Tuesday, December 24, 2013

Antara Wahabi dan Isu Terorisme (Tanggapan untuk Tulisan KH. Said Aqil Siradj)

Oleh: Artawijaya
Wartawan dan Penulis Buku

Pasca serangan bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo, perbincangan mengenai kaitan antara terorisme dan doktrin Wahabi kembali mencuat di media massa. Setidaknya hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj pada harian Republika (3/10/2011). Artikel berjudul "Radikalisme, Hukum, dan Dakwah" ini menarik untuk dicermati, karena KH Said Aqil telah mengaitkan antara pergerakan dakwah Wahabi dengan radikalisme. Beliau bahkan membuat istilah baru tentang dakwah Wahabi, yaitu "ideologi puritanisme radikal."


Kita tentu bersyukur, seorang ketua umum sebuah organisasi massa besar seperti KH Said Aqil Siradj begitu peduli terhadap teror bom yang banyak menimbulkan korban dari masyarakat yang tak bersalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya KH Said Aqil Siradj, tokoh yang sering dikait-kaitkan dengan kasus terorisme seperti KH. Abu Bakar Ba'asyir (ABB) pun mengecam aksi bom di Cirebon dan Solo sebagai tindakan ngawur yang jauh dari pemahaman syariat. Pada beberapa kesempatan, ABB menyatakan bahwa Indonesia adalah wilayah aman yang karenanya Islam harus ditegakkan lewat cara-cara damai.

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari artikel Kiai Said di atas, yang terkesan seperti menabur angin, mengenai siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi. Dalam beberapa alineanya, artikel tersebut bahkan seperti mengumbar stigma yang gebyah uyah. Jika tak dikritisi, tulisan tersebut bisa menimbulkan ragam penafsiran di masyarakat dan generalisasi terhadap kelompok yang dituduh mengusung dakwah Wahabi. Sehingga hal ini bisa berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput, sebagaimana terjadi pada sebuah pengajian hadits di Klaten, Jawa Tengah, yang nyaris dipaksa bubar karena dianggap bagian dari dakwah Wahabi.

Diantara kalimat yang bisa menimbulkan bias pemahaman dan stigma dari tulisan KH Said Aqil adalah, "Kita bisa mencermati pergerakan paham Wahabi di negeri kita yang secara mengendap-endap telah memasuki wilayah pendidikan dengan menyuntikkan ideologi puritanisme radikal, semisal penyesatan terhadap kelompok lain hanya karena soal beda masalah ibadah lainnya. Di berbagai daerah bahkan sudah terjadi 'tawuran' akibat model dakwah Wahabi yang tak menghargai perbedaan pandangan antar-muslim. Model dakwah semacam ini bisa berpotensi menjadi 'cikal bakal' radikalisme."

Pada alinea lain, KH Said Aqil mengusulkan agar dilakukan "sterilisasi" masjid-masjid yang berpotensi menjadi sarang kelompok puritan radikal, sebuah kelompok yang menurutnya seringkali menimbulkan "tawuran" di tengah masyarakat. Dalam kesempatan lain, KH Said Aqil bahkan meminta masyarakat untuk mewaspadai 12 yayasan dari Timur Tengah yang ditengarai mendapat suntikan dana dari kelompok Wahabi. Tulisan KH. Said Aqil Siradj yang dimuat dalam harian ini seolah menyatakan bahwa memerangi ideologi teror sama dengan memerangi ideologi puritan radikal yang diusung oleh kelompok yang ia sebut sebagai Wahabi. Kelompok yang saat ini menurutnya mengendap-endap di dunia pendidikan, membawa suntikan beracun berisi "ideologi puritan radikal".

Antara Wahabi dan Terorisme

Stigma Wahabi merujuk pada sosok ulama abad ke-18 bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimy An-Najdi. Gerakan dakwahnya mengusung tajdid dan tashfiyah (pembaharuan dan pemurnian) akidah kaum muslimin dari beragam kemusyrikan dan amaliah yang tidak diajarkan oleh Islam. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang dai yang tak pernah menyebut kiprah dakwahnya dengan penamaan dakwah Wahabi atau tak pernah mendirikan organisasi dakwah bernama Wahabi. Istilah Wahabi baru muncul belakangan, itupun dengan tujuan stigmatisasi oleh mereka yang tak setuju dengan pemikiran yang diusung dalam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.

Di Indonesia, stigma Wahabi juga pernah dilekatkan pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (Persis). Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati, A. Hassan, dianggap sebagai pengusung paham Wahabi di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol pun pernah disebut sebagai pengusung dakwah Wahabi. Baik Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ataupun generasi dakwah selanjutnya di seluruh dunia yang sepaham dengan pemikirannya tak pernah ada yang dengan tegas menyatakan dirinya sebagai Wahabi.

KH. Said Aqil Siradj dalam tulisannya tak menjelaskan siapa saja atau kelompok mana saja yang masuk dalam kategori puritan radikal pengusung dakwah Wahabi. Ia hanya menjelaskan, kelompok tersebut tak menghargai perbedaan dan mudah memberikan label sesat pada sesama Muslim lainnya. Sama tak jelasnya, ketika ia melontarkan pernyataan bahwa ada 12 yayasan milik Wahabi yang perlu diwaspadai yang kini beroperasi di Indonesia. Apa saja yayasan itu, kenapa perlu diwaspadai, adakah pelanggaran baik dari sisi hukum nasional ataupun hukum Islam dari 12 yayasan tersebut sehingga layak untuk diwaspadai tak pernah dijabarkan. Sekali lagi, apa yang dilontarkan KH Said Aqil seperti menabur angin, menerpa siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi.

Jika merujuk pada banyak kasus yang terjadi di basis-basis NU, maka kelompok puritan radikal atau Wahabi yang dimaksud KH Said Aqil adalah mereka yang membid'ahkan tahlilan, tawassul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan amaliah lainnya yang menjadi tradisi di kalangan Nahdhiyyin. Kriteria inilah yang sering diungkapkan oleh KH Said Aqil di media massa ketika menyoroti kiprah kelompok yang ia sebut sebagai "Wahabi". Namun, adakah kaitannya antara kelompok yang berdakwah untuk menjauhi bid'ah dalam urusan ibadah dengan kelompok teroris?

Nyatanya seluruh ormas Islam di Indonesia, baik yang meyakini bolehnya tahlilan atau tidak, sepakat bahwa aksi pengeboman di zona damai adalah perbuatan yang diharamkan Islam, apalagi pemboman yang terjadi di tempat ibadah. Bom yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan jihad tentu mencoreng nama Islam. Islam mengajarkan syariat jihad dengan batasan dan aturan yang ketat dan rinci. Jihad tidak mengedepankan hawa nafsu dan serampangan. Jihad sangat menghargai nilai-nilai dan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak sipil. Dalam perang, musuh yang menjadi target adalah para combatan dan basis-basis militer, bukan orang-orang sipil, fasilitas umum, dan tempat-tempat ibadah.

Akhirul kalam, menyebut dakwah Wahabi sebagai kontributor aksi teror bom tak pernah bisa dibuktikan dengan jelas. Stigmatisasi itu tak lebih daripada memukul bayang-bayang. Kita tentu tak sepakat dengan sekelompok orang yang mudah mengkafirkan muslim lainnya hanya karena urusan khilafiyah. Kita juga tak setuju dengan pola-pola dakwah yang eksklusif, merasa paling benar, dan jauh dari nilai-nilai akhlakul karimah. Jika ada perbedaan dalam urusan dakwah, maka selesaikan dengan jalan dialog. Begitupun jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal furu'iyah maka kedepankanlah sikap tasamuh (toleran). Stigmatisasi yang tak jelas di tengah prahara terorisme akan menambah beban masalah yang melebar ke mana-mana. Selain persoalan ideologi yang menyimpang, akar dari terorisme adalah ketidakadilan global yang melanda negeri-negeri Muslim. (Dimuat di Harian Republika, 7 Oktober, 2011)

Read More..

Antara Ayam dan Manusia

"Try not to become a man of success but rather to become a man of value."
-- Albert Einstein, fisikawan

APA perbedaan ayam dengan manusia? Itulah pertanyaan yang dilontarkan seorang tokoh di negeri ini dalam sebuah acara diskusi. Terkesan main-main memang. Tak heran bila mereka yang hadir di sana punya banyak reaksi.

Ada yang tertawa geli, karena pertanyaan lucu itu. Mungkin mereka tidak percaya ketika pertanyaan itu dilontarkan seorang tokoh. Ada yang diam, mungkin sedang berpikir maksud dibalik pertanyaan tersebut. Di bagian lain, ada juga yang tiba-tiba memegangi perutnya. Bisa jadi dia teringat pada ayam goreng yang baru saja disantapnya.


Ternyata pertanyaan ini lebih dari sekedar serius. Kata bapak itu, setiap harinya ayam melakukan rutinitas yang tak pernah berbeda, selalu sama. Bangun pagi, berkokok, notol-notol mencari makan, buang air, melakukan hubungan seks, walau untuk urusan yang satu ini tak melulu tiap hari, lalu tidur dan bangun pagi lagi. Begitu seterusnya.

Kalaulah ada sedikit variasi: mereka berkelahi ketika saat lawan jenisnya diganggu. Tapi bila keadaannya normal, apalagi bila ayam itu dipelihara di rumah, mereka hidup dalam damai.

Bagaimana dengan manusia? Andai mereka melakukan hal yang juga rutin, bangun pagi, bekerja, pulang, buang air, melakukan hubungan seks, walau lagi-lagi tak harus tiap hari, lalu tidur dan bangun lagi keesokan harinya, dan seterusnya begitu, mohon maaf kata sang bapak itu, lantas apa bedanya dengan ayam.

Albert Einstein, fisikawan ternama pernah berkata, Try not to become a man of success but rather to become a man of value." Di sini, Einstein lebih menekankan kepada nilai yang dimiliki seseorang, bukan semata kesuksesannya. Nilai dari seseorang manusia terlihat dari seberapa besar manfaat yang dia lakukan untuk orang lain. Manusia semakin bernilai saat banyak memberikan manfaat bagi orang lain.

Tak sulit untuk membuat kita semakin bernilai. Bukan dengan mobil yang mengkilap. Bukan juga dengan pakaian yang licin dan bermerek. Apalagi ditentukan dengan pergaulan yang penuh dengan ingar-bingar.

Lihatlah sekeliling kita. Mang Ipin misalnya. Seorang tukang sampah di sebuah kompleks perumahan daerah Prima Regency. Bayangkan, bila tidak ada satu pun tukang sampah, seperti Mang Ipin, di suatu kompleks perumahan. Apa yang akan terjadi? Sampah akan menumpuk, bau busuk akan menyebar ke segala arah. Wabah penyakit siap mengerubungi. Penghuni menjadi tidak nyaman. Tak hanya itu, seorang tukang sampah pun mempunyai nilai bagi orang lain. Mang Ipin, sehari-harinya tak hanya melakukan rutinitas, mengambil sampah dari tempat pembuangan sampah para warga untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir. Kadang ia mengingatkan penghuni rumah, bila ternyata sang penghuni rumah kelupaan untuk membuang sampah. Bahkan, Mang Ipin pun sering bertanya pada si pemilik rumah, barangkali ada sampah yang belum terbuang.

Seorang dokter pun dapat melakukan hal yang sama misalnya. Selain tugas mulianya membantu orang lain agar sembuh, ia pun dapat melakukan hal lebih, misalnya membantu pasien yang kurang mampu dengan menggratiskan biaya pengobatan atau memberikan obatnya secara cuma-cuma. Atau bisa juga memberikan penyuluhan di lingkungan warga sekitar mengenai kesehatan, kebersihan, atau pertolongan pertama apa yang harus dilakukan saat terkena penyakit tertentu. Suatu kegiatan yang sungguh-sungguh mulia. Intinya, pekerjaan yang mulia sejatinya pekerjaan yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain.

Suatu profesi sangat mungkin merupakan suatu pilihan hidup. Tetapi manusia seyogianya dituntut untuk dapat melakukan sesuatu lebih dari sekedar profesi yang digelutinya. Seorang manusia bisa jadi melakukan aktivitasnya secara rutin. Atau dapat dikatakan, monoton. Hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena sekali lagi, hal itu merupakan pilihan hidup. Monoton saja masih lebih baik ketimbang tidak merugikan bagi orang lain. Karena bila merugikan bagi orang lain, jelas, ia lebih hina dari seekor ayam sekalipun.

Tapi manusia bukanlah ayam. Manusia mampu melakukan lebih dari sekedar rutinitas. Manusia mampu melakukan lebih dari itu. Ia dapat memperoleh nilai dari apa yang yang telah diperbuatnya. Semakin banyak yang diperbuat bagi orang lain, itu makin bagus. Tak peduli apapun profesi atau pekerjaan seseorang untuk dapat berbuat lebih dan memberikan nilai-nilai terbaik yang kita miliki. Jangan pernah merasa puas atas apa yang telah diperbuat. Karena seharusnya kita dapat lebih, dan lebih berbuat lagi. Untuk selalu terus berkembang, tumbuh, dan dinamis. Ya, karena manusia tidaklah sama dengan seekor ayam.

Oleh: Sonny Wibisono

Read More..

Aneh Tapi Nyata, Perbaiki Ya

Assalamualaikum WW?

Saudaraku, Kenapa jika kondisi dzahir/ badan kita menurun, kita sensitif dan pergi ke dokter untuk diperiksa. Tapi jika kondisi batin/ iman menurun dengan datangnya kemalasan beribadah atau tidak khusyunya beribadah, kita tidak sensitif dan tidak mendatangi ahlinya? Padahal nutrisi batin jauh lebih penting daripada nutrisi dzahir.


Nabi Pernah bersabda: “Barang siapa yang Alloh kehendaki kebaikan kepadanya, niscaya Alloh akan pahamkan ia dalam masalah agama” (H.R. Bukhori) dalam riwayat lain "ia akan disibukkan dalam amal-amal agama". Waspada, jangan sampai kita tidak termasuk orang yang akan diberi kebaikan oleh Alloh dengan tidak disibukkan dalam amal agama.

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang selalu disibukkan dalam amal agama. Amien

Wassalamualaikum WW!

Read More..