Wednesday, August 20, 2014

Century - Skandal Perampokan Sistemik

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, kasus Bank Century adalah skandal perampokan sistemik. Kalla tidak sepakat jika kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 2008 terancam oleh kondisi krisis global.

Kalla menuliskan latar belakang situasi pemerintahan pada saat-saat pengambilan kasus Century di Kompasiana, Kamis (28/11/2013). Kalla memiliki akun terverifikasi di Kompasiana dan kerap menulis beragam pandangannya di blog sosial itu.

"Pemerintah percaya diri ekonomi kita dapat dikontrol dengan baik. Kita masih memiliki cadangan surplus dari APBN tahun sebelumnya," tulis Kalla.

Dalam tulisannya, Kalla mengaku bingung soal keputusan uang sebesar Rp 6,7 triliun yang digelontorkan untuk menalangi Bank Century. Tanpa sepengetahuannya, Bank Century telah diputuskan sebagai bank gagal dan berdampak sistemik.

"Saya bingung juga, mengapa uang dikeluarkan hari Sabtu-Minggu? Mau ke mana uang dikeluarkan hari Sabtu? Bukannya bank-bank tidak ada yang buka? Lari ke mana uang itu?" tulis Kalla.

Berikut penuturan Kalla seperti dikutip dari Kompasiana.

Saya ingin berikan pendapat tentang latar belakang krisis yang terjadi tahun 2008 lalu. Pada waktu itu, krisis yang terjadi adalah krisis ekonomi Amerika, bukan krisis Indonesia. Tentu dampaknya adalah kepada ekonomi Amerika sehingga impor mereka menjadi sulit dari China. Dan, inilah kemudian menurun dan berdampak pada ekonomi kita.

Artinya, yang berakibat semuanya pada kita adalah ekspor yang menurun, terutama ke China. Akibat ekspor menurun inilah tentu ada masalah-masalah lainnya.

Pada Kamis 20 November 2008 lalu, rapat diadakan di kantor Wapres, kantor saya waktu itu. Hasil rapat tanggal 20 November itu adalah tentang situasi perekonomian Indonesia secara umum yang terangkum dalam penjelasan yang diberikan oleh saudara Anggito Abimanyu yang mewakili Menteri Keuangan.

Waktu itu saya minta Menteri Keuangan yang memberi penjelasan pada publik tapi kemudian Menteri Keuangan menugaskan saudara Anggito, yang saat itu merupakan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.

Dalam penjelasannya, Anda bisa baca di Kompas tanggal 21 November 2008, adalah bahwa Pemerintah percaya diri ekonomi kita dapat dikontrol dengan baik. Kita masih memiliki cadangan surplus dari APBN tahun sebelumnya, jadi kondisi kita masih baik. Memang waktu disampaikan juga oleh Pak Boediono ada masalah-masalah soal ekonomi, itu karena ekspor menurun. Itu memang masalah. Tapi tidak ada dibicarakan tentang bank.

Krisis tentu ada dampaknya, tetapi tak akan menyebabkan krisis buat Indonesia. Itu jelas Anda bisa lihat pada kesimpulan rapat yang dipublikasikan dan diberikan kepada umum. Dalam rapat itu sama sekali tidak membicarakan masalah perbankan atau pun Bank Century. Tidak ada sama sekali. Bahkan, Menteri Keuangan maupun Gubernur Bank Indonesia tidak pernah menyampaikan adanya suatu bank yang gagal atau semacamnya.

Saya waktu itu menjabat sebagai acting Presiden. Akan tetapi, mengapa rapat KKSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), tentang bank gagal dan dampak sistemik tidak dilaporkan? Bukannya seharusnya dilaporkan? Apalagi masalah besar seperti itu. Namun saya akhirnya dilapori hari Selasa minggu setelahnya. Rapat mereka adalah hari Jumat-Sabtu (21-22 November), di mana paginya diputuskan dana bail-out Century. Uang juga dikeluarkan Sabtu.

Saya bingung juga, mengapa uang dikeluarkan hari Sabtu-Minggu? Mau kemana uang dikeluarkan hari Sabtu? Bukannya bank-bank tidak ada yang buka? Lari kemana uang itu?

Senin bingung, kenapa tiba-tiba keluar 2,7 triliun. Padahal yang disetujui menurut apa yang dilaporkan ke saya adalah 630 milyar. Selasa bingung. Rapat lagi.

Lalu, saya mendapat laporan, Pak ada masalah seperti ini, terjadi drain, terjadi keluar uang yang begitu besar. Saya bilang ada apa! Nah waktu itulah ketika diceritakan masalahnya, saya marah kenapa terjadi uang keluar begitu banyaknya tidak dilaporkan. Jadi uang keluar baru dilaporkan.

Ini jelas bermasalah, karena dana yang dikeluarkan sebesar 6,7 triliun itu melebihi apa yang diminta dan diperlukan Bank Century. Ini merupakan perampokan. Kalau ada uang dikeluarkan Sabtu dan Minggu, itu bermasalah, sebab bank-bank sudah jelas sedang tutup.

Untuk itu, waktu itu saya langsung menelpon Kapolri, saya perintahkan untuk menangkap Pemilik Bank Century, Robert Tantular.

Read More..

Hukum Truk Sampah

Suatu hari saya naik sebuah taxi dan menuju ke Bandara. Kami melaju pd jalur yg benar ketika tiba-tiba sebuah mobil hitam melompat keluar dr tempat
parkir tepat di depan kami. Supir taxi menginjak pedal rem dalam-dalam hingga ban mobil berdecit dan berhenti hanya beberapa cm dari mobil tersebut. Pengemudi mobil hitam tsb mengeluarkan kepalanya & memaki ke arah kami. Supir taxi hanya tersenyum & melambai pada orang tersebut.

Saya sangat heran dgn sikapnya yg bersahabat. saya bertanya, "Mengapa anda melakukannya? Orang itu hampir merusak mobil anda dan dapat saja mengirim kita ke rumah sakit!"Saat itulah saya belajar dr supir taxi tsb mengenai apa yg saya kemudian sebut "Hukum Truk Sampah".

Ia menjelaskan bahwa byk orang seperti truk sampah. Mrk berjalan keliling membawa sampah, seperti frustrasi, kemarahan, kekecewaan. Seiring dgn semakin penuh kapasitasnya, semakin mereka membutuhkan tempat utk membuangnya, & seringkali mereka membuangnya kpd anda. Jgn ambil hati, tersenyum saja, lambaikan tangan, berkati mereka, lalu lanjutkan hidup.

Jgn ambil sampah mereka utk kembali membuangnya kpd orang lain yang anda temui, di tempat kerja, di rumah atau dlm perjalanan.Intinya, orang yg sukses adalah orang yang tidak membiarkan "truk sampah" mengambil alih hari-hari mereka dgn merusak suasana hati.

Hidup ini terlalu singkat utk bangun di pagi hari dgn penyesalan, maka kasihilah orang yg memperlakukan anda dgn benar, berdoalah bagi yg tidak. Hidup itu 10% mengenai apa yg kau buat dengannya dan 90% ttg bagaimana kamu menghadapinya. Hidup bukan mengenai menunggu badai berlalu, tapi ttg bagaimana belajar menari dlm hujan.

Selamat menikmati hidup...


Read More..

Gus, Mungkin Kau Tak Pernah Tahu

Gus, seumur hidup, saya pernah melihat tampang dan tubuhmu secara langsung hanya di dua kali kesempatan. Yang pertama saat dirimu datang di acara Haul Sesepuh Almarhumin di Buntet Pesantren Cirebon. Kedua, saat dirimu menghadiri acara pentas musik Cak Nun dan Kiai Kanjeng di UIN Jakarta.

***

Gus, selamat, kelahiran partai yang kaubidani, yang resmi menjadi peserta pemilu tahun 1999 itu sudah menjadi juru damai buat dua kubu kiai-kiai (dalam soal politik waktu itu) di Buntet Pesantren Cirebon, tempat saya nyantri dulu. Sebelum partaimu itu ada, dua kubu ini (Kiai Golkar dan Kiai PPP) sering gontok-gontokan cocot dan pemikiran.

Sebenarnya waktu itu kami tidak peduli soal itu, kami tidak mengerti, Gus. Tapi kami jadi jengkel juga, sebab yang menjadinya peluru buat perang mereka, ya kami, para santri. Jadi, Gus, Kalau kiai A kesal sama kiai B, maka biasanya santri kiai A yang dicecar sama Kiai B, kena omel, dan lain sebagainya.

Tapi Gus, setelah partaimu itu terbentuk, dua kubu itu runtuh, para kiai menjadi tersatukan dalam satu rumah. Kami tentu senang, terlebih kami tak lagi jadi bulan-bulanan. Terima kasih Gus. Oh iya, Gus, namamu saat itu menjadi sangat terkenal. Saya juga menjadi merasa kenal dengan dirimu.

Gus, mungkin kau tak pernah tahu jika partai yang kaudirikan datang seperti membawa ‘ajaran’ baru untuk saya. Mohon maaf, waktu itu dirimu pun saya anggap seperti ‘nabi’ baru. Tidak mangkir, dirimu sangat saya idolakan.

Gus, mungkin kau tak pernah tahu kalau musim kampanye adalah musim yang paling saya nanti-nanti. Usai sekolah setengah hari, biasanya seluruh santri langsung disuruh ikut kampanye, itu artinya ngaji kitab Kuning diliburkan. Itu salah satu bagian yang paling saya suka, Gus, Libur! Tapi sejujurnya, libur ngaji itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan impian saya untuk bertemu dengan dirimu, Gus. Ini jujur Gus.

Gus, saat konvoi, di jalanan kami selalu meneriakkan, “Apa jare Gus Dur! Apa jare Gusdur!”

Jujur, Gus, waktu itu bahkan saya tak pernah tahu dirimu pernah bilang apa, tapi sungguh kalimat itu seperti mantra yang menguatkan kami seharian konvoi keliling kota. Biasanya kami juga berpapasan juga partai lain yang terkadang teriak-teriak menghina dirimu.

Kalau mendengar itu darah saya langsung naik, marah, sedih, dan terluka. Aneh, Gus, mengapa saya harus marah, sedih, dan terluka? Saya ini tidak pernah kenal siapa dirimu, yang saya tahu tentang dirimu hanya cerita kalau dirimu adalah wali yang kalau ada yang menghinamu, orang itu pasti celaka. Itu saja yang saya tahu.

Gus, mungkin kau tak pernah tahu, pertemuan perdana saya denganmu benar-benar baru terjadi setelah cukup lama saya mendengar banyak kisah tentangmu. Waktu itu dirimu mendatangi acara Haul Sesepuh di Buntet Pesantren. Kebetulan jalan menuju acara itu melewati asrama saya, Gus. Kami berebutan mengambil posisi di samping tembok asrama. Semuanya mau melihatmu yang selama ini cuma menjadi dongeng. Semuanya mau melihatmu dengan mata telanjang.

Saya menyiapkan kamera poket, memotomu untuk kenang-kenangan. Tapi anehnya, ketika dirimu lewat, kamera itu sama sekali tidak berfungsi. Padahal sebelumnya kami sempat foto-foto, setelah dirimu lewat, kamera itu kembali berfungsi. Sampai saat ini saya belum mendapat alasan peristiwa itu, Gus.

Gus, mungkin kau tak pernah tahu, pertemuan kedua saya dengan dirimu terjadi di UIN Jakarta, tempat saya melanjutkan studi setelah nyantri. Disitulah dengan gamblang saya dapat melihat dirimu secara utuh dan berlama-lamaan. Kau duduk di atas kursi, di sampingmu ada Cak Nun. Kau banyak cerita soal kebandelan-kebandelanmu saat kuliah di Mesir. Kau cerita soal kegemaranmu pada musik klasik. Kau cerita kau suka simfoni nomor sembilannya Beethoven dan simfoni nomor empatnya Mozart.

Gus, saya menyesal, mungkin kebanyakan orang juga sama dengan saya, saya hanya bisa mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu. Tapi, Gus, terima kasih sudah lahir di bumi ini. Kau sosok yang karismatik. Humor-humormu cerdas, wawasan, dan pemikiranmu yang sering mendobrak itu sudah membuka sekat-sekat apa pun itu, agama, status sosial, warna kulit, laki-laki perempuan, semuanya.

Gus, membaca karya-karyamu membuat pikiran saya terbuka. Cara berpikirmu begitu jernih. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika karya-karyamu ini sudah saya baca ketika sekolah, pasti dirimu kuanggap benar-benar nabi! Gus, membaca pemikiranmu membuat saya merasa bangga pernah teriak-teriak “Apa jare Gus Dur!” di jalanan. Sebab, mantra “Apa Jare Gus Dur” yang keramat itu kini mulai kupahami sedikit demi sedikit.

Tapi Gus, biar bagaimana pun, kau tetap hanyalah manusia biasa yang diberikan kelebihan oleh Tuhan, tidak lebih dari itu. Kudoakan semoga kau selalu diberikan keselamatan di dalam kubur dan hari akhir kelak. Doakan saya juga semoga kultus saya kepadamu dulu bisa dimaklumi Tuhan. (Hijrah Ahmad (@hijrahahmad)

Jakarta, 19 Desember 2013
Hijrah Ahmad, Editor Buku, Alumni Pondok Buntet Pesantren Cirebon
(1996-2002)





Read More..