Thursday, June 7, 2012

Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku


“Mbak, silahkan duduk! Capek nanti kalau berdiri terus. Maaf, tempatnya seadanya,” kata Bapak tukang tambal ban itu
mempersilahkan aku duduk.

“Iya Pak, ma kasih,” jawabku sambil tersenyum.

Aku agak ragu untuk duduk di tempat yang hanya digelar tikar plastik. Apalagi malamnya habis hujan deras, jalanan becek termasuk tempat tambal ban Bapak ini. Bukan apa-apa sih, aku hanya khawatir sama bawahan (rok) yang aku kenakan pagi ini untuk ke kantor. Warnanya putih.
Tapi... tak apalah untuk menghormati Bapak tukang tambal ban itu. Sebut saja namanya Pak Karim.

Akhirnya aku duduk sambil menunggu ban sepeda motorku ditambal. Ya… terpaksa deh aku nungguin di pinggir jalan kayak orang ilang hehehe

“Makanya, cepetan nikah biar ada yang merawat sepedanya, tuh!”

Aku jadi tersenyum sendiri kalau ingat kata-kata temanku. Aku percaya temanku hanya ingin menghiburku saja. Tapi kalau memang benar seperti itu, alangkah sengsaranya jadi seorang suami. Sepeda motor bocor saja harus minta bantuannya. Apa salahnya kalau kita sebagai istri bisa mandiri? Kan itu lebih baik? Jadi, apa-apa nggak harus minta bantuan suami, kecuali kalau memang harus ditemani suami hehe....

Di saat aku sibuk dengan pikiranku, datanglah seorang laki-laki yang tengah menuntun sepeda onthelnya. Kelihatannya ban sepedanya juga lagi bermasalah.

“Kenapa Mas? Mau tambah angin atau nambal ban?” tanya Pak Karim sambil membetulkan tempat duduknya.

“Mau nambal ban, Pak! Tadi sempat meletus,” jawab laki-laki itu pelan.

“Wah, kalau seperti itu saya gak bisa nambal Mas. Apalagi ban luarnya sudah kelihatan tipis, ditambal pun gak ada gunanya. Lebih baik diganti aja, Mas. Ban luar harganya sekitar tiga puluh enam ribu dan ban dalamnya sekitar dua puluh lima ribu. Tapi saya sendiri gak ada persediaan. Mas beli aja di toko!” pinta Pak Karim.

Laki-laki itu tidak segera beranjak dari tempatnya berdiri. Dia masih menunggu sambil memegangi sepeda onthelnya. Laki-laki itu kelihatannya masih berharap, kalau-kalau

Pak Karim berubah pikiran dan mau melihat kondisi ban sepedanya, apakah memang benar-benar sudah tidak bisa
diselamatkan lagi?

Dan akhirnya, benar juga dugaannya.

“Meletusnya gimana sih, Mas? Bunyi ‘duooor’ atau bagaimana?” tegas Pak Karim.

Laki-laki itu menjawab,”Tadi saya sempat dengar bunyi ‘buuss’, gitu Pak!”

“Oh… ya sudah, kalau begitu saya periksa dulu saja, sambil menunggu punyae
Mbake ini,“ jawab Pak Karim.

Tak seberapa lama setelah diperiksa, Pak Karim pun berkata, “Oke Mas, ternyata masih bisa ditambal. Tapi hanya untuk sementara. Habis ini
segera diganti bannya, karena ban luar dan dalamnya sudah waktunya ganti.”

Laki-laki itu mulai agak tenang dengan jawaban Pak Karim.

“Kalau begitu, saya pulang dulu, Pak!”

Laki-laki itu kemudian pamitan pulang. Pak Karim pun mengangguk, tanda mengiyakan. Sepedanya ditinggal begitu saja.

Aku sendiri terheran-heran.

“Lho, Pak! Kenapa orangnya malah tambah pulang? Sepedanya kan udah bisa ditambal?” selidikku.

“Ya... biasalah, Mbak! Ambil uang dulu,” jawab Pak Karim dengan santainya.

“Emang ongkosnya berapa sih Pak, kok sampai dia pulang untuk ambil uang?” tanyaku.

“Empat ribu rupiah, Mbak..,” jawab Pak Karim.

Hah? Aku sempat kaget juga. Masak uang empat ribu rupiah saja harus pulang ke rumah? Apa memang gak bawa uang sama sekali?

“Rumahnya dekat ya Pak dari sini?” tanyaku kemudian.

“Dekat kok Mbak. Situ lho Mbak, kos-kosan rumah tangga, paling-paling 300 meteran dari sini,” jawabnya.

“Ya begitulah Mbak, namanya orang rumah tangga itu lain-lain. Kalau Masnya tadi, uang biasa dibawa istrinya. Jadi setelah gajian, semua dikasihkan istrinya.”

“Masak sih, Pak?” sambungku.

Tapi kalau memang benar seperti itu, sebagai istri kan mestinya sebagian dikasihkan suaminya? Paling tidak… cukup buat uang saku kalau nanti di jalan ada apa-apa. Ya seperti laki-laki ini tadi. Untung rumahnya masih dekat. Coba kalau jauh kan kasihan, mana orangnya mau kerja lagi. Ah…, pagi-pagi sudah ngomongin orang.

Astaghfirullah!

Belum hilang rasa heranku, Pak Karim malah menambahkan.

“Saya saja cerai Mbak sama istri saya.”

Aku seperti disambar petir di pagi hari. Aku tidak menyangka kalau Pak Karim seperti itu. Astaghfirullah!

“Gimana mau gak cerai, Mbak. Istri saya itu orangnya cerewet, suka ngatur. Saya mendapat uang banyak atau sedikit diomelin. Kalau masalah keuangan, istri saya yang mengatur. Jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena semua penghasilan diminta sama istri. Ya sudah Mbak, saya cerai aja. Buat apa istri kayak gitu? Bikin saya tambah pusing. Saya pulangkan saja ke rumah orang tuanya. Saya bilangin ya, Mbak. Laki-laki itu gak suka diatur-atur, lama-kelamaan dia gak betah di rumah.”

Pak Karim menghentikan ceritanya. Dia menerawang jauh, sepertinya ada beban berat yang sedang menimpanya.

“Saya sekarang sudah menikah lagi, Mbak. Masalah keuangan, gantian saya yang mengatur. Yang penting kebutuhan istri saya sudah tercukupi. Tapi saya juga pesan sama mantan istri saya, kalau suatu saat pengin balikan lagi sama saya, saya mau menerima dia kembali.”

Pak Karim akhirnya curhat tentang keluarganya. Aku tidak banyak berkomentar, khawatir nantinya malah merembet kemana-mana. Aku sendiri juga tidak tahu yang sebenarnya dengan keluarganya Pak Karim. Aku hanya tersenyum mendengar pengakuan Pak Karim. Begitu mudahnya dia menceraikan istrinya dan begitu gampangnya pula dia menerimanya kembali. Ya sudah, aku dengarkan saja keluhannya.

Aku hanya sempat bilang bahwa cerai itu walaupun diperbolehkan tapi sebenarnya perbuatan yang sangat-sangat dibenci oleh Allah. Pak Karim mengerti hal itu. Tapi dia melakukannya karena terpaksa, sudah tidak tahan dengan perlakuan istrinya dan menurut dia jalan yang terbaik adalah dengan menceraikannya.

Aku jadi teringat dengan prinsip temanku dulu. Dia seorang wanita karir. Sebelum menikah, buat dia “Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku”. Setelah menikah pun ternyata prinsipnya itu tidak berubah, masih tetap sama “Uangku Ya Uangku, Uangmu Ya Uangku”. Kebetulan suaminya juga pekerja kantoran, jadi mereka sama-sama bekerja.

Bukan apa-apa sih dengan prinsip itu, tapi menurutku apakah gak terlalu egois? Walaupun menurut agama, wanita berhak atas uang
pribadinya. Sebelum menikah misalnya, seluruh penghasilan adalah milik kita pribadi. Kita berhak untuk mengaturnya sendiri, memberi orang tua atau tidak, belanja baju baru atau tidak, mau beli sepeda motor atau tidak. Tapi, kalau sudah dalam ikatan pernikahan apakah prinsip itu masih berlaku? Apakah kita akan membiarkan suami kita dalam kesulitan? Apakah kita akan diam saja sementara saudara dekat kita membutuhkan pertolongan?

Pernah suatu hari, suami temanku itu minta uang untuk membeli pulsa. Untuk membeli pulsa saja, dia harus minta ke istrinya, karena semua penghasilan diberikan kepadanya. Baik itu tabungan, ATM, kartu kredit, semua dipegang oleh istrinya. Sampai-sampai beli pulsa saja dicek sama istrinya, apakah benar-benar dibelikan pulsa atau tidak. Ternyata pulsa di HP suaminya tidak bertambah. Akhirnya, istrinya marah karena merasa dibohongi oleh suaminya. Selidik punya selidik, ternyata uang itu sama suaminya dibelikan makanan kesukaannya karena suaminya merasa bosandengan masakan di rumah.
****

Memiliki uang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan sebuah rumah tangga. Bukan berarti tidak memiliki uang, sebuah rumah tangga bisa dikatakan tidak bahagia. Banyak faktor yang mempengaruhinya.

Memiliki uang tetapi tanpa memiliki kemampuan untuk mengelolanya secara baik, maka uang pun tak punya arti apa-apa. Salah melakukannya bukan tidak mungkin kelanggengan sebuah rumah tangga akan menjadi taruhannya.

Sebelum menikah misalnya, kita biasa untuk mengelola uang kita dengan cara kita sendiri. Tetapi setelah memasuki jenjang pernikahan, maka hal ini tentulah berubah.

Bagaimana kita harus berbagi dengan pasangan.
Berbagi di sini bukan hanya uang suami yang kita gunakan, tapi bisa jadi uang kita sendiri. Di sinilah perlu empati dan toleransi yang tinggi dari pasangan kita. Kita harus pandai-pandai mengkomunikasikan masalah keuangan dengan pasangan kita.

Sebagai istri juga jangan terlalu egois, walaupun dalam agama, wanita berhak atas uang pribadinya tapi jangan lantas kita sebagai istri semaunya sendiri. Semua kita kuasai, baik tabungan, ATM, kartu kredit atau apalah yang lainnya.

Lain lagi, kalau memang suami sudah menyerahkan sepenuhnya kepada istri karena ia merasa tidak pandai mengatur uang keluarga. Ya, kita sebagai istri semestinya menjalankan amanah yang diberikan suami dengan sebaik-baiknya. Kita juga harus tahu apa saja kebutuhan dan keinginan suami. Beri keleluasaan kepada pasangan kita untuk membelanjakan uang pribadinya. Apabila suami atau istri terlalu boros atau senang berfoya-foya, maka kita berhak untuk saling menegur, saling mengingatkan, dan saling mengkomunikasikan. Dan ini sangatlah diperlukan dalam sebuah rumah tangga. Apalagi kalau istri sudah tidak bekerja lagi. Otomatis keuangan keluarga akan berkurang.

Jujur, saling percaya, dan saling terbuka di antara pasangan, itulah yang terpenting. Masak beli pulsa saja harus dicek, mau beli makanan kesukaannya saja harus berbohong? Apabila suami istri sudah tidak lagi saling jujur, saling percaya dan terbuka, maka apalah jadinya sebuah rumah tangga. Dengan kejujuran di antara pasangan akan mendatangkan kepercayaan dan menghilangkan rasa curiga.

“Mbak…, Mbaaak..! Mbak ngelamun, ya?!”

“Eh.. gak kok Pak… cuma bengong aja, hehe… Apa bedanya, ya, Pak?!” jawabku sekenanya.

“Ini Mbak, sepedanya sudah selesai,” kata Pak Karim.

“Berapa, Pak, ongkosnya?”

“Lima ribu rupiah, Mbak!” jawab Pak Karim.

“Ma kasih banyak, Pak!”

“Iya, sama-sama, Mbak!”

“Sudah jam berapa ya? Semoga saja tidak terlambat,” batinku pun berharap.

Ya Allah, pagi ini Engkau telah menyapaku, memberikan banyak pelajaran buatku lewat orang-orang yang aku temui di jalan. Terima
kasih, Ya Robbi.

Mulai sekarang, marilah kita tanamkan dalam diri kita bahwa “Uangku, Uangmu, Ya Uang Kita Bersama”.

Wallahu a’lam./Oleh Mutiara





Read More..

Benar, Baik, dan Berguna


"Adanya dua telinga diciptakan adalah untuk memastikan bahwa Anda mendengar kebaikan lebih banyak." -- Anonim

RABU pagi. Jam belum menunjukkan pukul delapan. Dari sudut pantry sebuah kantor terdengarlah percakapan seperti ini:
"Pak, sudah dengar cerita si Rifka?"
"Belum," kata pria setengah baya yang tengah asyik menyeduh kopi. Sebut saja Pak Bagus namanya.
"Nah, ada yang menarik nih untuk diceritakan."
"Sebentar, sebentar."
Lelaki itu memotong. Tampaknya dia paham betul arah cerita dari rekan kerjanya itu.
"Sebelum kamu cerita, saya mau tanya dulu soal tiga hal. Tolong dijawab dengan jujur."
Dia pun mengajukan syarat.
Si lawan bicaranya tersenyum. Lalu mengambil cangkir, hendak menyeduh teh.
"Pertanyaan pertama, apakah kamu yakin kalau cerita itu benar?"
"Wah, kalau itu saya gak tahu persis. Saya gak bisa memastikan. Ini juga dapat ceritanya dari orang lain, " jawabnya santai.
"Artinya, cerita itu belum tentu benar," katanya. "Sekarang saya lanjut bertanya, apakah cerita tentang Rifka itu soal kebaikannya?"
"Lo, justeru sebaliknya saya pikir," jawabnya. Wajahnya tampak sumringah.
"Artinya justeru keburukannya yang ingin disampaikan?"
"Ya, iyalah," katanya cepat.
"Nah, artinya yang diceritakan malah keburukan orang lain, bukan kebaikannya," kata Pak Bagus sambil tersenyum.
"Sekarang pertanyaan terakhir," Pak Bagus menyeruput sejenak kopi buatannya
sendiri, "Apakah cerita si Rifka ini ada manfaatnya, minimal bagi kamu atau saya tentunya?"
"Hm, gak kayaknya," kata pria itu yang mulai bisa menebak ketidaktertarikan Pak Bagus.
"Nah, kalau yang kamu ceritakan itu belum tentu benar, bukan soal kebaikan, malah sebaliknya, dan bahkan tidak berguna, mengapa saya harus mendengar soal itu? Sorry Bro, saya harus segera meeting." Pak Bagus pun berlalu.

Dua jempol sepatutnya ditujukan pada Pak Bagus. Dia begitu tegas terhadap informasi yang teramat menggoda. Padahal Rifka adalah kembang kantor yang begitu cantik, seksi, dan hidupnya penuh dengan cerita yang mengejutkan. Namun, sekali lagi, karena merasa tidak berguna cerita yang dijanjikan rekan sekerjanya, Pak Bagus memilih untuk menutup kuping.

Keberanian dan ketegasan Pak Bagus itulah yang seharusnya ada dalam diri kita. Berani memilah mana informasi yang menguntungkan, di kala serbuan kabar yang masuk tiap hari merupakan suatu godaan yang tidak mudah untuk dielakkan.

Coba perhatikan. Saat kita bangun pagi misalnya, televisi sudah menyiarkan kabar tentang kehidupan pribadi selebritis yang tengah dirundung masalah. Semestinya, kita sudah bisa memutuskan bahwa semua info atau tepatnya gosip itu
sama sekali tidak berguna buat kita. Kehidupan pribadi, apalah artinya buat kita. Sesampai di kantor misalnya, kita bertemu dengan orang yang punya perangai persis lawan bicara Pak Bagus.

Meniru Pak Bagus adalah langkah yang paling tepat. Singkirkan hal-hal yang tidak berguna. Tentukan prioritas hidup kita. Hal itu akan membuat kita bijak seperti Pak Bagus dalam menerima informasi yang benar, baik, dan berguna bagi kehidupan kita. Informasi di luar itu semua hanya akan membuang waktu semata dan tidak membuat kita cerdas. Is that right brother?



Read More..

Mencari Nafkah Yang Berkah

Gile. Anggurnya gede-gede. Rasanya manis. Teksturnya renyah. Pokoknya, baru sekali ini deh makan anggur seenak itu. Sudah begitu. Gratis pula. Seru, kan?

Emang sih. Akhir-akhir ini di kantor sering sekali ketiban makanan-makanan enak. Hebatnya lagi. Semua orang boleh menikmatinya.

Tahu nggak sih, dari mana asalnya?
Dari para vendor. Perusahaan baru aja menerapkan peraturan; kalau vendor tidak boleh memberikan hadiah kepada pribadi-pribadi. Mereka hanya boleh memberikan hadiah kepada perusahaan dalam bentuk yang bisa dinikmati oleh semua karyawan. Makanya, sekarang banyak banget makanan yang tersedia. Yang paling sering buah-buahan. Atau kue-kue. Seru deh pokoknya.

Sejalan dengan aturan baru itu. Semua orang di kubikal menandatangai sebuah form berisi pernyataan untuk tidak menerima pemberian dari vendor dalam bentuk apapun. Kalau pun ada pemberian yang boleh diterima, nilainya tidak boleh lebih dari 100 dollar. Itu pun semuanya harus deklarasikan. Dan harus digunakan untuk kemanfaatan semua orang.

Waktu pertama kali peraturan itu diterapkan, lumayan banyak juga yang protesnya sih. Bisa dimaklumi. Selama ini vendor-vendor pada bersaing untuk mendapatkan macam-macam order. Dari mulai bikin kalender. Penyediaan alat-alat kantor. Pencetakan brosur. Sampai pembelian alat-alat berat berharga milyaran.

Ada aja alasan vendor-vendor itu untuk memberikan hadiah.
Dan. pastinya dong. Ada aja alasan orang-orang untuk menerimanya. Lagian juga. Kalau staff kayak para penghuni di kubikal itu kan nggak punya akses ke pembelian berharga mahal. Pastinya hadiahnya juga ya yang kecil-kecil aja.

Rezeki nggak boleh ditolak. Jadinya kalau ada orang yang ngasih. Ya kita terima dong. Bener nggak? Soal siapa yang dapat proyek sih itu urusan nanti. Pokoknya terima aja dulu. Tapi. Milih vendor tetep yang paling bagus dan harganya bersaing.

Makanya. Waktu managemen memutuskan untuk menerapkan kebijakan tidak menerima apapun dari vendor itu, banyak juga yang merasa kesal. Nggak sampai protes berat sih. Soalnya. Kalau protes kan jadinya ketahuan kalau selama ini suka menerima pemberian dari vendor. Nggak enak juga ketahuan orang lain.Jujur aja. Sejak saat itu. Ada penurunan pendapatan. Yaaah…, namanya juga rezeki. Sekecil apapun tetep aja sangat berarti. Seru juga kan kalau nggak ada hujan. Nggak ada angin. Tiba-tiba aja ada vendor yang ngasih amplop. Malah pernah juga yang ngasih kalung emas. Kadang 5 gram. Kadang 10 gram. Lumayan kan. Sejak penerapan kebijakan itu. Nggak bisa lagi begitu.

Nggak terlalu jelas sih, awalnya gimana. Denger-denger sih karena ada vendor yang melapor ke Presiden Direktur kalau seseorang meminta amplop dengan menjanjikan dibantu memenangkan tender pengadaan mesin pabrik apa-an gitu. Nggak terlalu ngerti juga sih.

Menurut kabar burung. Vendor itu sudah ngasih amplop. Tapi seseorang itu malah marah-marah karena merasa nilainya terlalu kecil. Bossnya si vendor itu rupanya tersinggung. Lebih gilanya lagi. Rupanya boss vendor itu sering ketemu Pak Presiden Direktur di lapangan golf.

Apes deh ‘seseorang’ yang meminta amplop itu. Dia dilaporkan. Tapi. Itu cuman kabar burung. Nggak terlalu jelas bener atau tidaknya sih. Yang jelas. Tiga bulan setelah kabar burung itu beredar, ada seorang petinggi perusahaan yang mengundurkan diri. Itu juga nggak jelas. Ada yang bilang mengundurkan diri. Ada yang bilang diberhentikan.

Nah. Sejak kejadian itulah managemen menerapkan kebijakan baru itu. Intinya sih cuma dua poin aja. Satu. Nggak boleh menerima pemberian dari vendor untuk kepentingan pribadi. Yang kedua, kalau dientertain sama vendor, nggak boleh mewah-mewah. Maksimal ya cuman 100 dolar itu.

Ya jelaslah bukan kelasnya para penghuni kubikal. Tapi, ada bagusnya juga kalau perusahaan menerapkan aturan itu nggak pandang bulu. Berlaku buat semua orang di perusahaan.

Meskipun awalnya ada aja yang kesel. Tapi kebanyakan orang di kubikal pada seneng. Soalnya kan selama ini kebanyakan mereka nggak pernah dikasih hadiah aneh-aneh sama vendor-vendor yang ngarep.

Boleh dibilang, aturan itu malah membuat para penghuni kubikal tambah makmur. Soalnya. Sejak saat itu banyak orang yang deklar kalau udah nerima suatu hadiah. Lalu semuanya disimpen di meja pantry untuk dinikmati oleh bersama. Seru banget, tahu nggak sih? Jadi selalu ada makanan tambahan untuk semua orang. Malahan. Kebanyakan yang nggak bisa dibeli dengan dompet sendiri.

Setiap orang mencomot buah anggur premium itu. Nggak kerasa. Perlahan tapi pasti, akhirnya anggur itu habis juga. Yang tersisa hanya tangkainya aja. Berseliweran diatas nampan besar yang jadi wadahnya.
Disela-sela tangkai anggur itu berkelebat sesuatu berwarna hitam. Ada sesuatu dibagian dasar nampan itu. Tapi tidak jelas apa karena terhalang oleh tangkai-tangkai anggur yang nyaris seukuran kelingking.

Anggur itu terlalu enak untuk dilupakan begitu saja. Semua orang dikubikal penasaran. Pengen tahu apa sih mereknya. Makanya. Mereka menyingkirkan tangkai-tangkai anggur yang menghalangi tulisan merek itu.

Ternyata mereka salah. Nggak ada merek anggur itu dibawah nampan. Yang ada hanyalah sebait kalimat yang tertulis indah. Beginilah bunyinya:

SILAKAN CARI NAFKAH YANG BERLIMPAH
NAMUN PASTIKAN NAFKAH ITU PENUH BERKAH

Ah. ini ada-ada aja.
Kalau melimpah. Jelas ukurannya. Cari nafkah sebanyak-banyaknya, ya tinggal tentukan aja berapa banyak ukurannya.

Tapi kalau berkah?
Gimana caranya kita tahu kalau nafkah yang kita dapat itu berkah atau tidak?

Ada banyak cara untuk menentukan apakah nafkah kita itu berkah atau tidak. Salah satunya adalah; kita bisa menikmatinya tanpa ada perasaan ragu didalam hati. Kita yakin bahwa apa yang kita santap itu benar-benar nafkah yang kita peroleh dengan cara yang sepatutnya.

Jika ada sedikit aja bisikan nurani kita yang mengingatkan jika sesungguhnya nafkah itu bukan miliki kita. Atau teguran kalbu kita. Bahwa kita mendapatkannya dengan cara yang nggak sepatutnya. Maka boleh jadi. Itu menandakan jika nafkah itu nggak berkah.

Sebelum peraturan baru itu diterapkan. Setiap orang menyembunyikan apa yang didapatkannya dari vendor. Emang sih. Hati kecil bertanya-tanya; apakah emang pantes menerimanya? Tapi. Lama kelamaan udah jadi biasa. Makanya. Bisikan hati kecil itu sering tidak terdengar lagi. Kalah sama hiruk pikuk kegaduhan nafsu. Kalau udah begitu, bisa kecemplung seperti ‘seseorang’ yang terkena kabar burung itu.

Seperti anggur itu. Juga seperti makanan-makanan lain yang selama ini mereka nikmati di pantry kubikal. Kerasa banget. Lezat. Kenyang. Dan puas. Meski semua makanan itu didapat dari pemberian para vendor. Tapi semua orang sudah tahu karena dideklarasikan dengan jelas. Dan. Nggak ada seorang pun yang mengambil untuk kepentingan pribadinya.

Sekarang. Vendor pun sudah pada tahu. Nggak ada gunanya kalau mereka kasih kepada individu-individu. Soalnya. Setiap orang di kubikal yang mendapatkan pemberian dari vendor udah nggak ngerasa terpaksa lagi buat ngumumin apa aja yang didapatkannya. Terus mereka meletakannya di pantry untuk dinikmati bersama.

Kata Natin. Setiap nafkah berkah yang masuk kedalam tubuh kita. Akan menjadi daging, tulang, dan darah serta sel-sel tubuh yang baik. Makanya. Tubuh kita pun akan menjadi baik. Dan kita bisa menjadi pribadi yang baik.

Kalau anak-anak kita. Dinafkahi dengan rezeki yang baik. Maka kelak. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang baik. Menjadi anak soleh. Yang berbakti pada orang tuanya. Pejuang. Yang mencintai tanah airnya. Pemimpin yang mencintai rakyatnya.

Sebaliknya. Jika kita menutup mata dengan keberkahan nafkah yang kita berikan kepada keluarga kita. Maka tubuh anak-anak kita akan dibangun dari sel-sel yang terbuat dari nafkah yang tidak berkah. Wajar jika watak mereka jadi rusak. Atau perilaku mereka jauh dari nilai-nilai keagungan. Hanya karena kita menafkahi mereka dengan rezeki yang tidak berkah. Na’udzubillah.

Sekris. Pernah dapat hadiah emas 5 gram. Maklum vendor baru. Dia nggak ragu-ragu mendeklarasikan. Terus dirapatkan di kubikal. Sayang sih. Tapi gimana lagi. Kalau nurani sudah tampil lebih kuat daripada nafsu. Semuanya yang kerasa ringan aja.

Akhirnya semua orang kubikal sepakat untuk memberitahukan ke vendor itu kalau untuk mendapatkan order di tempat kita mereka itu nggak perlu ngasih-ngasih segala. Pokoknya kualitas produknya mesti paling bagus. Dan harganya paling kompetitif. Itu aja juga udah cukup.

Nggak disangka. Bossnya vendor itu minta maaf sampai berkali-kali.
Cuman kita juga kasih tahu mereka kalau misalnya mereka mau kasih sesuatu boleh aja. Asal nggak ngarep dapet proyek gara-gara ngasih itu. Terus. Kalau ngasih. Carilah sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua orang di kubikal.

Sejak saat itu. Kehidupan di kubikal menjadi semakin makmur.
Sedangkan hati mereka tetap tenteram.

“Sini aja Mas, nah iya, iya simpan disana aja,” Tiba-tiba Pak Mergy masuk ke pantry. Sambil menunjukkan seseorang untuk meletakkan sesuatu diatas meja.

“Nah, yang ini dari CV Blablabla,” katanya. “Boleh kita nikmati,” lanjut beliau.
Ini kali ya yang namanya negeri gemah ripah loh jinawi itu. Rezeki terus berdatangan.

“Ya udah ya…” sambung beliau sambil meninggalkan pantry.
“Lho, Bapak kok nggak ikut menikmatinya?” Sahut Opri. “Ayo dong Pak, kita sama-sama membukanya….” Lanjutnya.

“Aaaah, sudahlah, kalian saja… saya sudah punya satu kotak sendiri….” Pak Mergy langsung menutup mulutnya. “Ups!” Kerasa sekali kalau beliau kelepasan berbicara.

“Mmmh…, baiklah. Baiklah,” katanya. “Mas, tolong ambilkan kotak yang satunya lagi di meja saya.” Pintanya kepada orang yang tadi angkat-angkat itu. “Lagian juga, apa enaknya makan rezeki itu sendirian….” Lanjutnya.

Hooooooh……. Orang-orang langsung merasa lemas…..

Tiba-tiba saja semua orang di kubikalmenyadari bahwa yang kita butuhkan itu bukanlah sekedar nafkah yang jumlahnya melimpah ruah. Melainkan juga yang penuh dengan berkah. Memang. Kadang kita takut kekurangan. Makanya kita gampang tergoda untuk asal ngembat aja. Sekarang mereka sudah tahu. Ternyata. Menjauhkan diri dari nafkah yang tidak berkah tidak menyebabkan kita kekurangan. Makanya. Nggak usah takut kekurangan hanya karena kita gigih mencari nafkah yang berkah. Karena seperti yang dicontohkan Rasulullah, bahwa; Tuhan menjamin kecukupan rezeki orang-orang yang terus gigih untuk menjaga dirinya dari nafkah yang tidak bersih. Akan ada aja jalannya. Bahkan dari arah yang tidak disangka-sangka. Insya Allah.

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat !
Catatan Kaki:
Setiap sendok nafkah berkah yang kita santap, menghasilkan sel-sel hidup yang baik di sekujur tubuh kita. Itulah yang menjadikan diri kita tetap baik. Dan layak untuk mendapatkan tempat kembali yang terbaik.

Read More..

istri-suami pakaian bagi mereka

Istri merupakan pakaian untuk suaminya. Suami merupakan pakaian untuk istrinya. Begitukah? Ya, begitulah adanya! Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan (Q.S. 49: 13) agar saling mengenal dan akhirnya saling membantu serta saling melengkapi. Mari kita simak firman Allah berikut ini:
“… Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)

Dalam ajaran Islam, pakaian bukan semata-mata masalah budaya dan mode. Islam menetapkan batasan-batasan tertentu untuklaki-laki maupun perempuan. Adapun berdasarkan firman Allah di dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl [16]: 81 dan Surat Al-A’raf [7]: 26-, pakaian itu mempunyai tiga fungsi utama yaitu:

1. Sebagai penutup aurat.
2. Sebagai perhiasan. Maksudnya adalah sebagai perhiasan untuk memperindah penampilan di hadapan Allah dan sesama manusia. Sebagai perhiasan, seseorang bebas merancang dan membuat bentuk atau mode serta warna pakaian yang dianggap indah, menarik, serta menyenangkan, selama tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan.
3. Sebagai pelindung tubuh dari hal-hal yang merusak, seperti panas, dingin, angin kencang, sengatan matahari dan sebagainya.

Jika demikian, ketika seorang istri dikatakan sebagai pakaian untuk suaminya, dan seorang suami merupakan pakaian untuk istrinya, maka:

1. Seorang istri harus mampu menjaga kehormatan suaminya, menutupi aibnya, merahasiakan kelemahannya agar dihormati oleh orang lain. Cukuplah ia yang mengetahui kekurangan apa pun yang ada pada diri suaminya. Begitupun seorang suami terhadap istrinya harus mampu melakukan hal yang sama. Mengapa harus demikian? Ada peribahasa mengatakan “Bagai menepuk air di dulang, menciprat ke wajah pula”. Menjelek-jelekkan suami atau istri di hadapan orang lain, akibatnya akan mengenai diri sendiri pula. Ia sendiri yang akan merasakan malunya. Menghinakan suami atau istri di hadapan orang lain, maka diri sendirilah yang akan dipandang sebelah mata (hina) di hadapan orang-orang itu.
2. Seorang istri harus menjadi pelengkap untuk suaminya, menjadikannya tampak memesona, indah, sempurna. Begitupun seorang suami harus menjadi pelengkap untuk istrinya, menjadikannya tampak memesona, indah, sempurna. Istri harus tampak menawan di mata suaminya. Suami harus menawan bagi istrinya. Kehidupan suami-istri harus menjadi pemandangan indah buat orang-orang sekitarnya, mampu menjadi motivasi untuk membangun keluarga sakinah yang penuh mawaddah dan rahmah.
3. Seorang suami harus menjadi benteng untuk istrinya, sebesar apa pun ancaman yang datang dari luar yang akan membahayakan istrinya, maka suami harus menjadi pelindungnya. Tidak boleh ada seorang pun yang mengganggu istrinya. Begitupun seorang istri harus menjadi benteng buat suaminya. Jangan sampai suaminya terserang penyakit manusiawi yang menggerogoti kehidupannya. Sumai dan istri harus saling menjaga, baik lahir maupun batin.

Itulah salah satu tujuan dua insan melakukan pernikahan, untuk menciptakan ketenangan, keamanan, dan kedamaian lahir maupun batin.
- Sebagaimana salah satu fungsi dari pakaian adalah menutup aurat dan menjaga harga diri manusia, maka suami istri juga harus demikian, satu sama lain harus saling menutupi aib dari pasangannya dan menjaga harga diri satu sama lain.
- Sebagaimana antara manusia dan pakaiannya tidak ada pemisah, begitu juga suami istri hubungan satu sama lain harus erat dan tidak ada orang asing yang ikut campur dalam urusannya.
- Biasanya seseorang menggunakan pakaian sesuai dengan musim atau udara yang ia rasakan, ketika hawa panas manusia akan memakai baju yang agak tipis tapi kalau udara dingin, mereka akan menggunakan pakaian yang tebal. Begitu juga dengan hubungan suami istri, ketika suami dalam keadaan marah maka istri harus menghadapinya dengan lemah lembut, dan ketika istri dalam keadaan capek maka suami harus mengobati rasa capeknya.
- Pakaian dapat menjaga manusia dari panas dan dingin, begitu juga sebaliknya manusia menjaga bajunya agar tidak kotor atau robek. Maka suami istri juga harus menjaga satu sama lain.
- Sebagaimana pakaian dapat menghangatkan tubuh manusia, maka suami harus bisa memberi kehangatan pada keluarganya dan menjauhkan dari sifat dingin dan acuh tak acuh.
- Sebagaimana pakaian dianggap sebagai perhiasan maka suami istri harus menjadi perhiasan bagi yang lainnya.
- Sebagaimana manusia memilih baju dalam berpakaian, maka begitu juga suami istri harus mereka sendiri memilih istri atau suami.
- Manusia ketika memilih pakaian biasanya yang sesuai dengan dirinya dan menurut ukurannya sendiri, begitu ketika mencari istri atau suami harus yang sesuai dengan mereka masing-masing.

“Ketika seorang istri mencuci pakaian suaminya, maka Allah menentukan 1000 kebaikan untuknya, mengampuni 2000 kesalahannya, dan dimohonkan ampun oleh semua mahluk yang disinari matahari, serta ditingkatkan derajatnya 1000 tingkat.” (HR. Abu Mansur dalam musnad Firdaus)

Begitu luar bisanya balasan Sang Khalik untuk istri-istri yang selalu berbakti pada suami, karena itu memang bukan hal yang mudah. Apalagi di zaman modern ini, tidak jarang para istri berani membantah suami dengan segudang alasan rasional dan kesibukannya. Kondisi dan posisi istri yang terkadang tanpa sadar menjadi penyebab sifat  ini. Tidak bisa dipungkiri, dengan sifat keakuan istri dan ingin menang sendiri karena merasa telah mampu mendapatkan penghasilan sendiri menjadi pemicu para suami merasa tidak dihargai. Ini justru akan mendatangkan konflik rumah tangga.
Pemikiran masyarakat kita yang masih berpegang pada budaya patriarki (pria harus memiliki status lebih unggul dari wanita), meskipun persamaan derajat pria-wanita telah lama diakui mendorong suami berfikir bahwa status sebagai pencari nafkah lebih tinggi. Sebut saja Pak  Kasmuri, yang harus merasa tertekan dan tidak berhasil menjadi tulang punggung keluarga. Suami yang hanya seorang  Petani ini harus menghidupi kedelapan anaknya. Dengan kedaan ini, sang Istri Ibu Sumilah harus membanting tulang ikut membantu Suaminya untuk mencari nafkah.  akan tetapi, pemikiran ibu Sumilah sangat berbeda. Dia menganggap kerja kerasnya bukan karena membantu suaminya, melainkan tuntutan yang harus dilakukan untuk bertahan hidup, dan memang penghasilannya cukup besar melebihi Pak Kasmuri. Perasaan rendah diri atau minder Pak Kasmuri semakin menjadi, apalagi karena sikap istrinya yang mulai berubah berani, seperti menyindir bahkan memerintah dengan kasar yang mengiris perih hatinya.
Mungkin Pak Kasmuri tidak sendiri, kekhawatiran akan kehilangan posisi kepala rumah tangga yang dihormati karena  pasti muncul di kepala para suami. Hal ini dapat dihindari dengan menggeser pemikiran kita. Semua berawal dari diri individu masing-masing. Istri yang menurut hadist merupakan tulang yang bengkok dan perlu diluruskan memang benar, karena tanpa disadari atau dipungkiri setelah mendapatkan suatu status dan pengakuan dari masyarakat akan menambah rasa percaya dirinya sampai melampaui batas yang tidak sewajarnya. Itu sebuah kecenderungan, ditambah sekarang tidak sedikit para istri yang telah sukses secara tidak sadar melalaikan kewajibannya. Seorang suamipun demikian, syukurilah apa rezki yang dibawa istri, bukan malah dibenci atau dimaki-maki. Kemungkinan ketakutan suami tidak dianggap atau dihormati sebagai kepala rumah tangga hanya kecemasan suami, hanya ada di pikiran suami. Untuk menghindari konflik yang akan timbul akibat overlapping status ini adalah komunikasi, dan terus menyesuaikan diri dengan posisi individu masing-masing dalam tiap rumah tangga yang dibangun. Itu menjadi fondasi dan anggaran dasar yang ditetapkan dalam musyawarah keluarga.
Menjadi sosok yang melindungi, memimpin, dan menjadi tulang punggung keluarga adalah impian semua suami yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, karir istri diniatkan untuk membantu suami, tetapi  tanggung jawab seorang istri tetap mengurus rumah tangga dengan baik dan penuh cinta. Hindari menuntut suami dengan tuntutan yang melampaui batas kemampuannya, karena Rasul bersabda :
“seorang istri yang memaksa suaminya, menjadi sedih akibat urusan nafkah atau membebaninya di luar kemampuan suami, maka Allah tidak menerima kesetiaan dan keadilannya.”

Read More..