Wednesday, February 20, 2013

Khomeini, Ahmadinejad dan Ironi Kebangkitan Syiah Arab

KUNJUNGAN Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad ke Kaior Mesir untuk pertama kalinya baru-baru ini ternyata menuai kontrofersi. Syeikh al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, secara terbuka mengkritik Ahmadinejad, Rabu (06/02/2013) soal dukungan Iran terhadap kekisruhan Bahrain dan pembiaran penistaan sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi Wassalam di Iran.

Tidak hanya itu, seseorang hampir memukul Ahmadinejad dengan sepatu saat menghadiri acara pertemuan OKI di Kairo. Pria yang diduga warga Suriah itu geram atas dukungan Iran terhadap rezim Bashar al-Asad yang membantai warga Sunni Suriah. Salah satu alasan dukungan Iran terhadap Suriah karena Suriah mendukung Iran selama perang tahun 1980-1988 (Perang Iraq-Iran)

Bahrain, Iraq, dan Suriah tampaknya merupakan segitiga wilayah yang sedang dipersiapkan Iran untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Vali Nasr, dalam “Shia Revival (edisi Indonesia “Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan”) mengatakan ada tiga pilar kebangkitan Syiah. Pertama, perebutan Iraq, Kedua, pencitraan Iran sebagai pemimpin Arab melawan Barat, dan Ketiga, dominasi Syiah dari Negara Lebanon hingga Negara Pakistan (Vali Nasr, Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan, hal.159).

Karena itu, meski rezin Suriah, Bashar al-Asaad, nyata-nyata secara keji membantai rakyatnya yang Sunni, Iran tetap mendukungnya. Tidak ada kamus HAM, ukhuwah, atau kemanusiaan lagi. Bahrain, sedang diguncang demonstrasi rakyatnya yang mayoritas Syiah. Rakyat berambisi menggulingkan pemimpin Negara untuk diganti dengan pemimpin beraliran Syiah. Di belakang demonstrasi, Iran secara politis mendukung revolusi.

Nampak sekali, ambisi untuk mengekspor revolusi Syiah ke beberapa Negara Muslim telah diwariskan turun-temurun oleh Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran tahun 1979.

Hingga pemimpin Iran sekarang ini, wasiat Khomeini masih dipegang. Terbukti, Ahmadinejad tetap bersikukuh terhadap dukungannya atas Suriah, pemerintahan Syiah Iraq, Hizbullah dan kekisruhan di Baharain. Iraq, Suriah, Hizbullah di Lebanon dan Baharain mencai ancaman sangat serius terhadap Sunni Arab pada tahun-tahun berikutnya.

Dalam bukunya “al-Hukumah al-Islamiyah”, Khomeini secara emosional menghakimi kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah sebagai sistem thoghut, rusak, kufur dan tidak diridlai Allah swt. Sistem itu menurutnya harus diganti. Ia mengatakan, “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi olehs setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal.46).

Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan.

Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985. Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi Imam di Indonesia, sebagaiman Khomeini di Iran.

Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di duia serta para muftinya. Syeikh Muhammad Abdu Qodir Azad,Ketua Majelis Ulama’ Pakistn, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api memprovokasi kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.

Khomeini mengatakan; “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).

Pidato provokatif itu disaksikan oleh puluhan ulama dan pemimpin Negara-negara Muslim dan berlanjut dengan konferensi-konferensi berikutnya yang diadakan oleh Khomeini. Di antaranya, konferensi Haji di India pada 1981, Konferensi Islam di Banglades pada 1982 dan di Negara-negara Eropa. Padahal pada saat itu sedang berkecamuk perang panas antara Irak dan Iran.

Namun, semua pemimpin Negara Muslim kecewa berat bahkan mengecam. Pada saat konferensi Islam di Iran bertepatan dengan peringatan revolusi, Khomeini pernah berpendapat bahwa semua kepala Negara yang terdapat di Negara Islam adalah bukan kecuali presiden Suriah Hafidz al-Asad. Hafidz yang juga ayah Bashar al-Asad, merupakan presiden Suriah yang beraliran Syiah Nusairiah. Jadi memang sejak lama Iran sangat intim dengan Suriah. Karena faktor ideologis. Ahamdinejad pun menerangkan bahwa Iran mendukung Suriah karena Suriah dulu menyokong Iran saat perang delapan tahun (1980-1988) dengan Iraq. Iraq saat itu di bawah pimpinan Saddam Husein yang Sunni.

Prinsip dasar revolusi Syiah berakar dari akidah Imamah. Revolusi Khomeini berlangsung atas dasar ajaran aliran Syiah. Khomeini berusaha agar kepemimpinannya tidak hanya meliputi wilayah Iran, bahkan seluruh dunia harus tunduk di bawah pemerintahan dan kekuasaannya.

Dalam konsep wilayatul faqih, Khomeini menjelaskan bahwa hanya faqih (ulama/ahli hukum) Syiah sajalah yang boleh memimpin dan memerintah umat. Karena, menurut keterangan Khomeini, fuqaha Syiah saja yang beriman pada akidah Imamah dan imam Mahdi akhir zaman (Syeikh Muhammad Mandzur Nu’mani, al-Tsaurah al-Iraniyah fi Mizan al-Islam, hal 31).

Dengan demikian, cita-cita revolusi itu bentuk dari pengamalan ideologis kaum Syiah. Maka, cukup bisa dimengerti kemudian Ahmadinejad, bersikukuh membela rezim Suriah, meski dunia Islam mengecam pembantaian rezim terhadap rakyatnya. Dalam sejarahnya, cita-cita revolusi selalu menelan korban. Di internal Negara Iran, seorang perdana Menteri era Reza Pahlevi, Sadeq Gotbzadeh dihukum mati, dan Ayatullah Syariat Madari, rival politik Khomeini dikucilkan hingga meninggal sebagai tahanan rumah. Ekspor revolusi ke Negara tetangga menciptakan perang panjang Iraq – Iran selama delapan tahun. Untuk menegakkan pemerintahan Syiah di Iraq, dibantu serangan AS ke Saddam Husein, dan kini Suriah berdarah-darah karena rakyatnya yang Sunni tidak tahan dengan rezim Bashar. Fenomena Syiah revival (kebangkitan Syiah) di Timur Tengah selalu memakan korban dan berdarah-darah.

Karena itulah, sangat logis kemudian Syeikh al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, mengecam keras terhadap Ahmadinejad ketika datang ke Kairo. Bagi al-Azhar, Iran masih sangat setia memegang wasiat Khomeini. Padahal wasiat-wasiat itu menyakiti umat Islam dan cita-cita revolusi Syiah, membahayakan masing-masing Negara Muslim.*

Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya/Oleh: Kholili Hasib










Read More..

Kan selalu engkau kukenang


“.. .berkecamuklah rasa di dada. Tersemburatlah gelora asmara. Langit-langit hati sang wanita tengah menghujankan bibit-bibit cinta. Sebuah rasa yang tak diundang dan tak ingin berlalu begitu saja.. .”“…begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati sang wanita yang setelah menanti lalu mendengar jawaban lelaki itu. Terkikis sudah senandung cemas yang terbalut penuh harap..”

****

Wanita ini adalah wanita pendamba surga. Kami dapati bahwa dia adalah wanita yang menenangkan hati sang kekasih. Dia temani belahan jiwanya dalam suka, bahagia,duka dan nestapa. Kami saksikan pula bahwa dialah wanita bijaksana nan cerdik. Pula, ia adalah keturunan bangsawan kaya dan menjadi incaran banyak lelaki.

Percikan Kerinduan dari Sucinya Hati

Seperti wanita umumnya, kami dapati bahwa ia amat merindukan seorang sosok yang akan menjadi teman hidupnya. Ia membutuhkan sosok yang akan menemaninya mengarungi bahtera kehidupan.Berjumpalah wanita ini dengan lelaki dengan kepribadian yang diidam-idamkan wanita. Lelaki yang ia temui begitu agung lagi berakhlak mempesona. Lelaki tersebut tidak seperti laki-laki yang ia temui pada kaumnya. Lelaki itu begitu menenangkan kala dipandang dan tutur katanya jujur dan menarik perhatian. Berwibawa dan menjaga harga diri.

Berkecamuklah rasa di dada. Tersemburatlah gelora asmara. Langit-langit hati sang wanita tengah menghujankan bibit-bibit cinta. Sebuah rasa yang tak diundang dan tak ingin berlalu begitu saja.

Namun begitu, terbesit pikiran yang mengusiknya. Akankah pemuda dengan kebeningan hatinya tersebut mau menikahinya yang telah berumur kepala empat? Saat bingungnya mendengung, kami dapati rekan wanitanya datang mengunjungi. Rekannya mampu menangkap semburat rasa yang terpendam hingga wanita itu mencurahkan kegalauan hati dan perasaannya. Rekannya pun berhasil menenangkannya bahwa ia adalah wanita cantik dan memiliki kemuliaan nasab. Siapakah gerangan lelaki yang tak mau melamar wanita idaman sepertinya? Bergegaslah rekan wanita itu menemui sang lelaki seperti yang dipinta sang wanita. Setelah bertemu, rekan wanita tersebut berkata kepada laki-laki itu:

“… apa yang menyebabkan kau tidak menikah?”

Lelaki itu adalah orang yang fakir lagi yatim piatu. Sang ayah meninggal ketika ia dalam kandungan. Dan ketika masih kecil, ia pun ditinggal meninggal oleh sang ibu.Ia menjawab:
“tidak ada sesuatu yang bisa saya gunakan untuk menikah”.
Rekan wanita tersebut tersenyum sambil bertutur:
“sekiranya engkau diberi dan diminta menikahi wanita yang berharta, rupawan, mulia dan cukup, apakah engkau mau menerimanya?”
Laki-laki itu kemudian berkata:
“siapa?”

Rekan wanita itu kemudian menyebutkan nama sahabatnya yang tengah dirundung oleh besarnya pengharapan. Wajar memang karena wanita begitu dominan dalam hal perasaan.Gayung pun bersambut indah. Setelah mendapat nama wanita yang memang ia sangat kenal, lelaki tersebut kemudian berucap:

“kalau dia setuju maka saya terima”.

Subhanallah. Lampu hijau terlihat jelas menandakan akan dimulai proses selanjutnya. Mendengar ucapan tersebut, rekan wanita itu pun kembali menemui sahabatnya untuk menebar wewangian kabar bahagia yang baru saja didengarnya. Betapa riangnya wanita kita ini setelah mendapat berita.

Bak sejuknya tanah gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati sang wanita yang setelah menanti lalu mendengar jawaban lelaki itu. Terkikis sudah senandung cemas yang terbalut penuh harap.

Aduhai pena kami pun semakin bersemangat menarikan goresannya. Sang lelaki pun mengabarkan kepada paman-pamannya agar segera melamar sang wanita, walaupun sang wanita telah menjanda. Iya benar, wanita itu telah menjanda. Suami pertamanya meninggal kemudian wanita itu cerai dengan suami kedua. Namun itu bukanlah sebuah aib. Bukan pula sebuah cela. Adalah skenario dari Allah yang telah menetapkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Tak ada yang mampu keluar dari rel takdir.

Rajutan Tali Pernikahan Nan Pernuh Berkah

Paman lelaki itu datang melamar sang wanita di hadapan pamannya. Maklum, ayah wanita kita ini telah wafat. Mahar dan penentuan akad nikah pun dibicarakan. Disepakati mahar kepada wanita itu berupa lembu dua puluh ekor.Di hari pernikahan, ijab kabul tengah berkumandang.

Lengkaplah sudah kebahagiaan yang menyelimuti sepasang kekasih. Sempurnalah mekar indah pucuk asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan. Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati. Adakah jalinan yang indah selain jalinan dan untaian tali pernikahan?Adakah letupan-letupan cinta yang lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?Adakah hubungan yang lebih menabung kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?
aduhai, kami telah tertampar. Kami tertampar pedas oleh pena kami sendiri agar bersegara menyempurnakan separuh din.
Saatnya Mengayuh Biduk di Samudera Kehidupan ...

Dan wanita itu pun benar-benar menunjukkan dirinya sebagai wanita yang piawai me-manage perasaan dan alur lalu lintas permasalahan yang mungkin menyerang masing-masing pasangan. Ia tunjukkan sayang nan cinta kepada pangeran hatinya. Kami dapati bahwa ia adalah wanita dengan mata air kasih yang bercucuran penuh keseejukkan, penuh kelembutan dan kebaikan. Dialah kekasih hati yang menjadi tumpahan berkeluh kesah. Dialah sosok yang nyaman sebagai sandaran bagi sang suami kala raga begitu letih mengarungi dunia luar rumah sekaligus gelanggang dakwah. Sungguh begitu agung nan mulianya wanita ini. Cara pandangnya luas dengan visi yang jauh ke depan. Begitu membantu sang suami dari segi harta maupun spirit. Suaminya pun adalah orang pilihan yang telah ditetapkan Allah. Kami dapati bahwa dia adalah lelaki yang agung nan mulia pula. Begitu banyak ujian yang lelaki ini alami hingga menjadikan sedih dan gulana. Begitu banyak cercaan dan siksaan yang ia hadapi dari orang-orang yang amat membencinya. Begitu banyak makar dan propaganda untuk membunuhnya. Dan memang demikianlah sunatullah bagi orang-orang yang menyebarkan agama Tuhannya. Akan selalu ada badai yang siap menghantam perjuangan di jalan keimanan.
Ia menyaksikan darah mengalir. Ia menyaksikan pedang terlalu sering beradu. Ia menyaksikan jasad-jasad terbujur kaku. Kami dapati lelaki itu mengalami beberapa kemenangan dan pula kekalahan. Ia saksikan kawan-kawannya terbunuh.
Dialah lelaki yang menebarkan wewangian pesona agama kita yang mulia. Dialah sosok yang tiada pamrih. Tiada ingin dipuja atau dipuji. Dialah sumber kebaikan. Duh, mata pena kami berkaca dan bergetar menuliskan tentangnya.Pantas saja Allah telah menganugerahkan wanita mulia nan brbudi luhur teruntuk lelaki itu. Allah mempersatukan dua kemuliaan untuk memenangkan agama-Nya di muka bumi.

Allahu akbar. .Allahu akbar…

Begitu mulianya dua insan itu.Pena kami kembali membulirkan air matanya karena kemuliaan mereka.Wahai pena. Kabarkanlah bahwa kami begitu rindu untuk bertemu.

Telah Tiba Saatnya Berpisah ...

Kami kabarkan kembali bahwa wanita kita ini adalah nikmat Allah yang besar bagi sosok lelaki itu. Mereka arungi bahtera cinta selama seperempat abad. Telah berlalu sejuta kenangan. Wanita itu menghibur kecemasan suaminya, memberikan dorongan di saat-saat paling kritis, menyokong penyampaian risalah Tuhannya dan selalu membela pujaan hatinya dengan jiwa, raga dan hartanya. Telah tiba saatnya kita akan berpisah dengan wanita berbudi luhur itu. Telah tiba saatnya wanita itu harus meninggalkan sang kekasih karena malaikat maut sedang melaksanakan titah Rabb-Nya.Dan selanjutnyaaaaaa. .Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. . .
Selamat jalan wahai wanita yang melambangkan kesetiaan. .
Selamat jalan jiwa yang tenang. .
Selamat jalan duhai wanita yang berhati lembut di tengah lembah kekerasan. .
Selamat jalan wahai wanita teladan yang mengagumkan. .

Selamat jalan wahai engkau yang membela kemuliaan islam. .Selamat jalan engkau wahai istri yang arif nan bijaksana. .
Selamat jalan wahai engkau ibunda kaum muslimin, Khadijah binti Khuwailid. .
Wahai Bunda,.Kepergianmu telah meninggalkan duka dan sedih bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.. Bagaimana tidak, suka yang terkomposisi duka telah dicicipi bersama di arena kehidupan. Sungguh pilu hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditinggal belahan jiwanya..Tahukah engkau wahai Bunda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyanjungmu di depan ‘Aisyah sehingga ‘Aisyah pun cemburu.‘Aisyah bertutur di tengah cemburu yang menggebu nan melanda:
“tidaklah aku cemburu atas seseorang dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana kecemburuanku atas Khadijah, sedangkan aku belum melihatnya sama sekali. Tetapi Rasul sering menyebutnya dan kadang-kadang beliau menyembelih seekor kambing lalu memotong-motongnya kemudian mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Sehingga kadang-kadang aku berkata kepada beliau:
“sepertinya di dunia ini tak ada wanita kecuali Khadijah.” [1]
Subhanallah. Begitu cintanya Nabi kami padamu, wahai Ummul Mukminin. Dan memang engkau amat pantas mendapatkannya walau ‘Aisyah memiliki kecantikan dan kepandaian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memenuhi janjinya bahwa beliau tak akan menduakanmu selama engkau masih hidup dan walau usiamu telah lanjut. Kami mengetahui pula bahwa engkau bertabur putri-putri mulia yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Mereka adalah pembela setia suamimu. .Begitu abadi cintanya.Engkau wahai Bunda, seperti yang kami dapati dalam kitab Nisa’ Fii Hayati al-Anbiya bahwa Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata sambil memujimu:
“wanita penghuni surga yang paling mulia adalah Khadijah binti Khuwailid.” [2]
Pula dalam kitab yang lain yaitu Nisaa’ Haular Rasul war Radd ‘ala Muftariyaat al-Musytasyriqin, kami dapati pula pujian untukmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“sebaik-baik wanita di bumi di masanya adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita di bumi di masanya adalah Khadijah binti Khuwailid” [3]
Wahai Bunda, keteguhanmu mendapat limpahan karunia dari Allah. Engkau memiliki andil besar dalam perubahan peradaban bagi para wanita.
Inilah surga Allah menaruh rindu untukmu. Allah dan malaikat Jibril pun menitipkan salam hangat dari langit ke-tujuh untukmu. Dan kepadamu, Allah telah menyediakan rumah istana dari permata. .

subhanallah

Kami dapati dalam kitab ar-Rahiq al-Makhtum bahwa Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“wahai Rasulullah. Inilah khadijah, dia telah datang membawa bejana, di dalamnya ada lauk pauk, makanan atau minuman. Sekiranya dia nanti mendatangimu maka sampaikan salam Rabbnya kepadanya serta beritakan padanya kabar gembira perihal istana untuknya di surga yang terbuat dari mutiara, yang tiada kebisingan maupun rasa lelah di dalamnya.” [4]

Akhirnya. . .

selamat menikmati rumah istana dari mutiaraselamat jalan ibunda orang-orang beriman. .Biarlah kami senantiasa mengenangmu di kedalaman qolbu. .Menyerap semangatmu yang terbit seiring fajar. .Dan lihatlah namamu ada dalam benak setiap muslimah. .Walaupun tak sesempurnamu, kami harap wanita-wanita kami mampu merengkuh keteladananmu di jalan ilmu. . .

Sekian,

Dari seorang lelaki yang berusaha meneladani kekasihmu tercinta di atas manhaj salaf,
Penulis: Fachrian Almer Akiera (Yani Fachriansyah Muhammad as-Samawiy)
Mataram, di siang nan cerah secerah hati, ilmu dan akhlak orang-orang yang beriman.
Subhanaka allahumma wabihamdika asyhadu alla ila ha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika..

Read More..

Ikhtiar Dan Rezeki Yang Ditakar

Natin baru saja melintas di warung kopi. Sekelompok orang sedang bermain gaple. Padahal mestinya orang dewasa seperti mereka dijam begini sibuk bekerja. Bukan nongkrong begitu. Mereka kan punya kewajiban menafkahi keluarga. Tapi selalu ada saja argumentasinya. “Rezeki itu sudah ada yang mengatur, Mpooook….” Kata mereka. “Kita tidur juga Gusti Allah tetap ngasih rezeki kok…” timpal yang lainnya. Lalu yang lainnya lagi menambahkan;”Kerja lebih keras juga nggak bakal menambah rezeki kita kalau takdir Tuhan berkata lain…..” Natin, tersenyum mendengar celoteh mereka. Lalu bergegas meninggalkan majlis gaple itu.

Suara mereka sudah tidak terdengar lagi. Namun Natin masih senyum-senyum juga. Bukan senyum karena mentertawakan mereka. Melainkan teringat ketika bertemu dengan gurunya zaman dahulu. Natin bertanya kepada gurunya perihal urusan rezeki itu. Ada kebingungan kronis mengiritasi hatinya. Katanya sudah ditentukan takarannya oleh Tuhan. Dan jika takaran itu sudah ditentukan, maka penyerahannya tidak lagi bergantung kepada orang itu. Tetap akan diberikan meski dia tidur sepanjang hari. Dan jika takaran itu sudah ditentukan, maka usaha sekeras apapun tidak akan menambah jatahnya.

Hari itu, sabtu. Sebagai bukti menerima tantangan itu, Ayah langsung pergi ke toko yang menjual alat-alat pancing. Abang kegirangan mendapati Ayah pulang membawa alat pancing. “Besok, kita pergi memancing Bang.” kata
Ayah.

“Hari ini aja Yaaah…., please” manja Abang.
“Wah, kalau kita pergi sekarang udah kesorean Bang.” Jawab Ayah.
“Besok kita berangkat pagi-pagi, oke….”

Keesokan harinya, minggu yang mendung. Tapi Ayah dan Abang sudah berniat untuk pergi mancing. Mama pun sudah menyiapkan umpan istimewa yang dibuat dari campuran bahan-bahan pembuat kue donat. Dengan kompoisisi rahasia plus telur ekstra dan terasi. Meskipun Mama ragu jika umpan itu bakal dimakan ikan, tapi Ayah meyakinkan Mama jika usahanya tidak akan sia-sia. Di rumah, kue bikinan Mama selalu ludes. Ikan bawal pun pasti tidak sanggup menahan godaan kelezatannya.

Sesampai di kolam pemancingan, Ayah membayar tiket masuknya. Kemudian pemilik kolam menambahkan ikan hidup kedalam kolam. Lalu. Mereka pun ikut bergabung dengan para pemancing lain yang sudah pada duluan tiba.

Sudah setengah hari. Masih nihil. Padahal, pemancing lain sudah berkali-kali mendapatkan ikannya. “Kenapa kita belum dapat juga Yah?” Abang bertanya dengan harapan yang hampa.

“Kalau mancing itu, ya harus sabar Bang…” jawab Ayah. Sebuah jawaban yang bisa menenangkan anak kelas 3 SD itu. Setidaknya untuk sementara waktu. Nyatanya, setiap kali pemancing lain dapat ikan, Abang kembali menanyakan hal yang sama. Hingga sore. Keadannya tidak berubah juga.

“Kalau kita sabar ternyata tidak mendapatkan ikan, Yah….” Kata Abang. Entah curhat. Entah protes karena nasihat kesabaran Ayah tidak menghasilkan apa-apa.

Natin bisa melihat jelas wajah Ayah yang tengah berusaha mencari jawaban yang cocok untuk pertanyaan itu. Lalu… “kita coba lagi minggu depan ya….” Dari wajahnya, Natin tahu persis jika Ayah sendiri tengah mempertanyakan arti kesabaran itu kepada dirinya sendiri. Jika semua pemancing sama sabarnya, kenapa hasilnya berbeda? Keimanan Ayah, kayaknya sudah mulai goyah. Buat Abang yang masih kecil, ini hanyalah soal memancing ikan. Tapi buat orang dewasa seperti Ayah, ini nggak sesederhana itu. Dalam mencari nafkah, Ayah sering sekali mendengar orang mengajak bersabar. Bagus sih bersabar itu. Tapi, kalau tidak ada hasilnya untuk ongkos dapur, sampai kapan bisa bersabar?

Minggu berikutnya. Ayah benar-benar memenuhi janjinya kepada Abang. Mereka pergi mancing lagi. Kali ini di kolam ikan Mas. Umpannya, khusus Ayah beli yang paling bagus, karena kelihatannya lidah ikan belum biasa dengan adonan kue bikinan Mama.

Sudah 2 jam. Ayah dan Abang belum juga menarik ikan. Sementara pemancing lain sudah berkali-kali menangkapnya. “Kalau mancing mesti sabar ya, Yah…..” kata Abang. Setengah menggugat.

Ayah terhenyak. Tidak bisa lagi mengatakan untuk sabar. Karena, semakin terbukti bahwa sabar itu tidak menghasilkan apa-apa. Natin terenyum melihat Ayah manggut-manggut. Dari wajah Ayah, Natin tahu kalau sekarang Ayah sadar bahwa sabar itu tidak tepat ditempatkan disitu. Ayah, telah menihilkan makna ikhtiar ketika bersembunyi dibalik kata sabar.

Tapi…., Bukankah melemparkan kail itu juga merupakan ikhtiar? Bukan hanya pemancing lain yang melempar kail. Ayah juga sama. Kenapa hasil beda? Bukan hanya orang lain yang gigih bekerja mencari rezeki. Kita juga sama. Tapi kenapa diantara orang-orang yang sama-sama ikhtiar itu hasilnya tetap beda. Ada yang dapat banyak. Ada yang hanya sedikit. Bahkan ada yang tidak dapat apa-apa sama sekali. Sabar, sudah. Ikhtiar, juga sudah. Kenapa hasilnya tetap beda juga?

“Hati-hati sama dia Pak,” tiba-tiba seorang pemancing bicara. “Semua ikan bisa diembat habis…” katanya. Dia menunjuk kepada pemancing lain disamping Ayah. Pemancing yang sudah berkali-kali menaikkan ikan. “Orang kayak dia itu mestinya mancing dilaut, bukan dikolam cetek kayak gini….” Ledek orang itu lagi.

Ayah menanggapinya dengan tertawa. Tapi Natin tahu, jika tawa Ayah itu hanya kamuflase belaka. Ayah sekarang sadar bahwa selain sabar dan ikhtiar, ada hal lainnya. Orang yang dibercandain oleh pemancing lain itu terkenal jago memancing. Dia tahu kapan saat yang tepat untuk menarik pancingnya. Karena, jika terlalu dini, kail itu tidak akan terkait di mulut ikan. Dan kalau terlambat, ikan keburu kabur menggondol umpannya. Sekarang Ayah sadar. Bahwa ikhtiar, tanpa keterampilan hanya akan menghasilkan kesia-siaan.

Tak lama kemudian, terjadi kehebohan seperti sebelum-sebelumnya. Pemancing dipojokan kembali menarik ikan. Dalam waktu singkat, mungkin dia sudah menarik lebih dari 5 ikan. Abang hanya menonton drama tarik menarik kail pancing itu sambil menikmati pemandangan indah berupa joran yang melengkung menahan perlawanan ikan. Abang nggak bertanya lagi kepada Ayah. Mungkin dia tahu jika Ayah tidak akan punya lagi jawaban lainnya.

Natin mendengar Ayah bertanya kepada pemancing sebelahnya. “Kenapa disebelah sana sering sekali dapat ikan, Pak?” Lalu orang yang ditanya itu menjelaskan bahwa gerombolan ikan itu sedang berada disebelah sana. Oh. Jika Tuhan mengarahkan semua ikan ke sebelah sana. Tidak ada artinya sabar bagi pemancing sebelah sini. Bahkan, meskipun pemancing sebelah sini ini paling jago mancing sedunia. Tuhan sudah menakar jatah rezeki semua orang. Pencerahan itulah yang kemudian Ayah sampaikan kembali kepada Abang.

Natin geli melihat Ayah menjelaskan hal itu kepada anaknya. Karena Natin tahu, bahkan ketika menjelaskan kalimat itupun sebenarnya Ayah sendiri bingung. Antara iman dan keraguan. Semua bercampur aduk. Dalam hati Ayah memohon;”Ya Allah, berikan anakku pengalaman menarik ikan. Sekaliiiii saja Tuhan….” Tapi percuma saja berdoa jika keputusan tentang rezeki itu sudah ditentukan. Maaf, ikan ini untuk orang lain. Bukan buat kamu. Maka sabar, ikhtiar, keahlian dan doa sudah tidak ada pengaruhnya lagi.

Melihat Ayah, Natin seperti melihat dirinya sendiri; dulu ketika berhadapan dengan gurunya. Kegundahan Ayah. Keraguan Ayah. Keimanan Ayah yang sering bertengger dibibir jurang kekufuran, khususnya ketika uang Ayah sudah habis sama sekali. Padahal kebutuhan hidup sedang banyak-banyaknya. Dan Ayah tidak tahu lagi mesti berusaha seperti apa lagi. Kepulan asap didapur ternyata tidak bisa dinyalakan hanya dengan doa. Kesabaran. Bahkan keimanan kepada kuasa Tuhan dalam mengatur kepada siapa Dia memberi kelapangan rezeki, dan kepada siapa Dia menyempitkannya. Iman, berat dijalani dalam perut kosong seperti itu.

“Bekerjalah untukku selama sebulan penuh….” Demikian respon gurunya ketika Natin bertanya perihal itu. “Sebagai upahnya, kamu akan diberi makan secukupnya….” Tambah beliau. Sebuah jawaban yang tidak nyambung dengan pertanyaan. Atau, mungkin beliau tidak tahu mesti menjawab apa. Jadi, mending mengalihkan topik pembicaraan itu.

Natin pun menurut saja. Bagaimana pun juga, sudah menjadi kewajiban murid untuk mematuhi gurunya. Dihari pertama Natin bekerja di sawah gurunya. Tengah hari, ada kiriman makan siang seperti yang dijanjikan gurunya.
Nikmat rasanya menyantap makanan lezat ditengah sawah selepas bekerja seharian itu. Porsinya pas benar dengan ukuran perutnya. Alhamdulillah. Kerja kerasnya terbalaskan dengan sempurna.

Di hari kedua, Natin bekerja lebih giat. Sambil berharap siapa tahu upah makan siangnya semakin banyak. Namun ketika jatah makan siang itu datang. Natin tidak melihat adanya perubahan. Porsinya pas benar dengan ukuran perutnya. Subhanallah. Takaran Tuhan atas rezeki seseorang itu sudah sedemikian sempurna. Kerja lebih keras pun tidak bisa mengubah takarannya.

Di hari ketiga. Natin kecapean. Lelah dicampur elusan angin sepoi membuatnya tertidur seharian. Dia terjaga ketika pengantar makanan membangunkannya. “Celaka,” begitu pikir Natin. “Bisa-bisa hari ini aku tidak mendapatkan jatah makan…” batinnya terus menerawang. Tapi, kekhawatirannya tidak terbukti. Jatah makan itu tetap saja diberikan kepadanya. Allahu Akbar. Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada seorang pun yang sanggup menolak atau menghalanginya.

Demikianlah hari demi hari dijalaninya. Selalu dia berada dalam siklus 3 harian itu. Hari pertama bekerja biasa. Hari kedua bekerja lebih keras. Dan hari ketiganya ketiduran. Terus begitu hingga genap tiga puluh hari
dalam bulan itu.

Diakhir siklus 30 hari itu, sang guru memanggil Natin. “Sudah menemukan jawabannya, mengapa takaran Tuhan atas rezeki seseorang tidak berubah?”

Natin menggeleng. Sambil terpaksa mengatakan ‘belum guru…’ hanya untuk menjaga kesantunan saja. Sementara didalam hatinya berbisik ‘mestinya kan guru yang tahu jawabannya….’

Gurunya tersenyum lalu…”Ini bonus bagi kamu untuk bekerja selama 10 hari….” Natin yang sama sekali tidak menduga akan mendapatkan bonus itu terperanjat. Dia senang alang kepalang. Namun, dia merasa jika ada kesalahan perhitungan gurunya. “M-Maaf guru,” katanya. “Bukankah… guru menugaskan saya bekerja selama 30 hari?” lanjutnya. “Mengapa guru menyebutkan hanya 10 hari?” Sekalipun begitu, tangan Natin terulur untuk menerima bonus
dari gurunya.

Sang guru memandangnya dengan bijak. “Aku tahu itu,” katanya. “Kamu ditugaskan untuk bekerja selama 30 hari. Tapi…” beliau melanjutkan. “Hanya sepuluh hari kamu bekerja lebih banyak dari yang semestinya.”

“Bagaimana dengan pekerjaan baik saya selama 10 hari lainnya?” Tanya Natin. Siapa tahu gurunya mau berbaik hati menambah sedikit bonus lagi. “Untuk sepuluh hari itu, kamu sudah bekerja dengan semestinya. Dan imbalannya pun sudah kamu dapatkan berupa jatah makan sesuai perjanjian yang sudah kita sepakati, bukan?” Demikian gurunya menjelaskan.

Natin. Hanya bisa mengangguk-angguk saja. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya. Karena dia pun sadar sudah mendapatkan upah sesuai perjanjian.

“Oh, ya…” kata gurunya. “Kamu tidur di 10 hari lainnya, kan? Lanjut beliau.
“M-mhhh…” Natin yang tidak menyangka akan ditanya begitu jadi gelagapan. Dia tidak menyangka jika gurunya tahu soal itu. Dikiranya hanya Tuhan yang Maha Tahu. Ternyata Tuhan pun memberitahu gurunya soal itu. Tapi,
tak apalah. Karena selama tidur itupun dia tetap mendapatkan upah berupa jatah makan siangnya.

“Ketika kamu tidur itu,” Sang guru melanjutkan. “Kamu sudah mengurangi perjanjianmu. Kamu bekerja dibawah standar. Padahal kamu mendapatkan upah seperti biasanya.” Katanya. “Jangan begitu lagi ya…”

Natin lega karena guru tidak memarahinya. “Baik guru. Saya mengerti.” Katanya. Dia senang karena ditangannya sekarang sudah teronggok sejumlah hadiah sebagai bonus dari kerja bagusnya selama 10 hari. ‘Lumayan’,
begitulah pikirnya.

Sang guru beranjak pergi. Namun, langkah beliau terhenti. Lalu, “Ah. Ya. “ katanya. Beliau membalikkan badannya. Mendekati Natin. Kemudian mengambil kembali semua hadiah yang tadi sudah diberikannya. Lalu pergi meninggalkan Natin yang melongo sendirian.

“G-guru….” Kata Natin. “Mengapa guru mengambil kembali hadiah itu?”
“Untuk membayar hutang-hutangmu selama 10 hari tidur disaat mesti bekerja itu”. Begitulah jawab gurunya sambil berlalu tanpa menoleh lagi.

Sudah lama sekali sejak pertemuan dengan gurunya itu. Sekarang. Natin menyaksikan Ayah yang sedang berada dipersimpangan jalan. Antara keyakinannya bahwa rezeki setiap orang sudah ditentukan Tuhan. Nggak bakal tertukar. Dan keraguan didalam hatinya. Yang mempertanyakan apakah Tuhan sungguh-sungguh adil dengan membiarkan semua usahanya sia-sia? Keimanan Ayah tengah diuji. Dan ketakwaannya sudah berada diujung tanduk, sekarang.

Natin tidak ingin menasihati Ayah didepan anaknya yang masih kecil. Apalagi sambil ditonton oleh para pemancing lainnya yang rata-rata sudah berhasil menangkap ikan. Natin hanya menitipkan kisah pertemuan dengan gurunya itu kepada angin. Sehingga lamat-lamat, Ayah bisa mendengar nasihatnya. Lembut terasa buaian angin itu hingga Ayah dimanjakan diantara tidur dan terjaganya. Saat frekuensi otak Ayah memasuki rentang gelombang alfa itu. Ayah menemukan bahwa Tuhan tetap akan memberi rezeki kepada mahluknya. Sekalipun dia tidak mau bekerja. Meskipun kerjaan hanya tidur saja.

Tetapi kerja keras orang itu, akan membuka pintu rezeki lain. Yang khusus Tuhan berikan kepada mereka yang mau berikthiar lebih gigih. Lebih ulet. Dan lebih terampil dalam menjalani hari-harinya. Seperti tengah mengaji.
Angin sepoi itu melantukan firman Tuhan dalam surah 37 (As-Shoffat) ayat:39: “Dan kamu tidak diberi balasan, melainkan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.” Masih adakah keraguan dihatimu atas firman mulia itu? Sepertinya Ayah mendengar pertanyaan itu. Natin beranjak pergi. Meninggalkan Ayah yang masih mencari-cari jawabannya dari dalam dirinya sendiri.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman

Catatan Kaki:
Orang yang berkontribusi lebih banyak, pantas mendapatkan imbalan yang juga lebih banyak. Jika tidak didapatkannya balasan lebih banyak didunia ini, maka diakhirat kelak; jatah kebaikannya tetap terjaga dengan sempurna. Sebagai penghormatan dari Tuhannya.



Read More..

Gairah Kerja Ketika Hujan

Hujan sedang lucu-lucunya sekarang. Terlebih lagi kalau kita melihat tetes demi tetesnya jatuh menimpa kolam atau danau yang tenang. Butiran air dari negeri diatas awan itu seperti sedang melompat-lompat dipermukaan bergelombang. Dingin. Namun romantis. Apalagi jika telinga kita juga diizinkan untuk mendengar rintiknya. Seperti nyanyian dari sorga. Tempat para malaikat bertasbih tanpa henti. Sambil menantikan orang-orang yang salih kembali pulang ke kampung halaman sejatinya. Tapi, lucunya hujan itu tidak bisa kita rasakan. Khususnya ketika kita membayangkan, betapa hari itu harus pergi kekantor dengan susah payah. ‘Oh hujan. Bisakah engkau berhenti sejenak. Hingga aku sampai di tempat kerjaku…’ begitulah kita membatin. Anda tidak seperti itu? Saya ragukan itu. Sekalipun Anda berangkat kekantor menggunakan mobil sendiri. Benar begitu?

Ada sebuah kisah kecil yang saya senang jika Anda berkenan menyimaknya. Dongeng, jika Anda lebih suka menyebutnya demikian. Mungkin Anda belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya. Mungkin juga sudah. Tak masalah, bukan? Toh kita bisa menentukannya nanti. Setelah saya menuntaskan kisahnya. Ini tentang seseorang yang tengah melamar pekerjaan. Seperti bagi kebanyakan orang lainnya, pekerjaan yang dilamarnya itu sangat penting sekali baginya. Hari ini, adalah kesempatan yang hanya sekali baginya untuk meyakinkan calon bossnya bahwa dia adalah kandidat yang paling tepat untuk posisi kosong itu.

Sudah sejak kemarin segalanya dipersiapkan. Dipilihnya kemeja dan celana panjang terbaiknya. Disemirnya sepatu yang hanya satu-satunya. Dicukurnya rambutnya. Dipotongnya kuku di jari jemarinya. Semua. Dinantikannya hari yang bersejarah itu dengan penuh harap. Bahkan ketika hendak tidur, doa terakhirnya adalah;”Tuhanku, jadikanlah besok hari paling bersejarah yang akan selalu kukenang dalam permulaan karirku…..”

Keesokan paginya, dia mendapati hujan yang tiada henti sejak semalam. Dia cemas. Namun masih berharap hujan itu bersedia jeda sesaat. Setidaknya, selama dia dalam perjalanan sehingga bisa tiba ditempat wawancara tepat waktu, dan tentunya dengan tetap rapi. ‘Oh hujan. Bisakah engkau berhenti sejenak. Hingga aku sampai di tempat tujuanku…’ begitu dia bergumam dalam harap dan cemasnya.

Sungguh. Dia sama sekali tidak mengharapkan keajaiban. Namun, bagaimana mungkin hujan yang disertai badai itu bisa berhenti begitu saja jika bukan dengan keajaiban? Sayangnya, kejaibain itu mungkin memang tidak ada. Sehingga tidak soal berapa kali dia berdoa dan meminta, hujan itu tidak juga kunjung reda. Tak ada payung. Tak punya jas hujan. Tak ada yang bisa dia lakukan.

Akhirnya, dia memutuskan untuk membuka kembali seluruh pakaiannya yang sudah sedemikian rapi itu. Lalu dia berganti dengan yang seadanya. Dilipatnya pakai terbaiknya. Lalu dimasukkannya kedalam sebuah tas ransel. Setelah itu, dia pergi ke belakang rumah. Entah apa yang dilakukannya. Namun, ketika kembali dia menenteng selembar pelastik transparan yang telah dikotak katiknya untuk menjadi sebuah jas hujan buatan tangan. Diselendangkannya ransel berisi pakaian. Dan ditentengnya sepatu mengkilap yang telah dimasukkan kedalam kantung keresek. Rupanya, dia tidak mau menyerah kepada hujan lebat.

Banjir. Kata berita di tivi. Dia tidak terlampau peduli. Macet. Kata tukang ojek. Dia tidak menghiraukannya. Tekadnya sudah bulat. Harus datang memenuhi jadwal wawancara itu. Maka, dia pun menembus lebatnya hujan disertai petir dan angin kencang itu.

Benar saja. Banjir dimana-mana. Macet. Meski sudah biasa. Tapi kali itu tidak ada duanya. Tapi semua uangnya sudah diserahkan kepada tukang ojek asal dia mau mengantarnya hingga ketempat tujuan. Uang yang biasanya cukup untuk perjalanan pulang pergi plus makan siang kini hanya cukup untuk sekali jalan. Tapi. Tekadnya tidak lagi bisa dibuat surut ke belakang. Dia memutuskan untuk terus berjuang.

Perjalanan hanya tinggal sedikit lagi. Tak lama lagi dia tiba ditempat wawancara. Ojek pun berhenti. Dan dia pun turun. Lalu berlari di trotoar yang tergerus aliran air. Dia. Tidak melihat jika bibir trotoar itu roboh, sehingga untuk sesaat dia tidak menyadari apapun kecuali semua pemandangan sudah berubah menjadi gelap. Gemuruh sesaat, lalu hening berkepanjangan……………………..

“Terpeleset ke kali kecil yang terendam banjir,” demikianlah tayangan ulang dalam pikirannya ketika kesadarannya kembali pulih diruang kecil yang tak lain adalah kantor satpam.

“Saya mau wawancara Pak,” katanya kepada Satpam. Namun, kedua satpam yang bertugas tidak mempercayainya. Mana ada orang yang mau wawacara hanya mengenakan pakaian seadanya. Pakai sandal jepit pula. Melamar kuli angkut sih, mungkin. Tapi ini adalah gedung perkantoran elit. Takkan ada orang yang diizinkan masuk dengan pakaian seperti itu. Sudah basah kuyup pula.

“Pakaian dan sepatu saya hanyut,” dia berusaha menjelaskan. Namun, penjelasannya malah membuat orang lain mengira jika kepalanya terbentur batu ketika terpeleset tadi.

“Semua pakaian saya copot dan dimasukkan kedalam ransel,” katanya lagi. Hujan badai saja bisa dia taklukkan. Masa kedua satpam itu tidak bisa diyakinkannya.

“Sudahlah kamu nggak usah ngelantur,” kata satpam itu. “Minum tuch kopinya biar badan kamu nggak kedinginan.” Lanjutnya.

“Nanti kalau hujannya berhenti kamu bisa pergi,” timpal satpam satunya lagi. Tidak diragukan jika keduanya sangat berbaik hati. Lelaki itu menjelaskan kronologisnya. Dan kedua satpam itu menjelaskan prosedur dikantornya.

Lelaki itu bersikeras untuk mengikuti wawancara. Kedua satpam itu memberi ultimatum jika mereka bisa saja mengusirnya. Lelaki itu merasakan benar kebaikan kedua satpam itu kepada dirinya selama ini. Tapi dia membutuhkan satu kebaikan lainnya. Hanya satu lagi. Yaitu, mengizinkan dirinya masuk ke kantor megah itu untuk mengikuti wawancara pentingnya.

Satpam itu mengizinkannya. Alhamdulillah. Tapi dengan syarat. Ada bukti kalau dia diundang. Dan mengenakan pakaian yang sepantasnya untuk wawancara dengan orang penting di perusahaan. Dan karena semua persyaratan itu tidak bisa dipenuhinya. Maka satpam itu, tidak bisa mengizinkannya masuk. Hanya nilai kemanusiaan yang membuat mereka memberi tempat untuk berteduh.

“Kalau begitu, bisakah saya meminta kertas dan pulpen?” pinta lelaki itu. Satpam yang lebih muda memandang kearah satpam yang lebih senior. Setelah saling bertatapan beberapa saat, satpam senior itu mengeluarkan bunyi ‘hemh’ pendek. Arti bunyi ‘hemh’ itu baru ketahuan setelah satpam muda menyerahkan selembar kertas dan sebatang pulpen
pada lelaki itu.

Setelah berterimakasih. Lelaki itu pun mulai menulis. Khusyuk sekali terlihat dirinya menuliskan sesuatu. Setelah sekitar lima belas menit, dia membaca ulang semua tulisannya. Dibaca ulangnya sekali lagi. Dan sekali lagi. Lalu, dia pun melipat kertas itu. Dibagian luarnya dia kembali menulis “Kepada. Yth. Bapak…….. di tempat.”

“Tolong sampaikan surat ini kepada beliau ya Pak…” pintanya kepada Satpam. Senyum pak satpam segera pudar ketika dibacanya nama yang tertulis disana. “Kamu kenal sama beliau?” tanyanya.

“Belum,” jawab lelaki itu. “Tapi seharusnya saya bertemu beliau untuk wawancara…” lanjutnya. Nada suaranya terdengar berat. Tapi wajahnya memancarkan ketegaran.
“T-tapi….” Kata satpam itu. Wajahnya menyiratkan kesan bimbang. Atau tidak enak. Atau semacamnya.

“Saya mengerti Pak,” kata lelaki itu. “Memang saya tidak layak menemui beliau dalam keadaan seperti ini.” Lanjutnya. “Tak masalah. Tolong sampaikan saja surat saya.”

Lelaki itu menyalami kedua satpam itu. Dan mengucapkan terimakasih atas kebaikan mereka menolongnya dari seretan air deras di kali kecil pinggir jalan itu. Berterimakasih atas secangkir kopi nikmat yang membuat tubuhnya kembali hangat. Terimakasih atas kebaikan mereka memberi tempat untuk berteduh. Dan berterimakasih, jika mereka berkenan menyampaikan surat itu. Lalu dia pun berpamitan.

“Hujan masih lebat Mas,” kata satpam itu. “Tunggu saja sampai reda….” “Tidak ada yang tahu kapan hujan akan berhenti, Pak,” jawab lelaki itu. “Jika saya berdiam diri disini, maka saya akan kehilangan kesempatan yang mungkin bertebaran ditempat lainnya.” Katanya.

Kedua satpam itu tertegun. Entah karena merasa tidak enak. Atau karena terhenyak oleh kalimat yang dikatakan oleh lelaki itu. “Tidak ada yang tahu kapan hujan akan berhenti. Jika saya berdiam diri disini, maka saya akan kehilangan kesempatan yang mungkin bertebaran ditempat lainnya.” Atau…mungkin karena kedua-duanya.

Dia pun berjalan menembus hujan lebat itu. Berjalan sendirian. Karena ditengah hujan sederas itu, tidak ada orang yang suka berada dijalanan. Tubuhnya segera ditelan oleh gelapnya pandangan terhalang kabut. Seperti menghilang ditelan oleh gemuruh hujan disertai kilatan dan gelegar petir yang saling bersahutan.

Menurut pendapat Anda. Apakah ini kisah hayalan? Atau rekaan belaka? Atau campuran keduanya? Jawaban Anda bisa benar dan bisa saja salah. Tapi bukan itu yang paling penting bagi kita. Anda tidak perlu susah payah memikirkan jawabannya. Karena yang lebih penting dari itu adalah menjawab pertanyaan ini; “Ketika perjalanan ke tempat kerja Anda tengah diguyur hujan, hati Anda mengatakan apa? Ketika hujan menghalangi perjalanan Anda ke tempat kerja, Anda melakukan apa? Dan ketika hujan tengah lebat-lebatnya dihari kerja; Anda mensyukuri apa?”

Jawaban untuk ketiga pertanyaan itu yang lebih penting bagi kita. Dan jika Anda belum menemukan jawaban yang menyebabkan gairah kerja Anda semakin menggelora ketika hujan melanda; maka mungkin, Anda perlu merenungkan lagi. Betapa orang lain sedemikian gigihnya untuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan kita yang sudah memiliki pekerjaan ini, sedemikian mudahnya dihentikan oleh hujan.

Peristiwa itu sudah lama berlalu. Lelaki itu sudah belajar melupakan kegagalannya. Kegagalan yang bukan karena dirinya buruk. Melainkan karena alam telah menegaskan kepadanya bahwa Tuhan, berkuasa untuk melakukan apa saja sesuai kehendakNya. Tapi. Lelaki itu tidak kecewa karena dia. Sudah melakukan hal terbaik semaksimal yang dia bisa. Peritiwa lama. Yang masih nikmat untuk dikenang. Dia bangga pada dirinya sendiri yang pantang menyerah dan gigih dalam berjuang. Makanya, dia masih berwajah cerah ketika teleponnya berdering.

“Hallo…” sapanya. Dia mendengarkan suara balasan dari seberang. Setelah itu, dia bersujud. Sepertinya tidak percaya pada apa yang didengarnya di telepon. Suratnya yang dititipkan kepada satpam beberapa bulan lalu itu sampai kepada yang dituju. Dan sekarang, beliau berada diujung telepon. Untuk mengatakan; “Besok, kamu mulai bekerja di kantor kami…..”

Sahabatku, musim hujan adalah saat yang paling tepat untuk menguji kualitas profesionalime kita. Dan disaat kebanyakan orang melemah daya juangnya, maka sedikit orang yang gigih akan tampil seperti sinar mentari yang menembus temaramnya jiwa diliputi mendung dan curah hujan. Pantaslah jika Rasulullah pernah menasihatkan bahwa “Hujan itu adalah rahmat.” Khususnya bagi orang-orang yang bersyukur. Dan tetap gigih menjalankan amanah yang
diembannya. Serta pantang menyerah, dalam memperjuangkan hidupnya.

Kita. tidak akan rela jika kantor mengurangi bayaran gara-gara hujan. Makanya adil jika kita juga tetap bergairah ketika berangkat dan bekerja, meskipun cuaca tengah diguyur hujan. Makanya. Ayo teman. Tetaplah bergairah. Untuk bekerja. Meskipun kita sedang menghadapi musim hujan yang sedang lucu-lucunya ini. Mungkin berat ketika kita menjalani aktivitas kerja dimusim seperti ini. Mungkin gagal usaha kita kali ini. Tapi, boleh jadi. Apapun yang kita lakukan selama ini tetap tertulis dalam kitab yang mencatat setiap amal perbuatan. Dari catatan di kitab itu, ada yang Tuhan kembalikan hasilnya didunia. Dan ada yang disimpanNya untuk bekal kita diakhirat kelak. Siapa tahu, kan?

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!


Catatan Kaki:
Hujan hanya menjadi rahmat bagi orang yang tetap bersyukur. Tetap berikhtiar. Dan tetap memegang teguh tanggungjawabnya. Namun, rahmat itu tidak bisa ditangkap oleh orang yang berpikir, dan bertindak sebaliknya.



Read More..