Sunday, December 13, 2009

Duka Haji


Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, seniman A. Hamid Jabbar waktu itu berada di Mina. Penyair yang atraktif itu sedang akan melontar jumrah untuk yang pertama, jumrah 'Aqabah. Seperti jamaah lain, dia harus menceburkan dirinya dan mengarungi lautan manusia agar dapat mendekati jumrah yang akan dilemparnya. Tangan kiri menggenggam bekal kerikil-kerikil dari Muzdalifah, sementara tangan kanan sudah siap dengan sebutir kerikil yang akan dilempar.

Syahdan, ketika merasa sudah cukup dekat, dia pun mengangkat tangan kanannya, siap menghantam "sang setan". Tapi, belum lagi sempat tangannya mengayun, seseorang menghantam lengannya hingga kerikilnya terjatuh.

Dia ambil lagi sebutir kerikil dari tangan kirinya dan siap mengulang lemparan pertama. Tapi, lagi-lagi kerikilnya terlempar oleh sodokan orang di sampingnya. Begitulah berkali-kali Hamid berusaha mengulang dan gagal melempar hingga kerikil-kerikil di tangan kirinya nyaris habis.

Tapi, rupanya, kesabarannya yang justru lebih dulu habis. Sambil merentangkan kedua tangannya ke langit seperti gayanya ketika berdeklamasi, tiba-tiba dia berteriak sekencang-kencangnya: "Ya Allah, ini ibadah apa???"


Saya kira, kawan saya ini tidak sedang jengkel kepada Tuhan atau kepada ibadah haji. Cuma mungkin, seperti banyak jamaah yang lain, sebelumnya sudah mempunyai anggapan atau pengertian tentang kekhusyukan ibadah. Jadi, ketika melihat kenyataan lain yang jauh berbeda dari pengertian seperti yang sudah dipahaminya, dia pun "berontak".

Sebenarnya, tidak ada yang salah pada pemahaman dan pengertiannya. Yang barangkali sering lalai dipahami orang, termasuk kawan saya ini, ialah bahwa kebanyakan jamaah haji yang berada di tanah suci adalah orang-orang awam dan umumnya pemimpin mereka terbiasa dengan doktrin yang itu-itu juga. Doktrin yang lebih menekankan kepada "semangat" beragama atau beribadah ketimbang pemahaman agama dan makna ibadah.

Kita lihat misalnya, dalam penataran-penataran manasik, baik yang diselenggarakan instansi resmi maupun KBIH-KBIH di Indonesia, galibnya jamaah lebih diberi doktrin tentang "amalan-amalan" dan bacaan-bacaan. Seringkali penatar menekankan tentang afdhaliah, hal yang lebih afdol, dalam pelaksanaan haji dan keutamaan melakukan ini dan itu, tanpa penjelasan yang
memadai tentang kondisi dan situasi riil di tanah suci pada saat haji itu.
Misalnya keutamaan waktu melempar jumrah; keutamaan berdoa di Multazam, di Hijr Ismail (bahkan di bawah talang mas?); berdoa di Arafah di luar tenda; di Raudhah Rasul (bahkan di "mihrab Nab"?); dlsb. Hal ini menyebabkan banyak jamaah yang semangatnya "murni" semangat. Hanya semangat mendapatkan apa yang disebut sebagai keutamaan itu.

Seperti kita ketahui, sebenarnya ibadah haji itu tidak terlalu pelik. Ia "hanya" ibadah amaliah. Asal lakunya benar, sudah sah. Sedangkan lakunya juga sangat sederhana: berihram, niat, dan memakai pakaian sederhana; memutari Ka'bah, lari hilir-mudik antara Shafa dan Marwah; berdiam diri di Arafah; melempar-lempar; cukur atau potong rambut; dan menyembelih ternak.
Apanya yang sulit? (Banyak daerah malah lucu. Membangun tiruan Ka'bah untuk keperluan latihan *thawaf.* Mana ada orang -bagaimanapun bebalnya- keliru memutari Ka'bah? Sebab, misalnya, ada yang keliru memutarinya ke arah kanan, pasti akan ketabrak yang lain).

Saya pikir adalah lebih bijaksana bila "ruh ibadah" dan praktik pelaksanaan haji -dengan memperhatikan kondisi dan situasi riil di lapangan- lebih mendapatkan porsi dalam penataran-penataran manasik. "Ruh ibadah" yang saya maksud juga mencakup penyadaran terhadap pemahaman ibadah secara keseluruhan. Totalitas amal hanya untuk Allah. "Menyenangkan" Allah. Mencari ridha Allah.

Sebab, sering semangat beragama yang berlebihan menyeret hamba kepada amalan yang justru berbalik menjadi hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Mencari ridha diri sendiri. Bahkan, sekadar keinginan yang menggebu untuk mendapat haji mabrur sering cukup membuat orang menjadi sangat egois. Bayangkan bila jutaan orang egois berkumpul jadi satu dengan satu "kepentingan".

Sebenarnya, jamaah Indonesia tergolong paling tertib. Cuma tertib sendiri tentu tidak menjamin ketertiban bersama, terutama bila yang lain tidak tertib. Karena itu, mestinya pemerintah Saudi Arabia harus lebih rendah hati, mengajak negara-negara Islam atau muslim untuk bekerja-sama dan bermusyawarah bagi penyempurnaan ibadah yang satu ini. Atau paling tidak berkoordinasi dengan negara-negara itu terutama kaitannya dengan kebijakan yang diambil. Syukur dibentuk badan dunia khusus yang melibatkan semua negara yang berkepentingan, untuk tidak saja bertanggung jawab tentang ketertiban dan keamanan pelaksanaan haji, tapi juga bagi pemahaman umat terhadap makna hakiki ibadah itu.

Peristiwa-peristiwa tragis seperti yang pernah terjadi di Mina sudah berulang-ulang menyentak perasaan kita. Akan sampai kapan?

KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut
Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.



Read More..

Gemerlap Kota Yang Menyilaukan


"Bubar, bubar semua !! " teriak Kiayi Gaos kepada beberapa pemuda yang sedang berjudi di belakang musholah Al Muhajirin menjelang sholat subuh. Para pemuda tersebut langsung lari berpencar tanpa memperdulikan lagi taruhan yang masih tergeletak berantakan diantara semak-semak. Kiayi Gaos memang terkenal sangat keras kepada siapa saja yang berbuat maksiat termasuk anaknya, Ustadz Ghani yang kakinya pincang karena dulu sewaktu masih remaja sering berbuat keonaran dan minum-minuman keras sehingga Kiayi Gaos memukul kakinya sampai pincang dan belum hilang walaupun telah di obati kesana-kemari. Setelah kakinya pincang
Ustadz Ghani akhirnya insyaf lalu kembali mempelajari dan mendalami ajaran agama sampai akhirnya berhasil menyelesaikan sekolahnya di Madinah dan saat ini mengajar di pesantren ayahnya, Kiyai Gaos.

Di desa Jimbaran, beberapa musim panen belakangan ini dijadikan sebagai musim judi bagi anak-anak mudanya. Hasil panen yang sedianya bisa buat tabungan dan untuk memenuhi kebutuhan lain malah di hambur-hamburkan dengan berjudi, sehingga pasokan pupuk sering terlambat datang karena setoran uangnya di pergunakan untuk hal yang tidak bermanfaat. Para orang tualah yang kemudian merogoh uang tabungan untuk membeli pupuk agar bisa memulai musim tanam nantinya. Kiayi Gaos yang berasal dari desa Ketapang sebelah barat desa Jimbaran, didatangkan untuk menyadarkan anak-anak muda tersebut.

Sebenarnya disamping membantu orang tua, pemuda desa Jimbaran termasuk rajin bekerja. Kerajinan tangan seperti keramik pajangan dan anyaman dari bambu berhasil di jual sampai kekota. Namun pengaruh kota besar telah mampu mencuci otak mereka sehingga mereka termotivasi untuk mendapatkan sesuatu dengan cara instant dan malas untuk bekerja keras. Beberapa kali polisi menangkap mereka karena terlibat kasus perjudian dan penjualan obat-obat terlarang sampai ke kampung-kampung. Derasnya arus informasi ikut andil dalam mensukseskan perdagangan obat terlarang tersebut dengan dalih modernisasi.


Hal itulah yang mengkhawatirkan para orang tua sehingga beberapa kali mereka mengundang para muballig dan pemuka masyarakat untuk menyadaran anak-anak mereka. Kiayi Gaos dan anaknya Ustadz Ghani sudah tiga hari menetap di rumah Pak Samir kepala desa Jimbaran untuk melihat kegiatan dan pola kerja para pemuda tersebut. Mereka secara bergantian melakukan pendekatan satu persatu dengan cara silaturahmi kepada pemuda yang dianggap paling mempunyai andil dalam mempengaruhi pemuda yang lain. Walaupun sulit tapi karena kegigihan
mereka, dalam tiga hari mereka telah mampu mengajak lebih dari sepuluh pemuda agar aktif di pengajian musholah Al Muhajirin yang diadakan setiap hari.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS: Al Maa'idah ayat 90 ) " kata Ustadz Ghani membuka pengajian malam itu , para jama'ah yang rata-rata para pemuda dan pemudi beserta beberapa tokoh masyrakat memenuhi ruangan mushollah Al Muhajirin yang tidak terlalu besar. Selain pendekatan keluarga maka pendekatan agama adalah cara yang paling
baik untuk menasehati masayrakat desa Jimbaran yang adat istiadatnya masih dekat dengan ajaran agama.

" Sesungguhnya kemiskinan itu dekat dengan kekufuran [1], sehingga banyak diatara kita yang menghalalkan segala cara agar bisa bertahan hidup " kata Ustadz Ghani disela pengajian ba'da Isya. Kiayi Gaos hanya duduk diam sambil terus mendawamkan dzikir disamping anaknya tersebut sambil sekali-kali keluar menyambut jama'ah yang baru datang. " Ustadz, bukankah Rasulullah juga pernah berkata bahwa yang terbanyak di syurga adalah orang miskin sedangkan yang terbanyak dineraka adalah wanita [2]" tanya seorang peserta. Ustadz Ghani hanya tersenyum " Jangan jadikan itu untuk malas berusaha ya, dimanapun Kemiskinan selalu menjadi ajang penghancuran aqidah, namun disisi lain memang orang kaya jarang yang amanah dengan hartanya dan merasa semua itu hasil dari usahanya sehingga melupakan kewajibannya membayar zakat dan menyantuni anak yatim maupun fakir miskin" jawab Ustadz Ghani dengan bijak.

Kiayi Gaos yang tadinya hanya diam mulai angkat bicara " Jika mampu kita di suruh untuk kaya tapi hidup dalam kemiskinan atau paling tidak dalam kesederhanaan, harta yang di peroleh di peruntukan dalam membantu orang lain. Para sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar RA adalah pedangang, dialah yang menjadi motivator pedagang yang lain untuk memeluk agama Islam seperti Abdurrahman bin Auf, tetapi jika kita lihat hidupnya maka tidak ada yang tahu kalau mereka adalah saudagar kaya. Sedangkan orang kaya saat ini hanya menyumbang sepersekian dari hartanya dan merasa sudah paling banyak beramal , artinya predikat kaya masih menempel di badannya, predikat yang menyebabkan dia andaikata masuk surga akan berselisih lima ratus tahun dengan orang miskin yang masuk surga [3], sedangkan satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun untuk ukuran kita [4] "sahut Kiayi Gaos dari samping kanan Musholah

Kemewahan dan gemerlap kota memang telah menggelapkan mata para pemuda tersebut
sehingga melupakan tempat kembali yang hakiki yaitu kampung akherat, kampung yang saat ini masih sekedar mitos bagi kaum hedonisme. Rasulullah pernah bersabda " Bagi tiap sesuatu terdapat ujian dan cobaan, dan ujian serta cobaan terhadap umatku ialah harta-benda." (HR. Tirmidzi). Banyak pekerjaan yang masih di sandang oleh Kiyai Gaos dan anaknya Ustadz Ghani
di bantu oleh pemuka masyrakat dalam menyadarkan pemuda desa Jimbaran agar tidak mudah goyah oleh kehidupan metropolis yang menghalalkan segala cara untuk meraih kenikmatan hidup. Salam : David
Read More..

Jangan Takut Jadi Orang Aneh


“Dunia memang aneh”, Gumam Pak Ustadz
“Apanya yang aneh Pak?” Tanya Penulis yang fakir ini..
“Tidakkah antum (kamu/anda) perhatikan di sekeliling antum, bahwa dunia menjadi terbolak-balik, tuntunan jadi tontonan, tontonan jadi tuntunan,sesuatu yang wajar dan seharusnya dipergunjingkan, sementara perilaku menyimpang dan kurang ajar malah menjadi pemandangan biasa”
“Coba antum rasakan sendiri, nanti Maghrib, antum ke masjid, kenakan pakaian yang paling bagus yang antum miliki, pakai minyak wangi, pakai sorban, lalu antum berjalan kemari, nanti antum ceritakan apa yang antum alami” Kata Pak Ustadz.

Tanpa banyak tanya, penulis melakukan apa yang diperintahkan Pak Ustadz, menjelang maghrib, penulis bersiap dengan mengenakan pakaian dan wewangian dan berjalan menunju masjid yang berjarak sekitar 200 M dari rumah.
Belum setengah perjalanan, penulis berpapasan dengan seorang ibu muda yang sedang jalan-jalan sore sambil menyuapi anaknya”
“Aduh, tumben nih rapi banget, kayak pak ustadz. Mau ke mana, sih?” Tanya ibu muda itu.
Sekilas pertanyaan tadi biasa saja, karena memang kami saling kenal, tapi ketika dikaitkan dengan ucapan Pak Ustadz di atas, menjadi sesuatu yang lain rasanya…
“Kenapa orang yang hendak pergi ke masjid dengan pakaian rapi dan memang semestinya seperti itu dibilang “tumben”?

Kenapa justru orang yang jalan-jalan dan memberi makan anaknya di tengah jalan, di tengah kumandang adzan maghrib menjadi biasa-biasa saja?
Kenapa orang ke masjid dianggap aneh?
Orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” ketika orang-orang lain justru tengah asik nonton reality show “SUPERSOULMATE” .
Orang ke masjid akan terasa “aneh” ketika melalui kerumunan orang-orang yang sedang ngobrol di pinggir jalan dengan suara lantang seolah meningkahi suara panggilan adzan.
Orang ke masjid terasa “aneh” ketika orang lebih sibuk mencuci motor dan mobilnya yang kotor karena kehujanan.
Ketika hal itu penulis ceritakan ke Pak Ustadz, beliau hanya tersenyum,
“Kamu akan banyak menjumpai “keanehan-keanehan” lain di sekitarmu,” kata Pak Ustadz.
“Keanehan-keanehan” di sekitar kita?
Cobalah ketika kita datang ke kantor, kita lakukan shalat sunah dhuha, pasti akan nampak “aneh” di tengah orang-orang yang sibuk sarapan, baca koran dan mengobrol.


Cobalah kita shalat dhuhur atau Ashar tepat waktu, akan terasa “aneh”, karena masjid masih kosong melompong, akan terasa aneh di tengah-tengah sebuah lingkungan dan teman yang biasa shalat di akhir waktu.

Cobalah berdzikir atau tadabur al Qur’an ba’da shalat, akan terasa aneh di tengah-tengah orang yang tidur mendengkur setelah atau sebelum shalat. Dan makin terasa aneh ketika lampu mushola/masjid harus dimatikan agar tidurnya nyaman dan tidak silau. Orang yang mau shalat malah serasa menumpang di tempat orang tidur, bukan malah sebaliknya, yang tidur itu justru menumpang di tempat shalat. Aneh, bukan?

Cobalah hari ini shalat Jum’at lebih awal, akan terasa aneh, karena masjid
masih kosong, dan baru akan terisi penuh manakala khutbah ke dua menjelang
selesai.

Cobalah anda kirim artikel atau tulisan yang berisi nasehat, akan terasa aneh di tengah-tengah kiriman e-mail yang berisi humor, plesetan, asal nimbrung, atau sekedar gue, elu, gue, elu, dan test..test, test saja.

Cobalah baca artikel atau tulisan yang berisi nasehat atau hadits, atau ayat al Qur’an, pasti akan terasa aneh di tengah orang-orang yang membaca artikel-artikel lelucon, lawakan yang tak lucu, berita hot atau lainnya.
Dan masih banyak keanehan-keanehan lainnya, tapi sekali lagi jangan takut menjadi orang “aneh” selama keanehan kita sesuai dengan tuntunan syari’at dan tata nilai serta norma yang benar.

Jangan takut dibilang “tumben” ketika kita pergi ke masjid, dengan pakaian rapi, karena itulah yang benar yang sesuai dengan al Qur’an (Al A’raf:31) Jangan takut dikatakan “sok alim” ketika kita lakukan shalat dhuha di kantor, wong itu yang lebih baik kok, dari sekedar ngobrol ngalor-ngidul tak karuan.
Jangan takut dikatakan “Sok Rajin” ketika kita shalat tepat pada waktunya, karena memang shalat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya terhadap orang-orang beriman.
“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Annisaa:103)

Jangan takut untuk shalat Jum’at/shalat berjama’ah berada di shaf terdepan, karena perintahnya pun bersegeralah. Karena di shaf terdepan itu ada kemuliaan sehingga di jaman Nabi Salallahu’alaihi wassalam para sahabat bisa bertengkar cuma gara-gara memperebutkan berada di shaf depan.
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli [1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Al Jumu’ah:9)
Jangan takut kirim artikel berupa nasehat, hadits atau ayat-ayat al Qur’an, karena itu adalah sebagian dari tanggung jawab kita untuk saling menasehati, saling menyeru dalam kebenaran, dan seruan kepada kebenaran adalah sebaik-baik perkataan;
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fusshilat:33)
Jangan takut artikel kita tidak dibaca, karena memang demikianlah Allah menciptakan ladang amal bagi kita. Kalau sekali kita menyerukan, sekali kita kirim artikel,
lantas semua orang mengikuti apa yang kita serukan, lenyap donk ladang amal kita….

Kalau yang kirim e-mail humor saja, gue/elu saja, test-test saja bisa kirim e-mail setiap hari, kenapa kita mesti risih dan harus berpikir ratusan atau bahkan ribuan kali untuk saling memberi nasehat. Aneh nggak, sih?
Jangan takut dikatain sok pinter, sok menggurui, atau sok tahu. Lha wong itu yang disuruh kok, “sampaikan dariku walau satu ayat” (potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3461 dari hadits Abdullah Ibn Umar).
Jangan takut baca e-mail dari siapapun, selama e-mail itu berisi kebenaran dan bertujuan untuk kebaikan. Kita tidak harus baca e-mail dari orang-orang terkenal, e-mail dari manager atau dari siapapun kalau isinya sekedar dan ala kadarnya saja, atau dari e-mail yang isinya asal kirim saja. Mutiara akan tetap jadi mutiara terlepas dari siapapun pengirimnya. Pun sampah tidak akan pernah menjadi emas, meskipun berasal dari tempat yang mewah sekalipun.
Lakukan “keanehan-keanehan” yang dituntun manhaj dan syari’at yang benar.
Kenakan jilbab dengan teguh dan sempurna, meskipun itu akan serasa aneh ditengah orang-orang yang berbikini dan ber ‘you can see’.
Jangan takut mengatakan perkataan yang benar (Al Qur’an & Hadist), meskipun akan terasa aneh ditengah hingar bingarnya bacaan vulgar dan tak bermoral.
Lagian kenapa kita harus takut disebut “orang aneh” atau “manusia langka” jika memang keanehan-keanehan menurut pandangan mereka justru yang akan menyelamatkan kita?
Selamat jadi orang aneh yang bersyari’at dan bermanhaj yang benar…
Oleh : Fuad Baradja
Read More..

Hakekat Taqwa


Assalamualaikum Wr Wb
Bissmillahirrohmaanirrohiim

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al Hasyr (59) : 18)A.

Pemahaman Taqwa.
Kata taqwa ( - ) berasal dari Wiqoyah ( - ) yaitu kalimat yang menunjukkan penolakan
terhadap sesuatu. Al-Wiqoyah berarti apa yang menghalangi sesuatu. (lihat LisanulArab: 15/403 dan Maqoyisul Lughoh: 6/131)

Maka, taqwa seorang hamba kepada Robbnya berarti menjadikan penghalang antara dia
dengan apa yang ditakuti dari Robbnya berupa kemurkaan, kemarahan dan siksaanNya yaitu dengan cara menta'atiNya dan menjauhi maksiat kepada Nya. (lihat, Manhajul Anbiya' fii Tazkiyatin Nufus:28)

Hakekat taqwa adalah:

Beramal dengan menta'ati Alloh Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan cahaya ilmu dari Alloh
dalam rangka mengharap pahala Nya serta menjauhi maksiat kepada Nya berdasarkan
cahaya dari Alloh tersebut karena takut siksaan Nya.

Umar rodhiyallohu’anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab rodhiyallohu’anhu
tentang taqwa, Maka Ubay bertanya (balik): pernahkah engkau menempuh jalan yang
berduri ? Umar menjawab: tentu. Ubay bertanya lagi: apa yang engkau lakukan?
Umar menjawab: hati-hati dan sungguh-sungguh. Maka Ubay berkata: itulah taqwa.

B. Taqwa dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Kata taqwa dalam Al-Qur'an terkadang disandarkan langsung dengan nama Alloh
Subhanahu wa Ta’ala sesudahnya, diantaranya ialah:

1) Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya : "……Dan bertakwalah kepada Alloh yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”.
(QS. Al Maa-idah (5) : 96)

2) Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al Hasyr (59) : 18)

3) Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya : "…….Dan bertakwalah kepada Alloh agar kamu beruntung". (QS. Al Baqarah (2) : 189)

Apabila kata taqwa disandarkan langsung kepada Alloh, maka maksudnya adalah bertaqwa
(takut) kepada murka Nya, karena dari situlah munculnya berbagai hukuman didunia maupun diakhirat.

Kata taqwa terkadang pula disandarkan kepada tempat diberlakukannya siksaan Alloh
Subhanahu wa Ta’ala yaitu neraka. Alloh berfirman:

Artinya
: "……Maka taqwalah (takutlah) kepada neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu……” (QS. Al Baqarah (2) : 24)

Dan terkadang disandarkan kepada waktu diperlakukannya siksaan Alloh yaitu pada
hari qiyamat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya : "Dan bertaqwalah (takutlah) dari (azab) hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong". (QS. Al Baqarah (2) : 48)

Sedangkan didalam Sunnah, kata taqwa disandarkan pula pada hal-hal yang diharamkan:

1) Rosululloh Shollalloh’alaihi wa Sallam bersabda:
"Takutlah (bertaqwalah) kepada kedzoliman karena kedzoliman akan menjadi kegelapan pada hari Kiamat. Dan takutlah (taqwalah) kepada kekikiran, karena kekikiran telah membinasakan orang-orang sebelum kalian sehingga membawa mereka menumpahkan darah dan merobek-robek kehormatan". (HR. Muslim: 16/134 Syarah An-Nawawi)

2) Rosululloh Shollalloh’alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu'ad bin Jabal ketika diutus keYaman:
"Bertaqwalah (takut) kamu dari do'a orang yang didzolimi, karena antara dia dan Alloh tidak terdapat penghalang". (HR. Bukhori:3/357 fath Al-Bari dan Muslim:1/197
Syarah An-Nawawi)

C. Sarana-Sarana Taqwa
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sarana-sarana untuk mencapai taqwa (tujuan
tazkiyatun nufus). Semuanya dapat kita golongkan pada tiga kaidah:

a) Kaidah meneliti seluruh syi'ar-syi'ar Islam.

Sesungguhnya Islam itu aqidah dan hukum-hukum yang tujuannya adalah taqwa atau tazkiyatun nufus agar manusia dapat istiqomah pada perintah Alloh baik secara individu, kelompok maupun masyarakat.

Tauhid merupakan pensucian bagi jiwa (tazkiyatun nufus). Karena dasar hikmah itu adalah mengenal Alloh Subhanahu wa Ta’ala, beribadah, dan takut kepada Nya untuk syirik kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah noda hitam dalam jiwa. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis…". (QS. At Taubah (9) : 28).

Seluruh ajaran Islam bertujuan mensucikan jiwa manusia dari kotoran-kotoran hati. Wudhu, mandi dan tayamum juga merupakan pensucian. Ketika Alloh Subhanahu wa Ta’ala berbicara tentang ketiganya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam akhir kalam Nya berfirman:

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendakmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Alloh tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur. (QS. Al Maa-idah (5) : 6)

Sholat merupakan pensucian jiwa dan anggota badan dari kekejian dan kemunkaran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya : "…..Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar……". (QS. Al 'Ankabut (29) : 45)

Didalam sholat terdapat tiga (3) kondisi : ikhlas, khosyah (rasa takut) dan dzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ikhlas memerintahkan yang ma'ruf, khosyah melarang yang munkar dan dzikir kepada Alloh menjadikannya memiliki mata hati. Begitu pula zakat bertujuan mensucikan jiwa, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : artinya : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Alloh Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. At Taubah (9) : 103)

Dan begitulah seluruh ajaran Islam bertujuan mensucikan jiwa, jika kita mau meneliti ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Rosululloh Shollalloh’alaihi wa Sallam, maka kita akan menemukannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang dapat mengarahkan kepada taqwa adalah ibadah, karena ibadah adalah:
"nama yang umum dan menyeluruh, yang mencakup perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhoi Alloh Subhanahu wa Ta’ala".

b) Kaidah mengenal sifat orang-orang taqwa yang sempurna dan orang-orang mukmin yang ikhlas. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya:"Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Robb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung". (QS. Al Baqarah: 2-5)

Ayat yang menerangkan tentang sifat-sifat orang yang bertaqwa ini seluruhnya bertujuan pada pensucian jiwa.

c) Kaidah mengenal hakekat wali.
Wali-wali Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang mukmin yang bertaqwa. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya:"Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS. Yunus: 62)

d) Rukun-Rukun Taqwa
Menurut ahlu sunnah wal jama'ah suatu amal hanya
diterima dari orang –orang yang bertaqwa yaitu orang yang amalnya ikhlas karena
Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan syari'at yang ditetapkan Rosululloh
Shollalloh’alaihi wa Sallam. Sebagian ulama' merumuskannya dengan dua point
pokok:

a. Tidak beribadah kecuali hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

b. Tidak beribadah kepada Alloh kecuali dengan apa yang diperintahkan dan
disyari'atkanNya melalui lisan RosulNya.

Ketentuan ini didasarkan oleh dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits sebagai berikut:

Artinya : "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Alloh hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS. Al Maa-idah (5) : 27)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya : "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS. Al Mulk (67) : 2)

Dalam menafsirkan yang lebih baik amalnya (-)
Al-Fudhoil bin Iyad berkata: yaitu yang paling ikhlas dan paling benar, maka
orang-orangpun bertanya: hai abu Ali, apa yang paling ikhlas dan yang paling
benar itu? Beliau menjawab: sesungguhnya amal apabila ikhlas tetapi tidak
benar, maka tidak diterima. Sampai amal itu benar-benar ihklas dan berada
dijalan yang benar. Ikhlas adalah karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan benar
itu adalah sesuai Sunnah (tuntunan Rosululloh Shollalloh’alaihi wa Sallam).

Dua syarat diatas ditambahkan dengan satu point penting lainnya yaitu:

c. Ilmu
Yaitu mengetahui (ilmu) dua rukun diatas dan mengetahui hakekat taqwa itu sendiri serta hal-hal lainnya yang terkait.

Mujiarto Karuk

Read More..