Sunday, May 10, 2009

Makna Sebuah Perubahan

Ketika gonjang-ganjing pelengseran Pak Harto, banyak orang berkata bahwa kami ingin perubahan. Saat ini pun menjelang Pemilu 2009, banyak orang juga berkata kami perlu perubahan. Begitu banyaknya orang berteriak tentang perubahan sehingga banyak orang memanfaatkan makna perubahan itu untuk sarana jual janji, atau mempromosikan diri bahwa dia mampu membuat perubahan. Entah perubahan apa yang masing-masing orang inginkan, hanya ada dalam otak dan benak orang-orang itu sendiri. Lama saya merenung, perubahan bagaimana yang diinginkan orang. Presiden A, harus diganti karena tidak membawa perubahan. Presiden B, C, dan D pun atau menteri E, F, dan G harus diganti demi mewujudkan sebuah mimpi tentang perubahan.

Seorang pengamen, buruh, tukang parkir, pedagang rame-rame berteriak ingin berubah nasib, menjadi kaya sehingga sejahtera, pemerintah harus begini, pemerintah harus begini, pemerintah harus..harus…dan semua harus….Sementara politisi dan para petualang politik dan orang-orang yang suka sensasi…juga berteriak…seharusnya pemerintah begini…seharusnya…seharusnya…(lho, kenapa dia tidak berbuat dulu hal-hal kecil yang seharusnya itu ya…untuk rakyat kecil? Heran juga!…kalau mereka tau kenapa ga mau beri solusi untuk pemerintah atau tunjukkan kalau mereka bisa ..) ..

Suatu ketika, nun jauh di puncak bukit yang penuh sayuran di Bukit Cipendawa, cipanas. Seorang petani yang cara berpikirnya sederhana mengatakan kepada saya "Jika diibaratkan sebuah pemerintahan baru itu adalah proses membangun rumah, maka proses yang dilakukan pertama adalah membangun fondasi. Jadi kalau kita terus-terusan mengganti fondasi hanya karena menginginkan suatu perubahan, kapan rumah itu bisa berdiri dan mempercantik menjadi sebuah rumah impian yang aman, penuh kenyamanan, dan menyejahterakan?". Kalau orang merasa tidak seselera atau menganggap kurang pas dengan apa yang dilakukan si tukang, tentu dengan niat baik kita bersama-sama bergotong-royong membangunnya. Si A punya batu, berikan batu itu untuk bisa dipasang di tempat yang pas. Jangan berpikir, fondasi jelek…bongkar aja…sambil mencaci maki si tukang. Habis energi kita untuk mewujudkan suatu rumah yang cantik….yang selamanya hanya akan menjadi impian…(Memang tidak ada yang salah juga kalau kita mencari tukang yang lebih mumpuni)…Tapi, bagaiman mau cari tukang yang lebih mumpuni, jika tukang-tukang yang mengaku pintar itu bisanya hanya berteriak…Wee..Ini aku tukang pintar..punya keahlian ini…Tapii, ketika kita amati…dia belum pernah menunjukkan kalau dia bisa…So,…?Buktikan dulu donk!

Perubahan seharusnya diartikan sebagai sarana meningkatkan potensi diri menjadi lebih baik, lebih kreatif, lebih dinamis, lebih bijak. Siapa yang harus berjuang? Masing-masing diri kita tentunya. Kita selalu menuntut orang lain berubah sesuai kacamata dan kesenangan kita, sedangkan kita sendiri tidak pernah merubah diri selain hanya mengutuk, mencaci maki orang yang menurut kita tidak pernah mau memberikan suatu perubahan. Kenapa kita mau berubah atas pemberian orang lain…Kenapa kita tidak bersama-sama membangun rumah impian kita…negara kita tercinta ini? Kenapa kita selalu bertanya apa yang bisa orang berikan untuk kita, tetapi kita tidak pernah berpikir untuk memberi orang lain? Kenapa kita selalu menuntut orang harus mengerti kita, sifat kita, mau kita, permintaan kita, tanpa mau berpikir dan berbuat untuk memahami dan mengerti orang lain…

Alangkah indahnya sebenarnya, jika negara ini memiliki sekian banyak orang pintar yang mau berbuat/bekerja untuk negaranya bukan hanya bisa berteriak dan berkomentar untuk menunjukkan dirinya orang pintar…"Ini lho aku lulusan luar negeri, lulusan terbaik negeri ini, lulusan universitas ternama dan sebagainya, dengerin nih…".

Negara ini memang butuh orang pintar…bukan orang yang hanya berteriak demi egonya.. dan seorang pecundang.

Oleh: Imanda


William Arthur
Rayulah aku, dan aku mungkin tak mempercayaimu.
Kritiklah aku, dan aku mungkin tak menyukaimu.
Acuhkan aku, dan aku mungkin tak memaafkanmu.
Semangatilah aku, dan mungkin aku takkan melupakanmu.
Read More..

Gunung Jangan Pula Meletus

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan ari salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena takbisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.

"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.

"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.

"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"

"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."

"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan kekubangan kesengsaraan sedalam itu?"

"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya hingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."

"Termasuk Kiai...."

Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran. ..

"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.

"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.

Aku menjawab tegas, "Ya."

"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"

"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan."

"Sampai kapan?"

"Sampai kapan pun!"

"Sampai mati?"

"Ya!"

"Kapan kamu mati?"

"Gila!"

"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak
melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!"

""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter...."

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak
bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun,
Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."

"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.

"Pakailah sesukamu."

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh."

Ia membawaku duduk kembali.

"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.

"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya
mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"

Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.

"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."

"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"

"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."

"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi."

"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."

"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"

"Aceh, Kiai, Aceh."

"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda
kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak".

"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan."

"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah
keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati."

"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?"

"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya
kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"

"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri,Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."

"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri, maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh
bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."

"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."

"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."

"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"

"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu
menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."

"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.

"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."

"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"

Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Emha Ainun Nadjib Budayawan
Read More..