang berserah ataupun orang yang tidak berserah nyaris tiada beda-nya. Yang membedakan mereka adalah cara mereka memandang, merasa, dan menyikapi hidup. Dalam hal ini, ajaran isqath al-tadbir sebetulnya adalah juga ajaran mengenai kecerdasan emosional-spiritual . Sebab, pada praktiknya, isqath al-tadbir akan setidaknya membuahkan beberapa sikap hati berikut ini:

Pertama, ketidakrisauan akan sarana-sarana penghidupan. Sikap ini penting agar hidup tidak dipenuhi perasaan cemas, khawatir, gundah, dan gelisah yang menempatkan hidup kita selalu dalam tekanan. Tak hanya itu, ketenangan itu sendiri juga penting demi kesuksesan kita meraih sarana-sarana penghidupan.

Kedua, ketidakbergantungan pada amal atau usaha. Kebergantungan pada perbuatan atau daya upaya acap kali berbuntut keputusasaan dan frustrasi pada saat kendala dan kegagalan ditemui. Dengan bergantung kepada Allah, kita bisa terhindar dari keputusasaan yang mencelakakan. Bersandar kepada-Nya membuat kita selalu bangkit dan selamat dari perasaan terpuruk.

Ketiga, keridaan pada kenyataan. Kekecewaan, kekesalan, dan ketidakpuasan pada kejadian-kejadian yang menimpa hanya akan menguras energi kita yang sebetulnya bisa kita gunakan untuk sesuatu yang positif. Dengan rida pada kenyataan, segetir apa pun itu, kita akan selalu siap menghadapinya dan meresponsnya secara wajar dan berguna.

Keempat, keberharapan atau optimisme hidup. Dengan bersandar kepada Allah, dan percaya bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik, kita melipat gandakan rasa optimis kita—terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa kita di mata orang. Dengan tak pernah lalai bahwa Allah Maha Menolong dan Mahakuasa, dengan tak pernah kehilangan rasa butuh kepada-Nya, kita menjadi terbebas dari penjara keterbatasan, dan merasa lapang sekalipun dikepung oleh berbagai ketidakmungkinan—serasa menjadi pemenang dalam hidup selamanya. Selamat mencoba!





No comments:

Post a Comment