Wednesday, October 10, 2012

The Death of Samurai

The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

Written by Yodhia Antariksa

Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.

Read More..

Cape Hati

Pekerjaan yang menguras tenaga fisik jelas sangat melelahkan. Makanya, jangan tanya bagaimana lelahnya para pekerja kasar di pasar. Kuli bangunan. Ataupun tukang angkut
barang di pelabuhan. Kalau pekerja kantoran, tidak harus berkeringat seperti mereka. Sekalipun begitu, kaum kantoran mempunyai bentuk kelelahan tersendiri.
Jika para pekerja lapangan lelah secara fisik, sedangkan para pekerja kantoran pada umumnya mengalami kelelahan secara emosi. Atau yang bisa kita sebut sebagai
lelah hati. Menurut pendapat Anda, mana yang paling menyiksa; lelah fisik, atau lelah hati?

Orang yang terbiasa bekerja ‘halus’ di kantor biasanya enggan untuk menjadi pekerja kasar. Sebab, bagaimanapun juga pekerjaan kantoran lebih banyak memberikan kenikmatan.
Namun, fakta itu juga tidak menyurutkan betapa banyaknya orang yang gemar mengeluhkan pekerjaannya yang sudah enak itu. Adaaaaaa saja alasan untuk menyimpan kekesalan didalam hati. Nah, kekesalan dan kerap munculnya keluhan itu mengindikasikan terjadinya kelelahan hati pada orang itu. Betapa sempurnanya kehidupan, jika selain punya pekerjaan yang enak; kita juga bisa senang hati selama menjalaninya. Kedua hal dalam satu paket inilah yang masih jarang dimiliki orang. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menghindari kelelahan hati di tempat kerja, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatInâ„¢), berikut ini:

1.Perilaku orang lain bukan otoritas kita. Lelah hati itu biasanya terjadi karena kekecewaan kita terhadap perilaku atau perlakuan orang lain.Apakah itu atasan kita, teman sekerja kita, anak buah kita. Bahkan mungkin pemilik perusahaan tempat kita bekerja. Kita tidak bisa menerima perilaku mereka. “Kenapa sih atasan tidak mengerti saya?
Kenapa anak buah tidak menghargai saya? Kenapa teman-teman menyepelekan saya? Kenapa pemilik perusahaan mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan usulan saya? Hati kita jadi dipenuhi oleh beragam gugatan itu. Padahal, tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan seperti itu. Maka jika ingin senang hati menghadapinya, pahamilah bahwa kita tidak punya otoritas untuk mengendalikan perilaku orang lain. Sebagai penyeimbangnya, kita punya kekuasaan 100% untuk mengambil sikap terhadap perilaku mereka. Jika sikap kita tepat, maka kita akan tetap senang hati.

2.Orang lain sama tidak sempurnanya seperti kita. Kekesalahan dalam hati juga sering muncul ketika kita terlampau terfokus kepada perilaku tidak tepat orang lain.Cobalah perhatikan orang-orang di sekeliling Anda, lalu temukanlah kekurangan mereka. Tentu Anda akan menemukannya. Mengapa? Karena mereka bukan orang yang sempurna. Sekarang, istirahat dulu deh dari melihat orang lain; kemudian tataplah cermin. Lantas temukan kekurangan diri sendiri. Bisakah Anda menemukannya? Biasanya, mudah bagi kita untuk menemukan kekurangan fisik. Namun tidak semudah itu untuk menyadari bahwa kita sendiri pun mempunyai kekurangan sikap dan perilaku. Orang yang merasa dirinya sudah bersikap dan berperilaku sempurna, biasanya semakin mudah menemukan kejelekan orang lain. Sedangkan orang yang menyadari kekurangan-kekurangannya sendiri biasanya juga bisa sepenuhnya menyadari bahwa memang orang lain sama tidak sempurnanya dengan kita. Sehingga dia, tidak terlalu kecewa mendapati orang yang berperilaku buruk.

3.Segala sesuatu ada latar belakangnya. Cobalah perhatikan, adakah satu saja tindakan yang Anda lakukan tanpa ada alasan? Biasanya kita kan pandai sekali mencari alasan; mengapa kita melakukan sesuatu? Karenanya, kita selalu memiliki pembenaran atas apapun yang kita lakukan.Termasuk tindakan buruk. Kita melakukannya karena bla, bla, bla. Dan karena ada alasan itu, kita merasa memang sudah sewajarnya melakukan hal itu. Yang sering tidak kita sadari adalah; orang lain pun mempunyai alasan atau justifikasi atas setiap tindakan atau perilaku mereka. Maka ketika orang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan kita, belum tentu mereka memberikan penilaian yang sama seperti subyektivitas kita. Oleh karenanya, terlalu mudah memasukkan ketidaknyamanan akibat perilaku orang lain kedalam hati hanya akan semakin memperburuk perasaan hati kita saja. Jadi, mending mencoba memahami latar belakangnya deh. Agar hati kita, lapang.

4. Selalu ada konsekuensi setiap interaksi. Ada nggak situasi dimana Anda berinteraksi dengan orang lain, namun orang itu tidak memberikan respon sama sekali pada Anda? Anda tanya, dia diam saja.Anda ajak senyum, wajahnya datar saja. Anda tonjok pun, dia diam saja. Adakah bentuk interaksi seperti itu? Ada. Yaitu, jika Anda berinteraksi dengan orang yang sudah jadi jenazah. Di kantor, kita kan tidak punya bentuk interaksi seperti itu. Maka setiap interaksi kita dengan orang lain, pasti menimbulkan konsekuensi. Bisa konsekuensi yang menyenangkan kita, bisa juga sebaliknya. Masalahnya, konsekuensi yang tidak menyenangkan sering lebih terasa daripada yang menyenangkan. Sehingga kita punya kecenderungan untuk membesar-besarkannya. Atau memfokuskan perhatian kepada yang tidak menyenangkan sehingga konsekuensi yang menyenangkan malah terkerdilkan. Bersiaplah dengan konsekuensi setiap interaksi. Maka hati kita semakin siap menghadapinya.

5. Orang lain bukan tanggungjawab penuh kita. Â Kita semua percaya bahwa setiap
orang akan mempertanggungjawabkan apapun yang sudah dilakukannya.Tidak bisa tidak. Sehingga orang-orang yang berperilaku buruk akan menuai buah yang buruk pada saatnya kelak. Penting untuk menyadari hal itu agar kita tidak merasa rugi jika tidak dapat membalas tindakan buruk orang lain. Malahan, kita jadi tidak tertarik sama sekali untuk memembalas dendam. Mengapa mesti kita balas jika setiap orang cepat atau lambat
akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya? Jadi, ya santai saja. Dengan
begitu kita bisa menggunakan seluruh daya diri yang kita miliki untuk melakukan
sesuatu yang positif dan produktif. Kalau soal perlakukan buruk orang lain,
cukuplah kita berjaga-jaga untuk keselamatan kita atau melindungi diri dari bahaya
atau efek buruk yang mungkin ditimbulkannya. Sedangkan hitung-hitungannya; bukan tanggungjawab kita.

Dimana pun kita
berada. Kemanapun kita pergi. Selama kita bertemu dengan orang lain untuk berinteraksi, maka disana selalu ada kemungkinan terjadinya friksi. Apalagi dengan orang-orang di kantor yang selama bertahun-tahun kita berinteraksi setiap hari. Peluang terjadinya friksi, semakin tinggi. Hari ini, mungkin semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimana kalau besok Anda saling bersaing memperebutkan sebuah posisi? Bagaimana jika nanti boss Anda lebih menyukai teman Anda atau sebaliknya? Semuanya mungkin terjadi. Tapi jika kita bisa bersikap dan berperilaku secara tepat, maka kita bisa terhindar dari lelah hati. Malah sebaliknya, kita bisa menjadi pribadi yang hatinya tetap terjaga lapang, bersih dan murni.

Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
DEKA Dadang Kadarusman
Leadership and Personnel
Development TrainerÂ

Catatan Kaki:
Perlakuan buruk orang lain tidak akan bisa menyakiti hati kita, jika kita tidak menyerahkan ruang kosong didalam hati untuk mereka kotori.

Read More..

Bersedekah Agar Ditambahkan Rizkinya Di Dunia Syirik?

Diantara perkara-perkara yang disangka merusak keikhlasan, bahkan dianggap perbuatan kesyirikan padahal sebenarnya tidak, adalah:

Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang dizinkan oleh syari'at

Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah

"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu" (QS Al-Baqoroh : 198)

Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji sambil berdagang maka hajinya sah, berdasarkan ayat ini. Tentunya seseorang yang berhaji sambil berdagang tidaklah ia memaksudkan dengan perdagangannya untuk riyaa'. Karenanya perdagangannya tersebut bukanlah kesyirikan. Akan tetapi niatnya adalah ia berhaji sambil berdagang, dan berdasarkan ayat ini Allah membolehkan niat seperti ini.

Contoh lagi sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

"Obati orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah" (Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib no 744)

Hadits ini menunjukan akan bolehnya seseorang bersedekah dengan niat agar orang yang sakit dari keluarganya disembuhkan oleh Allah dengan sebab sedekah tersebut.

Nabi juga bersabda :
"Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung silaturahmi" (HR Al-Bukhari no 2067 dan Muslim no 2557)

Hadits ini jelas menunjukkan akan bolehnya seseorang bersilaturahmi dengan niat agar dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.

Bahkan Allah berfirman
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS At-Tholaaq : 2-3)

Ayat ini jelas bahwsanya boleh seseorang bertakwa kepada Allah dengan niat agar diberi jalan keluar oleh Allah dan diberi rizki dari arah yang tidak ia persangkakan.

Sebagian ulama menyangka bahwasanya jika dalam ibadah tercampurkan/tersyarikatkan niat-niat keduniaan maka ibadah tersebut tidak sah. Akan tetapi hal ini merupakan kesalahan. Al-Imam Al-Qoroofi salah seorang ulama besar dari madzhab Maliki telah menjelaskan dengan gamblang tentang perbedaan antara riyaa' dengan mencampurkan niat keduniaan dalam ibadah. Al-Qorofi rahimahullah berkata :

"Perbedaan yang ke 102, antara kaidah riyaa' dalam peribadatan dengan kaidah tasyriik (mencampurkan niat keduaniaan-pen) dalam ibadah.

Ketahuilah bahwasanya riyaa' dalam peribadatan adalah syirik, serta mempersyerikatkan bersama Allah dalam ketaatannya. Dan hal ini melazimkan kemaksiatan dan dosa, serta batilnya ibadah tersebut….

Penjelasan kaidah (riyaa') ini dan rahasainya adalah seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperintahkan untuk bertaqorrub dan dia memaksudkan dengan amalan tersebut wajah Allah dan juga agar orang-orang mengagungkannya atau sebagian orang, maka dengan diagungkannya dia sampailah kemanfaatan orang-orang tersebut kepadanya atau ia terhindarkan dari gangguan mereka. Ini adalah kaidah dari salah satu dari dua model riyaa'.

Adapun model yang lain, yaitu ia beramal dengan suatu amalan yang ia sama sekali tidak mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia hanya ingin (pengagungan/sanjungan) manusia saja. Model ini dinamakan dengan riyaa yang murni, adapun model yang pertama dinamakan dengan riyaa' syirik, karena model ini tidak ada pensyarikatan, semata-mata mengharapkan pujian manusia saja, adapun model yang pertama pensyarikatan antara manusia dan Allah….

Adapun hanya sekedar pensyarikatan –seperti seseorang yang berjihad untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dengan berjihad dan juga untuk memperoleh harta gonimah- maka hal ini tidaklah memudhorotkannya, serta ijmak (kesepakatan/konsensus) ulama bahwasanya hal ini tidak haram baginya, karena Allah menjadikan harta gonimah dalam ibadah jihad. Maka tentunya ada perbedaan antara seseorang yang berjihad agar orang-orang mengatakan "ia adalah seorang pemberani", atau agar sang imam/pemimpin negara menghormatinya sehingga memberikannya banyak harta dari baitul maal, maka hal ini dan yang semisalnya adalah riyaa' yang haram. Berbeda dengan seseorang yang berjihad untuk memperoleh budak tawanan wanita, hewan tunggangan perang, dan persenjataan musuh, maka hal ini tidaklah memudorotkannya, padahal ia telah mensyerikatkan (niatnya-pen). Dan tidaklah dikatakan bahwasanya hal ini adalah riyaa, karena riyaa' adalah ia beramal agar makhluk Allah melihatnya… maka barangsiapa yang tidak melihat dan tidak memandang maka tidaklah dikatakan pada suatu amalan –dari sisinya- adalah riyaa'. Harta gonimah dan yang semisalnya tidaklah dikatakan ia melihat atau memandang, maka tidaklah benar jika dikatakan lafal riyaa' kepada benda-benda ini karena mereka tidak melihat.

Demikian pula seseorang yang haji lalu mensyarikatkan dalam hajinya maksud untuk berdagang, yaitu mayoritas tujuannya atau bahkan seluruhnya adalah bersafar untuk berdagang secara khusus, dan hajinya –ia maksudkan atau tidak- akan tetapi hanya bersifat mengikuti tujuan dagangnya. Hal ini juga tidaklah merusak keabsahan hajiaya, dan tidak menimbulkan dosa dan kemaksiatan.

Demikian pula orang yang berpuasa agar tubuhnya sehat, atau agar hilang penyakitnya yang bisa disembuhkan dengan puasa, maka jadilah penyembuhan merupakan tujuannya atau diantara tujuannya dan puasa dibarengkan dalam tujuannya. Lalu ia melakukan puasa disertai dengan tujuan-tujuan ini. Hal ini tidaklah merusak puasanya, bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan dalam sabdanya, "Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang telah mampu maka menikahlah, barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi perisai baginya", yaitu pemutus syahwatnya. Maka Nabi memerintahkan berpuasa untuk tujuan ini, jika hal ini bisa merusak keabsahan puasa, tentunya Nabi tidak akan memerintahkan hal ini dalam peribadatan, dan juga tidak menyertakan tujuan ini dalam niat ibadah. Diantaranya juga orang yang memperbarui wudhunya agar lebih segar dan lebih bersih.

Seluruh tujuan-tujuan ini tidaklah terdapat padanya pengagungan makhluk. Akan tetapi hanyalah pensyerikatan perkara-perkara kemaslahatan yang tidak memiliki indra, dan tidak bisa memiliki indra (penglihatan) dan tidak layak untuk diagungkan. Maka hal ini tidaklah merusak keabsahan ibadah…

Benar bahwasanya tujuan-tujuan ini yang mencampuri ibadah bisa jadi mengurangi ganjaran ibadah. Ibadah yang tujuannya murni dan bersih dari tujuan-tujuan duniawi ini maka pahalanya lebih besar dan banyak. Adapun dosa dan batilnya ibadah maka tidaklah ada dalilnya" (Al-Furuuq li Al-Qoroofi, tahqiq : Umar Hasan Al-Qiyyaam, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama 3/10-12)

Akan tetapi tentunya ada perbedaan antara seseorang yang niatnya murni semata-mata karena mencari ganjaran akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh kenikmatan-kenikmatan dunia. Maka orang yang seperti ini tentunya tidak berkurang sama sekali pahalanya. Berbeda dengan seseorang yang sejak awal beribadah dalam niatnya sudah tercampur niat keduniaan (untuk memperoleh harta dunia) maka orang inilah yang pahalanya berkurang. (Lihat Ihkaam Al-Ahkaam karya Ibnu Daqiiq al-'Ied hal 492, tahqiq Mushthofa syaikh, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama)

Seorang yang berjihad niatnya semata-semata untuk menegakkan kalimat Allah dan berharap ganjara akhirat, lantas setelah itu ia memperoleh gonimah harta rampasan perang musuh maka pahalanya sempurna. Karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallampun serta para sahabat mengambil harta rampasan perang. Berbeda halnya dengan seseorang yang sejak awal berangkat berjihad niatnya sudah tercampur dengan tujuan untuk memperoleh harta rampasan perang. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ;
"Tidaklah ada pasukan yang berjihad di jalan Allah lalu memperoleh harta gonimah kecuali mereka telah menyegerakan dua pertiga pahala akhirat mereka, dan tersisa bagi mereka sepertiga pahala akhirat mereka. Jika mereka tidak memperoleh gonimah maka sempurnalah pahala mereka" (HR Muslim no 1905)

Karenanya mungkin kita bisa membagi permasalahan ini dalam beberapa bagian berikut:

Pertama : Seseorang yang beribadah murni karena riyaa…, sama sekali tidak terbetik dalam hatinya keinginan untuk meraih pahal akhirat. Riyaa yang seperti ini jika selalu terjadi dalam peribadatan, maka hampir-hampir tidak dilakukan oleh seorang muslim, akan tetapi terjadi para orang-orang munafik

Kedua : Seseorang yang beribadah dengan riyaa', ia mengharapkan wajah Allah, ia mengharapkan ganjaran akhirat, akan tetapi ia juga mengharapkan pujian manusia, sanjungan dan pengagungan dari mereka terhadap dirinya. Inilah riyaa' yang sering menimpa kaum muslimin.

Ketiga : Seseorang yang tatkala beribadah sama sekali tidak terbetik dalam hatinya untuk memperoleh ganjaran akhirat, akan tetapi niatnya murni untuk mencari perkara duniawi, inilah yang dinamakan oleh Al-Qoroofi dengan Riyaa nya ikhlas/murni. Allah berfirman :
Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS Al-Baqoroh : 200)

Keempat : Seseorang yang beribadah murni ikhlash karena Allah, dan tidak ada dalam niatnya untuk memperoleh pujian manusia, dan juga tidak ada niat untuk memperoleh tujuan duniawi. Maka orang seperti ini pahalanya sempurna, meskipun setelah itu ternyata ia memperoleh perkara-perkara dunia, baik dipuji atau memperoleh harta dunia karena amalannya maka sama sekali tidak mempengarui kesempurnaan pahalanya.

Hal ini seperti seseorang yang setelah beramala sholeh lalu ia dipuji orang lain, dan kemudian dalam hatinya terbetik rasa gembira dengan pujian tersebut. Maka ini tidaklah mempengaruhi kesempurnaan pahala ibadanya yang telah ia kerjakan dengan ikhlas tanpa mengharapkan pujian manusia.

Ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Bagaimana pendapatmu dengan orang yang melakukan suatu amalan kebaikan, lalu setelah itu dia mendapatkan pujian orang-orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah berita gembira bagi seorang mukmin yang disegerakan.” (HR Muslim no 2642). An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini pertanda bahwa Allah ridho dan mencintainya. Lalu Allah menjadikan makhluk/manusia mencintainya pula" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 16/189)

Demikian pula seseorang yang berjihad ikhlash dan tidak terbetik dalam hatinya untuk mecari gonimah, lantas setelah itu iapun memperoleh harta gonimah.

Kelima : Seseorang yang beribadah ikhlash karena mengharapkan wajah Allah, akan tetapi ia menyertakan dalam niatnya tujuan-tujuan yang lain, maka kondisi orang ini ada tiga kemungkinan

(1) Tujuan-tujuan tersebut juga merupakan tujuan yang mulia dan berkaitan dengan akhirat. Maka orang seperti ini memperoleh ganjaran yang ganda berdasarkan niat gandanya. Contohnya seseorang imam yang sengaja memperpanjang ruku'nya karena ia merasa ada makmum yang terlambat yang segera ingin ruku' bersamanya agar memperoleh pahala raka'at. Maka imam ini telah melakukan dua kebaikan. Al-'Iz bin Abdis Salaam berkata, "Apakah perbuatan seorang imam yang menunggu makmum masbuq agar mendapatkan ruku' termasuk kesyirikan?. Aku katakan bahwasanya sebagian ulama menyangka perkaranya demikian, akan tetapi perkaranya tidak sebagaimana yang mereka sangka. Justru hal ini adalah bentuk mengumpulkan dua qurbah (amal sholeh), karena ia telah membantu makmum untuk mendapatkan ruku' dan ini merupakan amal sholeh tersendiri" (Qowaa'id Al-Ahkaam Fi Mashoolih al-Anaam, karya Al-'Izz bin Abdis Salaam 1/212, tahqiq DR Utsman Jum'at, Daarul Qolam)

Lalu Al-'Izz bin Abdis Salaam menyebutkan dalil akan hal ini, yaitu bahwasanya ada seseorang yang sholat sendirian lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, Adakah seseorang yang bersedekah terhadap orang ini, lalu sholat berjama'ah bersamanya?. (HR Abu Dawud 574 dan dishahihkan oleh Al-Akbani). Lalu ada seseorang yang sholat bersama orang tersebut. Dan Nabi tidak menjadikan amalan ini sebagai suatu bentuk riyaa' atau kesyirikan (Lihat Qowaa'idul Ahkaam 1/213).

Dalil lain yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sungguh aku hendak sholat dan aku ingin memperpanjang sholatku, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka akupun meringankan/mempercepat sholatku kawatir memberatkan ibunya" (HR Abu Dawud no 755 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Dari Abu Qilabah ia berkata, "Malik bin Al-Huwairits radhiallahu 'anhu datang di masjid kami ini, lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku akan sholat mengimami kalian, dan sebenarnya aku tidak ingin sholat, aku sholat sebagaimana aku melihat Nabi shlallallalhu 'alaihi wa sallam sholat" (HR Al-Bukhari no 677).

Al-Hafiz Ibnu Hajr berkata, "Malik bin al-Huwaits memandang bahwa mengajari tata cara sholat dengan praktek lebih jelas dari pada dengan perkataan. Ini dalil akan bolehnya hal ini, dan hal ini tidak termasuk dalam bab kesyirikan dalam ibadah" (Fathul Baari 2/163)

(2) Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi diperbolehkan dalam syari'at berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seperti seseorang yang bersilaturahmi selain ingin memperoleh pahala dari Allah ia juga ingin diperpanjang umurnya dan ditambah rizkinya. Atau seseorang yang bersedekah selain karena berharap pahala akhirat ia juga ingin sedekah tersebut sebagai sebab kesembuhan penyakit salah satu anggota keluarganya. Maka dzohir dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa niat-niat keduniaan seperti ini tidak mengurangi kesempurnaan pahala ibadahnya. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memotivasi untuk beribadah dengan ganjaran dunia yang bisa mengurangi kesempurnaan pahala akhirat. Nabilah yang memotivasi untuk memperpanjang umur dan lapangnya rizki dengan bersilaturahmi.

(3) Tujuan-tujuan tersebut berkaitan dengan dunia, akan tetapi tidak ada nash/dalil khusus yang menjelaskan akan kebolehannya. Contoh tidak ada dalil bahwasanya jika seseorang menjadi imam masjid lantas akan dilapangkan rizkinya, atau seseorang yang berdakwah akan ditambah rizkinya. Maka kondisi orang yang seperti ini ada dua model:

* Perkara dunia yang menjadi tujuannya ternyata ia tujukan untuk amalan akhirat. Contohnya seseorang yang menjadi imam dengan niat untuk memperoleh upah imam, lantas ia niatkan upah tersebut untuk menjalankan amal sholeh, seperti untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, atau agar bisa bersedekah pada fakir miskin, dsb. Maka dzohirnya ia sama dengan model yang (1) di atas, yang memiliki tujuan ganda tapi seluruhnya merupakan tujuan akhirat. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Yang mustahab/disunnahkan adalah seseorang mengambil (upah) untuk bisa berhaji, bukan berhaji untuk mengambil upah. Hal ini berlaku bagi seluruh upah yang diambil dari amal sholeh. Barang siapa yang mencari rizki (mengambil upah) agar bisa belajar atau agar bisa mengajar atau untuk berjihad maka baik. Sebagaimana datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
"Permisalan orang-orang yang berperang (berjihad) dari umatku dan mengambil upah mereka (gonimah dan lain-lain -pen) seperti ibunya nabi Muasa yang menyusui anaknya lalu mengambil upahnya" (Dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani)

Nabi menyamakan mereka (para mujahid) dengan seseorang yang melakukan suatu pekerjaan karena suka dengan pekerjaan tersebut, sebagaimana ibunya Musa yang menyusui Nabi Musa. Hal ini berbeda dengan wanita penyusu sewaan… Adapun orang yang berbuat dalam bentuk amal sholeh agar bisa memperoleh rizki maka ini termasuk amalan dunia.
Maka berbeda antara seseorang yang agama merupakan tujuannya dan dunia hanyalah wasilah/perantara dengan seseorang yang dunia merupakan tujuan sedangkan agama adalah wasilah/perantaranya. Orang yang seperti ini dzohirnya ia tidak akan memperoleh bagian di akhirat" (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 26/19-20)

* Perkara dunia yang menjadi tujuannya adalah tidak ia kaitkan dengan tujuan akhirat. Seperti contohnya ia hanya ingin memperoleh upah imam dalam rangka tujuan-tujuan duniawi murni, maka inilah yang mengurangi kesempurnaan pahala akhirat dan ibadah yang ia lakukan.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 25-10-1433 H / 12 September 2012 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Read More..

Berjalan Menuju Langit

Sudahkah anda bahagia? Apakah mempunyai banyak harta, mobil mewah, rumah megah, dan hotel berbintang bisa menjamin seseorang hidup tenang dan bahagia? Tergantung. Jika orang itu mampu mampu mengendalikan hatinya agar tidak tergantung pada materi keduniaan, maka ia akan bisa bahagia. Jika sebaliknya, jiwa selalu terasa tidak tenang. Harta menjadi hantu yang membuntuti pikiran dimanapun orang itu berada.****

Tidak cuma itu. Baik dan buruknya peringai seseorang juga sangat menentukan ketentraman hidup. Memang tidak mudah menjadi orang baik; tidak mudah menjadi orang sabar, pemurah, jujur dan penuh disiplin. Namun, jika sungguh-sungguh menginginkan jalan yang benar, pilihlah jalan yang dapat menuntun ke arah kehidupan yang lebih baik. Kuncinya ada pada pengendalian diri.****

Untuk menjadi orang baik dan bisahidup bahagia, kita harus melakukan penyucian diri karena orang baik itu didasarkan pada pribadi yang suci.****

Tujuan utama penyucian diri agar kita mampu mengendalikan diri. Sedangkan muara akhirnya yaitu agar hidup terasa bahagia. Orang bahagia itu adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan itu fondasinya adalah diri yang suci.****

Untuk menjadi pribadi yang suci, mula-mula harus ada tekad kuat untuk menjadi orang baik, dengan cara melepaskan diri dari mempertahankan harga diri dan melepaskan diri dari keterikatan materi dunia (uang). Kesukaran hidup hanya berpangkal pada dua hal itu. Esensi harga diri adalah kesombongan. Harga diri membuat orang menjadi gengsi, tidak mau direndahkan. Sedangkan uang esensinya adalah terlihat manakala orang berani
melanggar aturan demi uang. Dua hal itu sangat sulit kita jauhi terkecuali jika kita menyucikan diri.****

Tahap pertama dalam perjalanan menuju tuhan adalah tekad yang kuat yang berarti pernyataan iman yang kokoh, dimulai dari menyehatkan hati yang sakit menjadi hati yang sehat (qalbun salim). Tekad tersebut harus ditanam kuat-kuat agar bisa lepas dari keterikatan harga diri dan uang tadi. Tekad ini disimbolkan dengan syahadat dan inilah maqam pertama.

Harga diri tadi sebenarnya adalah disebabkan oleh sifat sombong atau angkuh. Kesombongan itu bisa dilebur dengan mendirikan shalat dengan benar. Jika sudah demikian, seseorang tidak akan merasa dihina oleh orang lain, ia hanya merasa hina jika melanggar aturan Tuhan. Walhasil, dihina dan dipuji orang rasanya sama. Inilah maqam kedua.

Lalu untuk menghapus sifat angkuh dalam diri, maka seorang muslim dianjurkan untuk berinfaq dan wajib membayar zakat. Terdapat tingkatan dalam memberi, mulai dari memberi dengan terpaksa, dengan riya’ akhirnya dengan senang hati. Jika sudah demikian, seseorang diharapkan mampu mencapai derajat tertinggi dari berinfaq dan zakat itu. Inilah maqam ketiga. ****

Terakhir, puasa dan haji. Puasa adalah ibadah vertikal tapi hikmhya kita dapat merasakan manisnya berpuasa baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan puasa, kita akan lebih mampu menghayati penderitaan orang lapar dan susah. Sedangkan dalam ibadah haji, terdapat wukuf di arafah. Disana pelaku haji dituntut untuk memaknai ritual tersebut sehingga pada akhirnya menyadari siapa Tuhannya dan siapa dirinya itu. Jika nilai-nilai dari dua ibadah ini dihayati, maka akan berbuah kesadaran diri yang dalam ibadah haji seringkali disebut “Haji Mabrur”. ****

Disini kita memahami makna lima pilar rukun Islam secara mendalam. Makna yang terkandung dari syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Dengan mengamalkan tarekat Kebahagiaan Lewat Rukun Islam diharapkan mampu melepaskan diri dari belenggu materi duniawi sehingga membuahkan ketenangan dan kebahagiaan.****

Read More..